sumber gambar : Galeri Nasional Indonesia

Heri Dono, Seniman Kontemporer yang Kaya Ekspresi

03 January 2022   |   20:21 WIB
Image
Yudi Supriyanto Jurnalis Hypeabis.id

Atas peran penting dan kontribusi Heri Dono dalam mengembangkan dan mengenalkan seni rupa kontemporer Indonesia di kancah nasional dan internasional, Galeri Nasional Indonesia memproduksi sebuah Film Dokumenter Tokoh Seni Rupa Indonesia Heri Dono dengan judul Heridonology.

Lalu, seperti apa profil sang seniman? Dikutip dari siaran pers Galeri Nasional Indonesia, seniman kontemporer asal Yogyakarta ini lahir pada 12 Juni 1960. Dia merupakan seniman Indonesia pertama yang sukses menembus art scene global pada awal tahun ’90-an. Mengawali karier pada ’80-an, sang seniman dikenal dengan karya instalasi kontemporer yang banyak terinspirasi dari wayang. 

Dia berusaha memasukkan elemen kompleks dalam pertunjukan wayang berupa visual, mantra, suara, storytelling, kritik sosial, humor, dan mitos berisi filosofi kehidupan. Komponen tersebut digabungkan dalam narasi karya-karyanya melalui penambahan elemen multimedia. 

Karya kreatifnya mengungkapkan ketertarikan Heri Dono dalam merevitalisasi seni yang berakar pada tradisi Indonesia. 
Pada banyak karya instalasi dan pertunjukannya, sang seniman juga menggunakan performativity dan potensi interaktif yang membuat karya-karyanya terlibat dalam dialog komplementer dengan audiens. 

Dalam karya lukisnya, dia banyak mengangkat deformasi liar dan fantasi gaya bebas yang berasal dari karakter dan kisah wayang. Kemudian dia menambahkan pengetahuan dan ketertarikannya pada kartun anak-anak, film animasi, dan komik. Kanvas Heri Dono selalu dipenuhi karakter menakjubkan dengan cerita yang fantastis sekaligus abstrak. 

Heri Dono telah berpartisipasi pada lebih dari 300 pameran dan 35 bienial internasional, termasuk São Paolo Biennial (1996 dan 2004), Sydney Biennale (1996), Shanghai Biennale (2000), Havana Biennial (2000), Yokohama Triennial (2001), Asia Pacific Triennial (1993 dan 2002), Venice Biennale (2003), Taipei Biennial (2004), Sharjah Biennial (2005), Gwangju Biennale (1995 dan 2006).

Kemudian, Guangzhou Triennial (2011), the 50th Venice Biennale in the Arsenale's Zone of Urgency (2003), the 56th Venice Biennale: Voyage-Trokomod, (2015), Bangkok Art Biennale (2018), dan Kochi-Muziris Biennale (2018). 

Dia juga pernah meraih sejumlah penghargaan yakni Dutch Prince Clause Award for Culture and Development (1998); UNESCO Prize (2000), dan Anugerah Adhikarya Rupa dari Pemerintah Indonesia (2014).



Editor: Gita Carla
 

SEBELUMNYA

Genhype, Tidak Ada Salahnya Mengenakan Pakaian yang Sama Berulang Kali!

BERIKUTNYA

7 Film Terbaik Florence Pugh

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: