Pembicara dalam Autors Forum pada Jakarta International Literary Festival di Taman Ismail Marzuki (Sumber gambar : Desyinta Nuraini)

Cerita Eksploitasi Diungkap Kritis dalam Novel Babad Kopi Parahyangan & Stains On My Khanga

24 October 2022   |   19:03 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Dominasi dan eksploitasi tidak bisa dilepaskan dari sejarah kehidupan masyarakat di berbagai negara. Dua isu ini erat kaitannya dengan politik kekuasaan yang mendominasi latar peradaban manusia. Ya, dominasi dan eksploitasi bahkan berlangsung hingga kini dalam berbagai bentuknya yang baru dan tersembunyi. 

Menguak dominasi dan eksploitasi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya melalui sastra yang ditulis Evi Sri Rezeki dalam novel berjudul Babad Kopi Parahyangan. 

Baca juga: 5 Rekomendasi Buku dan Novel Filsafat untuk Pemula

Dalam novel ini, Evi menceritakan tentang eksploitasi melalui tanam paksa yang dialami masyarakat di Bumi Parahiyangan pada era kolonial Belanda. “Saya memilih cerita ini karena tidak banyak sejarah tentang kopi. Padahal ini menyangkut kemanusian,” ujarnya dalam Autors Forum pada Jakarta International Literary Festival di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Senin (24/10/2022)

Banyak intrik penguasa untuk mengeksploitasi masyarakat yang digambarkan Evi dalam Babad Kopi Parahyangan. Sebagai contoh Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) bekerja sama dengan bupati memobilisasi rakyat yang terpencar-pencar, untuk membuka lahan perkebunan kopi. Adapun kala itu, ada yang  dipakai rakyat diasumsikan sebagai kepemilikan Hindia Belanda.

“Semua rakyat berhutang sewa terhadap pemerintah Hindia Belanda,” sebut Evi.

Oleh karena sifatnya sewa, bupati meminta seperlima lahan milik rakyat dipakai untuk menanam kopi. Bagi yang tidak punya akan, wajib bekerja di perkebunan atau di pabrik. Namun faktanya, bayaran yang didapat masyarakat kala itu tidak setimpal dengan waktu yang dihabiskan mereka untuk berkebun atau di pabrik kopi. 

Mereka juga tidak bisa menanam komoditas atau mencari pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ketika kerja di perkebunan pun mereka tidak diberi fasilitas memadai dan tinggal di bedeng. Tidak hanya orang dewasa pria maupun wanita, anak-anak juga dipekerjakan. 

Oleh karena anak-anak memang biasa main di kebun atau sawah, jadi bekerja di kebun kopi tidak dianggap eksploitasi. “Eksploitasi menurut saya memakai modal sosial,” imbuhnya. 

Walaupun semua tokoh bersifat fiksi, Evi menuturkan bahwa novel ini dibuat berdasarkan riset yang mendalam. Dia menelusuri literatur dari buku dan catatan sejarah di masa lampau. Banyak sumber yang didapatkan dari luar negeri karena memang sejarah mengenai kopi dan peradabannya sulit ditemukan di Indonesia kala itu. 

“Semua tokoh fiktif tapi saya buat dari sejarah, dokumen yang jadi tulang punggung cerita saya,” jelasnya. 

Evi juga berkeliling ke perkebunan tua di Jawa Barat yang erat kaitannya dengan sejarah pertama penanaman kopi di Parahyanagan. Perkebunan itu terletak di Bogor dan Pangalengan. “Saya berusaha memetakan relasi dalam. Pertama kali kopi dibudidayakan di Parahyangan, lalu disebarkan ke Jateng, Jatim, Sumatra, bahkan ke luar negeri,” tambahnya. 

Sementara itu, Evi menyebut sedang menyelesaikan seri kedua dari novel tetralogi ini. Kisahnya tidak lagi menceritakan Karim, seorang pemuda asal Batang Arau Sumatra yang merantau ke Parahyangan untuk menjadi bandar dagang kopi ternama. Kendati demikian, kisah pada novel selanjutnya masih berkaitan dengan sejarah kopi di Nusantara.

“Risetnya hampir selesai yang kedua, tetapi penulisannya belum selesai. Semoga tahun depan selesai,” ungkapnya kepada Hypeabis.id. 

Jauh melintasi benua, cerita tentang dominasi dan eksploitasi disuarakan Sandra A. Mushi yang gemar menulis isu tentang perempuan. Buku kedua Sandra yang berjudul Stains On My Khanga merupakan koleksi cerita pendek dan puisi yang terpusat tentang ketidakadilan, tantangan, dan pilihan perempuan.

Beberapa bagian dalam bukti ini mengulas perempuan di Afrika yang mendapat kekerasan dalam rumah tangga namun tidak bisa berbuat banyak karena norma. Di sana, masih ada stigma bahwa pemukulan yang dilakukan suami kepada istrinya adalah hal yang biasa.

“Para orang tua percaya suami harus disiplinkan istri dengan tindakan kekerasan. Pemikiran ini dibisikkan masyarakat Afrika,” tuturnya.

Baca juga: 5 Karya Novel Gol A Gong, Mulai dari Balada Si Roy

Oleh karena itu, dia berharap novel yang pernah dibuatnya pada 2014 tersebut diharapkan bisa menyadarkan para perempuan terutama di Afrika bahwa mereka bisa menyuarakan haknya dan memilih menjalani kehidupan yang lebih baik. 

Mereka bisa bersinar seperti Khanga, kain kebanggaan penuh warna masyarakat Afrika. “Kalau kain ternoda, apa artinya,” ujar Sandra.

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Penuh Sindiran, Ini 4 Rekomendasi Film Satir yang Tak Kalah Seru dari Triangle of Sadness

BERIKUTNYA

Siap-siap, Bazar Buku Internasional Big Bad Wolf Books Akan Hadir di Semarang

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: