Atasi Stigma Negatif, Sejumlah Tokoh Agama Satu Suara Tentang Kesehatan Mental
10 October 2022 |
21:00 WIB
Indonesia memiliki masalah kesehatan mental yang cukup tinggi. Kondisi ini jika tidak tertangani dengan baik, rentan dengan tindakan bunuh diri. Menurut data Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Indonesia (INASP), sepanjang 2020 terdapat 670 kasus bunuh diri.
Sementara itu, pada 2018, tercatat sekitar 6.000 percobaan bunuh diri. President Indonesian Association for Suicide Prevention Sandersan Onie, mengatakan, berdasarkan penelitian terbaru, pihaknya menemukan bahwa tingkat bunuh diri di Indonesia 4 kali lipat dari angka yang dilaporkan. Begitu pula dengan percobaan bunuh diri yang diprediksi 7 kali lipat.
Baca juga: 5 Tips Praktis Menjaga Kesehatan Mental agar Lebih Produktif
Untung menangani kondisi yang sering dipicu kesehatan mental ini memang perlu upaya bersama. Pasalnya menurut project leader & founder Emotional Health For All (EHFA) ini, kesehatan mental dan bunuh diri berdampak besar pada ekonomi, dengan perkiraan biaya Rp582 triliun per tahun dalam kematian dan hilangnya produktivitas.
“Sementara kemajuan untuk penanganan kesehatan mental berjalan lambat,” imbuhnya.
Penanganan kesehatan mental yang lambat ini tidak lepas dari stigma masyarakat. Mereka cenderung mendiskriminasi orang dengan gangguan kesehatan mental dengan menganggap sebagai orang gila atau tidak waras.
Selain itu, keluarga merasa malu untuk mencari bantuan ke tenaga profesional dalam berkonsultasi mengenai masalah kesehatan mental yang dihadapi. “Rasa malu dan diskriminasi merupakan tantangan terbesar terhadap sebuah negara yang sehat,” tegasnya.
Kejadian diskriminasi juga didasari pada keyakinan yang keliru tentang agama. Misalnya, orang dengan gangguan kesehatan mental dianggap karena kurang imannya. Inilah sebabnya mengapa meskipun bertahun-tahun dilakukan pendidikan tentang kesehatan mental, kemajuannya penanganannya sangat lambat.
Menurut pria yang karib disapa Sandy ini, masih banyak orang dengan gangguan kesehatan mental yang enggan atau bahkan tidak akan mengunjungi psikolog, melainkan justru berbicara dengan pemuka agama. “Hal ini terlebih karena kita semua menyadari bahwa agama memainkan peran yang besar di Indonesia,” ungkapnya.
Oleh karena itu, EHFA memutuskan untuk mengambil pendekatan radikal mengenai edukasi kesehatan mental. Mereka melakukan deklarasi pertemuan antar umat agama yang diusung pada 2-3 Juni 2022 di Lombok sebagai bagian dari acara G20.
Deklarasi yang juga disebut sebagai Lombok Declaration ini bertujuan untuk menegaskan bahwa setiap orang di Indonesia, termasuk para psikolog, guru, keluarga, pelajar dapat mencari bantuan kesehatan mental tanpa harus didiskriminasi atau distigmatisasi.
Deklarasi ini melibatkan tujuh perwakilan tokoh agama, di antaranya Miftahul Huda (Majelis Ulama Indonesia), Y. Aristanto (Komisi Waligereja Indonesia), I Nyoman Suarthanu dan MAP KH Sarmidi Husna (Pengurus Besar Nadhlatul Ulama). Kemudian I Nyoman Suarthanu (Parisada Hindu Darma), I Wayan Sianto (Perwakilan Walubi Indonesia), Musdah Mulia (International Center for Religions and Peace).
Selanjutnya, Jackelyn Manuputty (Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia) dan Ary Mardi Wibowo (Jakarta Praise Church Community). Para tokoh agama ini mempersatukan pandangannya terhadap kesehatan mental dengan mentandatangani Deklarasi Relio-Mental Health.
Berdasarkan isi deklarasi tersebut, telah dinyatakan bahwa pemuka dari lima kelompok agama setuju bahwa masalah kesehatan mental bukanlah hal yang memalukan, serta mengedepankan pentingnya peran lingkungan dan keluarga dalam mendampingi orang dengan masalah kesehatan mental.
Pada saat yang sama, deklarasi ini juga mendorong lembaga keagamaan dan instansi pemerintah seperti Kementerian untuk berkolaborasi dalam meningkatkan pelayanan dan penanganan masalah kesehatan mental serta pencegahan bunuh diri.
Sementara itu, pada 2018, tercatat sekitar 6.000 percobaan bunuh diri. President Indonesian Association for Suicide Prevention Sandersan Onie, mengatakan, berdasarkan penelitian terbaru, pihaknya menemukan bahwa tingkat bunuh diri di Indonesia 4 kali lipat dari angka yang dilaporkan. Begitu pula dengan percobaan bunuh diri yang diprediksi 7 kali lipat.
Baca juga: 5 Tips Praktis Menjaga Kesehatan Mental agar Lebih Produktif
Untung menangani kondisi yang sering dipicu kesehatan mental ini memang perlu upaya bersama. Pasalnya menurut project leader & founder Emotional Health For All (EHFA) ini, kesehatan mental dan bunuh diri berdampak besar pada ekonomi, dengan perkiraan biaya Rp582 triliun per tahun dalam kematian dan hilangnya produktivitas.
“Sementara kemajuan untuk penanganan kesehatan mental berjalan lambat,” imbuhnya.
Penanganan kesehatan mental yang lambat ini tidak lepas dari stigma masyarakat. Mereka cenderung mendiskriminasi orang dengan gangguan kesehatan mental dengan menganggap sebagai orang gila atau tidak waras.
Selain itu, keluarga merasa malu untuk mencari bantuan ke tenaga profesional dalam berkonsultasi mengenai masalah kesehatan mental yang dihadapi. “Rasa malu dan diskriminasi merupakan tantangan terbesar terhadap sebuah negara yang sehat,” tegasnya.
Kejadian diskriminasi juga didasari pada keyakinan yang keliru tentang agama. Misalnya, orang dengan gangguan kesehatan mental dianggap karena kurang imannya. Inilah sebabnya mengapa meskipun bertahun-tahun dilakukan pendidikan tentang kesehatan mental, kemajuannya penanganannya sangat lambat.
Menurut pria yang karib disapa Sandy ini, masih banyak orang dengan gangguan kesehatan mental yang enggan atau bahkan tidak akan mengunjungi psikolog, melainkan justru berbicara dengan pemuka agama. “Hal ini terlebih karena kita semua menyadari bahwa agama memainkan peran yang besar di Indonesia,” ungkapnya.
Oleh karena itu, EHFA memutuskan untuk mengambil pendekatan radikal mengenai edukasi kesehatan mental. Mereka melakukan deklarasi pertemuan antar umat agama yang diusung pada 2-3 Juni 2022 di Lombok sebagai bagian dari acara G20.
Deklarasi yang juga disebut sebagai Lombok Declaration ini bertujuan untuk menegaskan bahwa setiap orang di Indonesia, termasuk para psikolog, guru, keluarga, pelajar dapat mencari bantuan kesehatan mental tanpa harus didiskriminasi atau distigmatisasi.
Deklarasi ini melibatkan tujuh perwakilan tokoh agama, di antaranya Miftahul Huda (Majelis Ulama Indonesia), Y. Aristanto (Komisi Waligereja Indonesia), I Nyoman Suarthanu dan MAP KH Sarmidi Husna (Pengurus Besar Nadhlatul Ulama). Kemudian I Nyoman Suarthanu (Parisada Hindu Darma), I Wayan Sianto (Perwakilan Walubi Indonesia), Musdah Mulia (International Center for Religions and Peace).
Selanjutnya, Jackelyn Manuputty (Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia) dan Ary Mardi Wibowo (Jakarta Praise Church Community). Para tokoh agama ini mempersatukan pandangannya terhadap kesehatan mental dengan mentandatangani Deklarasi Relio-Mental Health.
Berdasarkan isi deklarasi tersebut, telah dinyatakan bahwa pemuka dari lima kelompok agama setuju bahwa masalah kesehatan mental bukanlah hal yang memalukan, serta mengedepankan pentingnya peran lingkungan dan keluarga dalam mendampingi orang dengan masalah kesehatan mental.
Pada saat yang sama, deklarasi ini juga mendorong lembaga keagamaan dan instansi pemerintah seperti Kementerian untuk berkolaborasi dalam meningkatkan pelayanan dan penanganan masalah kesehatan mental serta pencegahan bunuh diri.
Berikut bunyi Deklarasi Lombok:
- Masalah kesehatan jiwa bukanlah sesuatu yang harus disembunyikan melainkan masalah kemanusiaan yang harus ditangani.
- Mencari bantuan dan dukungan sosial maupun profesional terkait kesehatan jiwa merupakan tindakan yang baik dan dianjurkan.
- Pengabaian dan diskriminasi terhadap orang dengan masalah keseharan jiwa adalah perbuatan yang tidak dibenarkan oleh agama dan kepercayaan.
- Membantu orang yang mengalami kesehatan jiwa adalah perbuatan yang mulia.
- Meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan keterampilan tentang kesehatan jiwa adalah tanggung jawab bersama termasuk individu, keluarga, masyarakat, pemimpin agama dan kepercayaan, serta pemerintah.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.