KKN Di Desa Penari: Persis Sama Dengan Cerita di Twitter
05 May 2022 |
14:14 WIB
Saya ingat sekali ketika cerita KKN di Desa Penari yang diposting oleh Simpleman viral di twitter. Utas yang membuat saya fokus untuk menyelesaikan tweet demi tweet cerita di kala istirahat bekerja karena alur cerita yang menurut saya enak untuk diikuti dan rasa ngeri yang ditimbulkannya.
KKN di Desa Penari adalah cerita yang menurut saya mungkin saja terjadi di tengah-tengah masyarakat beragama namun juga masih percaya dengan hal-hal klenik.
Mungkin bagi sebagian orang, cerita ini tidak masuk akal, tetapi bagi orang yang memiliki ‘keyakinan’ akan hal gaib sebenarnya cerita ini cukup make sense. Keyakinan inilah yang membuat cerita ini menjadi lebih mengerikan dibandingkan cerita-cerita horror yang kebanyakan mengandalkan premis balas dendam arwah yang bergentayangan.
Film KKN di Desa Penari sebenarnya sudah siap rilis pada tahun 2020 namun sayangnya harus tertunda karena pandemi yang memaksa bioskop tutup total. Tertundanya perilisan film ini sebenarnya adalah timing yang tepat bagi rumah produksi. Film ini akan menerima lebih banyak kritik dan dianggap ajimumpung apabila dirilis dalam waktu berdekatan setelah cerita di twitter viral.
Dengan ditunda, film ini memberikan waktu kepada penonton untuk lupa dengan detail-detail cerita dan kesulitan dalam mengakses kembali utas yang sudah tertumpuk dengan cerita-cerita yang lain. Sehingga, film ini bisa disambut dengan lebih meriah karena penonton mulai ingin kembali mendapatkan cerita yang bagus ini dengan medium yang lebih komprehensif dalam bentuk sebuah film.
Tak heran, film ini berhasil menggaet 1 juta penonton dalam 3 hari perilisannya dan menjadi film terlaris ketiga pada hari pertama tayang. Ditambah, film ini tayang pada momen Lebaran yang banyak keluarga besar berkumpul dan mungkin saja memilih untuk menonton film Indonesia di bioskop karena dinilai aman dan mudah dinikmati oleh saudara-saudara dari berbagai kalangan.
Setting Desa Penari yang ditampilkan oleh Awi Suryadi dan Tim berhasil membuat penonton gelisah untuk melanjutkan perjalanan KKN bersama Widya, Ayu, Nur, Bima, Anton, dan Wahyu.
Perjalanan ke desa melewati jalan raya yang lama-lama menyempit, jembatan kecil panjang yang terbentang tinggi di atas jurang, dan hutan yang hanya bisa dilewati oleh sepeda motor melalui jalan setapak, sangat cukup untuk menunjukkan kesan pelosok dari Desa Penari.
Selain itu, rumah-rumah di desa yang kebanyakan masih berbentuk gubuk, dihuni oleh orang-orang tua, dan beredarnya sajen di berbagai sudut juga cukup dan tidak berlebihan dalam mendeskripsikan sebuah desa yang kuno.
Hal yang saya sukai di awal film ini adalah pengambilan gambar keberangkatan yang awalnya diambil dari atas langit kemudian diambil dari bawah bus dengan posisi terbalik yakni gunung di sisi bawah dan jalanan di sisi atas membuat mood film ini menjadi lebih menyenangkan sebelum penonton dipertemukan dengan banyak adegan menegangkan selama dua jam ke depan.
Film ini cukup baik dalam memperkenalkan karakter tokoh melalui hal-hal kecil yang masing-masing tokoh lakukan pada awal film.
Bima, laki-laki dengan tipikal umum yang disukai wanita yaitu tampan dan perhatian. Bima bersedia membawakan barang-barang milik teman-teman perempuan dan paling sigap membantu di kala teman lain kesulitan.
Wahyu, laki-laki lugu dan spontan yang lucu dan banyak omong. Semua hal yang ada di desa selalu dikomentari oleh Wahyu dan keluguannya mengundang tawa. Anton, laki-laki serius yang lurus-lurus saja dalam menjalani KKN.
Ayu, perempuan yang kurang bisa menempatkan diri. Ayu berpakaian dan bertingkah laku seperti biasanya dia di rumah selama KKN. Widya, perempuan innocent yang selalu berusaha berpikir positif atas kejadian aneh yang menimpanya.
Nur, perempuan yang sensitif dengan kehadiran makhluk halus. Orang yang sensitif biasanya akan cenderung diam dan mencari tahu dengan hati-hati. Tetapi, semakin lama hal-hal detail itu semakin berkurang. Adegan-adegan yang selanjutnya muncul seperti hanya ingin memvisualisasikan apa saja yang sudah ditulis di twitter.
Sayangnya, dua tokoh kunci yaitu Bima dan Ayu tidak diperankan dengan konsisten dan maksimal. Achmad Megantara terlalu datar dalam mengeksplorasi tokoh Bima. Aksen jawa timur yang dibawakan kadang timbul dan kadang tenggelam tidak konsisten.
Banyak sekali adegan-adegan yang seharusnya bisa dibawakan dengan lebih ekspresif dan emosional menjadi lewat begitu saja tanpa meninggalkan kesan kepada penonton. Saya rasa Achmad Megantara kurang menampilkan ekspresi takut pada saat adegan dimana Bima mulai sadar bahwa dia telah diperdaya oleh Dawuh.
Saya tidak melihat refleksi pergolakan batin antara diri Bima yang sudah sadar dengan Bima yang kadung terperangkap pada mimik dan gesture Achmad Megantara. Padahal, adegan tersebut adalah salah satu adegan klimaks dalam cerita. Berbeda sekali dengan Aghniny Haque yang mampu mengantar ketakutan Ayu pada adegan klimaks kepada penonton. Namun, akting Aghniny Haque juga baru menonjol di akhir-akhir cerita.
Tissa Biani berhasil membawakan tokoh kunci yaitu Nur dengan baik. Saya melihat Tissa menjadi orang yang sangat berbeda pada saat dia menjadi Nur, kerasukan Dawuh, dan kerasukan Mbah Dok. Tissa mampu menampilkan kharisma Nur yang sudah dibayangkan penonton sebelumnya.
Adinda Thomas juga memerankan Widya dengan baik. Adinda Thomas mampu mengimbangi akting Tissa Biani khususnya pada adegan Nur kerasukan Mbah Dok dan menari di tengah malam. Aksi Fajar Nugroho sebagai Wahyu juga cukup natural, aksen jawa timuran dan tingkah laku koplak diperankan secara konsisten. Begitu juga Calvin Jeremy yang bisa konsisten meskipun tidak begitu banyak peran menonjol yang diperlukan dari Anton.
Saya sangat menyayangkan film KKN di Desa Penari benar-benar dibuat persis plek dengan cerita yang ditulis di utas twitter. Menurut saya, pembuat film seharusnya bisa menyaring cerita mana saja yang akan diambil dan mengembangkannya dulu sebelum dieksekusi menjadi sebuah film.
Peran Bima dan Ayu jadi terasa singkat dan terlalu tiba-tiba padahal bisa dieksplor lebih dalam dan menyeramkan. Mungkin karena film ini memaksakan semua cerita yang ada di utas dimasukkan ke dalam film, Achmad Megantara dan Aghniny Haque tidak punya banyak ruang untuk mengekspresikan karakter Bima dan Ayu dengan maksimal.
Jika ada adegan tambahan bagi Bima dan Ayu, saya yakin film ini bisa menjadi lebih menakutkan. Padahal, sosok Badarawuhi yang diperankan oleh Aulia Sarah sudah memiliki porsi yang pas untuk menakut-nakuti tokoh lain dan penonton. Namun, tokoh terdekat yang menjadi korban Badarawuhi yaitu Bima dan Ayu tidak mendapatkan porsi yang cukup untuk menambahkan rasa takut bagi penonton.
Film ini adalah film yang dieksekusi dengan baik. Saya suka dengan gaya Awi Suryadi untuk tidak menjadikan film ini sebagai film horror yang seram dari hanya adegan menakut-nakuti, namun juga bisa membangun kengerian dari cerita yang disajikan.
Bagi saya, adegan terseram dalam film ini adalah ketika Widya terjebak di tengah pesta ‘penghuni’ desa pada akhir cerita film. Film ini mengingatkan saya akan film horror Indonesia jadul yang banyak mengangkat budaya Indonesia.
Di tengah kekurangan dan kelebihannya, film ini masih saya nilai sebagai film yang recommended untuk ditonton karena bisa mengangkat kembali film horror dengan tema klenik khas Indonesia yang sudah mulai jarang ditemukan pada film-film horror Indonesia belakangan.
Film ini berhasil memuaskan penonton dalam menyajikan cerita yang viral ke dalam sebuah film namun kurang untuk menjadi sebuah film yang utuh apabila tanpa embel-embel diangkat dari sebuah cerita nyata yang viral.
Disclaimer: Artikel berikut ini tidak mewakili pandangan redaksi Hypeabis.id. Seluruh isi tulisan merupakan tanggungjawab penulis.
KKN di Desa Penari adalah cerita yang menurut saya mungkin saja terjadi di tengah-tengah masyarakat beragama namun juga masih percaya dengan hal-hal klenik.
Mungkin bagi sebagian orang, cerita ini tidak masuk akal, tetapi bagi orang yang memiliki ‘keyakinan’ akan hal gaib sebenarnya cerita ini cukup make sense. Keyakinan inilah yang membuat cerita ini menjadi lebih mengerikan dibandingkan cerita-cerita horror yang kebanyakan mengandalkan premis balas dendam arwah yang bergentayangan.
Film KKN di Desa Penari sebenarnya sudah siap rilis pada tahun 2020 namun sayangnya harus tertunda karena pandemi yang memaksa bioskop tutup total. Tertundanya perilisan film ini sebenarnya adalah timing yang tepat bagi rumah produksi. Film ini akan menerima lebih banyak kritik dan dianggap ajimumpung apabila dirilis dalam waktu berdekatan setelah cerita di twitter viral.
Dengan ditunda, film ini memberikan waktu kepada penonton untuk lupa dengan detail-detail cerita dan kesulitan dalam mengakses kembali utas yang sudah tertumpuk dengan cerita-cerita yang lain. Sehingga, film ini bisa disambut dengan lebih meriah karena penonton mulai ingin kembali mendapatkan cerita yang bagus ini dengan medium yang lebih komprehensif dalam bentuk sebuah film.
Tak heran, film ini berhasil menggaet 1 juta penonton dalam 3 hari perilisannya dan menjadi film terlaris ketiga pada hari pertama tayang. Ditambah, film ini tayang pada momen Lebaran yang banyak keluarga besar berkumpul dan mungkin saja memilih untuk menonton film Indonesia di bioskop karena dinilai aman dan mudah dinikmati oleh saudara-saudara dari berbagai kalangan.
Setting Desa Penari yang ditampilkan oleh Awi Suryadi dan Tim berhasil membuat penonton gelisah untuk melanjutkan perjalanan KKN bersama Widya, Ayu, Nur, Bima, Anton, dan Wahyu.
Perjalanan ke desa melewati jalan raya yang lama-lama menyempit, jembatan kecil panjang yang terbentang tinggi di atas jurang, dan hutan yang hanya bisa dilewati oleh sepeda motor melalui jalan setapak, sangat cukup untuk menunjukkan kesan pelosok dari Desa Penari.
Selain itu, rumah-rumah di desa yang kebanyakan masih berbentuk gubuk, dihuni oleh orang-orang tua, dan beredarnya sajen di berbagai sudut juga cukup dan tidak berlebihan dalam mendeskripsikan sebuah desa yang kuno.
Hal yang saya sukai di awal film ini adalah pengambilan gambar keberangkatan yang awalnya diambil dari atas langit kemudian diambil dari bawah bus dengan posisi terbalik yakni gunung di sisi bawah dan jalanan di sisi atas membuat mood film ini menjadi lebih menyenangkan sebelum penonton dipertemukan dengan banyak adegan menegangkan selama dua jam ke depan.
Film ini cukup baik dalam memperkenalkan karakter tokoh melalui hal-hal kecil yang masing-masing tokoh lakukan pada awal film.
Bima, laki-laki dengan tipikal umum yang disukai wanita yaitu tampan dan perhatian. Bima bersedia membawakan barang-barang milik teman-teman perempuan dan paling sigap membantu di kala teman lain kesulitan.
Wahyu, laki-laki lugu dan spontan yang lucu dan banyak omong. Semua hal yang ada di desa selalu dikomentari oleh Wahyu dan keluguannya mengundang tawa. Anton, laki-laki serius yang lurus-lurus saja dalam menjalani KKN.
Ayu, perempuan yang kurang bisa menempatkan diri. Ayu berpakaian dan bertingkah laku seperti biasanya dia di rumah selama KKN. Widya, perempuan innocent yang selalu berusaha berpikir positif atas kejadian aneh yang menimpanya.
Nur, perempuan yang sensitif dengan kehadiran makhluk halus. Orang yang sensitif biasanya akan cenderung diam dan mencari tahu dengan hati-hati. Tetapi, semakin lama hal-hal detail itu semakin berkurang. Adegan-adegan yang selanjutnya muncul seperti hanya ingin memvisualisasikan apa saja yang sudah ditulis di twitter.
Sayangnya, dua tokoh kunci yaitu Bima dan Ayu tidak diperankan dengan konsisten dan maksimal. Achmad Megantara terlalu datar dalam mengeksplorasi tokoh Bima. Aksen jawa timur yang dibawakan kadang timbul dan kadang tenggelam tidak konsisten.
Banyak sekali adegan-adegan yang seharusnya bisa dibawakan dengan lebih ekspresif dan emosional menjadi lewat begitu saja tanpa meninggalkan kesan kepada penonton. Saya rasa Achmad Megantara kurang menampilkan ekspresi takut pada saat adegan dimana Bima mulai sadar bahwa dia telah diperdaya oleh Dawuh.
Saya tidak melihat refleksi pergolakan batin antara diri Bima yang sudah sadar dengan Bima yang kadung terperangkap pada mimik dan gesture Achmad Megantara. Padahal, adegan tersebut adalah salah satu adegan klimaks dalam cerita. Berbeda sekali dengan Aghniny Haque yang mampu mengantar ketakutan Ayu pada adegan klimaks kepada penonton. Namun, akting Aghniny Haque juga baru menonjol di akhir-akhir cerita.
Tissa Biani berhasil membawakan tokoh kunci yaitu Nur dengan baik. Saya melihat Tissa menjadi orang yang sangat berbeda pada saat dia menjadi Nur, kerasukan Dawuh, dan kerasukan Mbah Dok. Tissa mampu menampilkan kharisma Nur yang sudah dibayangkan penonton sebelumnya.
Adinda Thomas juga memerankan Widya dengan baik. Adinda Thomas mampu mengimbangi akting Tissa Biani khususnya pada adegan Nur kerasukan Mbah Dok dan menari di tengah malam. Aksi Fajar Nugroho sebagai Wahyu juga cukup natural, aksen jawa timuran dan tingkah laku koplak diperankan secara konsisten. Begitu juga Calvin Jeremy yang bisa konsisten meskipun tidak begitu banyak peran menonjol yang diperlukan dari Anton.
Saya sangat menyayangkan film KKN di Desa Penari benar-benar dibuat persis plek dengan cerita yang ditulis di utas twitter. Menurut saya, pembuat film seharusnya bisa menyaring cerita mana saja yang akan diambil dan mengembangkannya dulu sebelum dieksekusi menjadi sebuah film.
Peran Bima dan Ayu jadi terasa singkat dan terlalu tiba-tiba padahal bisa dieksplor lebih dalam dan menyeramkan. Mungkin karena film ini memaksakan semua cerita yang ada di utas dimasukkan ke dalam film, Achmad Megantara dan Aghniny Haque tidak punya banyak ruang untuk mengekspresikan karakter Bima dan Ayu dengan maksimal.
Jika ada adegan tambahan bagi Bima dan Ayu, saya yakin film ini bisa menjadi lebih menakutkan. Padahal, sosok Badarawuhi yang diperankan oleh Aulia Sarah sudah memiliki porsi yang pas untuk menakut-nakuti tokoh lain dan penonton. Namun, tokoh terdekat yang menjadi korban Badarawuhi yaitu Bima dan Ayu tidak mendapatkan porsi yang cukup untuk menambahkan rasa takut bagi penonton.
Film ini adalah film yang dieksekusi dengan baik. Saya suka dengan gaya Awi Suryadi untuk tidak menjadikan film ini sebagai film horror yang seram dari hanya adegan menakut-nakuti, namun juga bisa membangun kengerian dari cerita yang disajikan.
Bagi saya, adegan terseram dalam film ini adalah ketika Widya terjebak di tengah pesta ‘penghuni’ desa pada akhir cerita film. Film ini mengingatkan saya akan film horror Indonesia jadul yang banyak mengangkat budaya Indonesia.
Di tengah kekurangan dan kelebihannya, film ini masih saya nilai sebagai film yang recommended untuk ditonton karena bisa mengangkat kembali film horror dengan tema klenik khas Indonesia yang sudah mulai jarang ditemukan pada film-film horror Indonesia belakangan.
Film ini berhasil memuaskan penonton dalam menyajikan cerita yang viral ke dalam sebuah film namun kurang untuk menjadi sebuah film yang utuh apabila tanpa embel-embel diangkat dari sebuah cerita nyata yang viral.
Disclaimer: Artikel berikut ini tidak mewakili pandangan redaksi Hypeabis.id. Seluruh isi tulisan merupakan tanggungjawab penulis.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.