Ngeri Ngeri Sedap, Ketika Omongan Tetangga Lebih Penting dari Perasaan Keluarga
19 June 2022 |
21:01 WIB
Ungkapan "Muka Rambo Hati Rinto" mungkin menjadi gambaran umum tentang orang Batak yang melekat di masyarakat selama ini. Pembawaannya yang keras dan suara lantang menjadi ciri khas dalam kebinekaan di bumi Ibu Pertiwi ini.
Namun biar kalian mengenal lebih dekat tentang kehidupan dari sebuah keluarga Batak sekaligus mengenal kebudayaannya, sebaiknya kalian menonton film Ngeri Ngeri Sedap karya Bene Dion Rajagukguk.
Saya suka dengan cerita yang diangkat Bene dalam film ini. Sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, Pak Domu (Arswendy Beningswara Nasution) dan Ibu Domu (Tika Panggabean) yang tinggal di tepian Danau Toba, menahan rindu yang sangat dalam karena ketiga putranya, Domu (Boris Bokir), Gabe (Lolox), dan Sahat (Indra Jegel) tidak mau pulang kampung.
Sehari-hari, Pak Domu dan Ibu Domu ditemani oleh anak perempuan mereka satu-satunya yaitu Sarma (Gita Bhebita) yang berprofesi sebagai ASN di kecamatan tempat mereka tinggal. Domu, seorang pegawai BUMN di Bandung, enggan untuk pulang karena ayahnya tidak setuju dia menikahi wanita Sunda.
Begitu juga dengan adik-adiknya, Gabe tidak ingin pulang karena ayahnya menentang pekerjaannya sebagai pelawak di Jakarta padahal dia lulusan sarjana hukum dan Sahat juga tidak ingin meninggalkan Pak Pomo, ayah angkatnya dan desa tempat dia tinggal di Yogyakarta karena dia pasti akan dipaksa untuk meneruskan adat sebagai anak laki-laki termuda yaitu diwariskan rumah dan menjaga orang tuanya di kampung.
Akhirnya, Pak Domu dan Ibu Domu berpura-pura bahwa mereka mau bercerai agar anak-anaknya khawatir dan mau pulang kampung untuk menghadiri acara Sulam Sulam Pahopu yang akan diadakan oleh Oppung Domu (Rita Matu Mona).
Saya senang dengan pemilihan nama tokoh Bapak, Ibu, dan Oppung dengan menyebut nama anak pertama yaitu Domu. Sebenarnya kebiasaan ini tidak hanya ada di suku Batak namun membuat penonton tersadar bahwa ada budaya memanggil pasangan suami istri dengan panggilan nama anak pertama di sekeliling kita.
Kelakuan konyol Pak Domu dan Ibu Domu-lah yang menjadi inti dari cerita ini. Saya tidak hentinya tertawa ketika melihat Pak Domu yang selalu stay cool seperti kebanyakan bapak-bapak dan Ibu Domu yang berusaha menahan rasa senang karena akhirnya bisa bertemu dengan anak-anak laki-lakinya tapi harus berakting sebagai istri yang sedih karena sedang menuntut cerai kepada sang suami.
Akting Arswendy Nasution dan Tika Panggabean berhasil membuat penonton menertawakan mereka karena tingkah lucunya. Apalagi ketika adegan bertengkar dalam kamar yang hanya berteriak "Kau" dengan logat batak membuat saya tidak habis pikir bagaimana penulis skenario bisa menghadirkan dialog yang realistis dan sebenarnya tidak lucu, tapi mampu merangsang penonton untuk tertawa.
Meskipun, tokoh anak-anak diperankan oleh pelawak-pelawak yang tidak diragukan kelucuannya, Bene Dion memilih fokus untuk menghadirkan adegan jenaka dari Pak Domu dan Ibu Domu dan menjadikan keempat anak mereka sebagai korban dari konflik palsu kedua orang tua mereka.
Menurut saya, ini adalah keputusan yang cerdas dari seorang filmmaker untuk menghadirkan kisah komedi yang natural. Karena itulah, film ini akhirnya menyajikan film komedi yang sangat pas, tidak kurang dan tidak berlebihan. Sehingga, film komedi ini menjadi tontonan segar karena penonton merasa seperti menertawakan kehidupan sehari-hari yang sebenarnya tidak bermaksud lucu namun manis dan menggelitik untuk dilihat.
Kehadiran sosok Oppung sebagai tetua dalam keluarga juga ditampilkan dengan porsi yang cukup. Pembuat film tidak menyertakan Oppung sebagai penambah konflik namun sebagai penengah dan sosok yang netral dalam kemelut yang sedang dihadapi oleh anak, menantu, dan cucu-cucunya. Sikap nenek yang kebanyakan diambil oleh nenek-nenek kebanyakan yaitu bijaksana. Karakter dari tokoh anak-anakpun juga ditampilkan secara konsisten.
Domu, anak sulung pemberontak namun selalu berhati-hati untuk berbicara dengan bapaknya. Dia tidak memulai pertengkaran bila bapaknya tidak memulai lebih dulu.
Sarma, anak perempuan satu-satunya yang selalu menuruti keinginan kedua orang tuanya. Dia diceritakan senang memasak dan selalu menyediakan sarapan untuk bapak dan ibunya. Hobinya inilah yang ternyata juga menjadi plot twist di akhir cerita.
Gabe, anak tengah yang blak-blakan mengkritik bapaknya. Pekerjaan Gabe sebagai seorang pelawak / seniman tentu sejalan dengan karakternya yang blak-blakan. Gabe tidak takut untuk memulai perdebatan dengan bapaknya.
Sahat, anak bungsu yang sudah lama tinggal di Yogyakarta. Sahat diceritakan sebagai sosok yang lebih banyak mendengarkan dan tidak ngegas seperti kedua kakak lelakinya. Karakter Sahat cukup menggambarkan bahwa dia telah banyak belajar dari lingkungan barunya.
Sebenarnya, film ini terlalu serius untuk ditertawakan tapi entah kenapa bisa membuat saya senyum-senyum sendiri bahkan tertawa lepas menyaksikan semua tokoh berlakon dalam film ini.
Yang saya sukai lagi dari film ini adalah cara memperkenalkan adat Batak dengan dialog sehari-hari yang mengalir dan situasi yang digambarkan dengan jelas bukan dengan narasi ala edukasi. Bene Dion berhasil memperkenalkan adat leluhurnya dengan ringkas dan tepat untuk penonton yang belum tahu adat Batak sebelumnya.
Tradisi yang dipilih untuk diangkat ke dalam cerita adalah tradisi-tradisi kebiasaan bukan seremonial seperti istri dari anak pertama yang biasanya akan membantu mempersiapkan acara adat, anak lelaki termuda yang diberi tanggung jawab untuk menjaga rumah, dan anak perempuan yang dituntut untuk menjadi penurut dan hanya menerima apa yang dianggap baik oleh orang tua.
Keindahan alam tanah batak sepeti Danau Toba juga disuguhkan dengan sangat apik dan natural sampai membuat saya ingin berkunjung kesana. Tidak lupa, makanan khas seperti Mie Gomak dan Mie Sop juga membuat saya lapar di dalam bioskop dan berpikir untuk mencobanya.
Beberapa adegan diambil dengan one shoot sehingga membuat kualitas akting para pemain terlihat seperti menonton pementasan teater. Saya berikan pujan untuk Tika Panggabean yang mampu membawakan tokoh Ibu yang lebih tua dari usianya dengan sangat baik, Gita Bebita yang mampu keluar dari karakter dirinya yang ceplas ceplos menjadi seorang anak perempuan santun dan penurut, dan Arswendy Nasution yang konsisten menjadi Bapak yang menyebalkan dari awal sampai hampir akhir film.
Pada adegan klimaks, akting dari Boris Bokir dan Lolox sebenarnya masih bisa ditingkatkan. Saya masih melihat kecanggungan dari mereka sehingga emosi yang dikeluarkan belum maksimal. Namun, para pemeran mampu membawakan karakter dari masing-masing tokoh dengan konsisten sehingga realitas dari film ini terjaga dengan baik hingga credit title muncul di layar.
Saya terkesima dengan penampilan Indra Jegel yang mampu membawakan tokoh anak bungsu dengan sangat pas yaitu anak yang biasanya jarang memberikan argumen namun dalam, penting, dan tegas ketika dia akhirnya bisa mencurahkan perasaannya.
Film Ngeri Ngeri Sedap mengingatkan kita bahwa kadang kita lebih sering mendengarkan apa kata tetangga dibandingkan perasaan dari orang-orang yang kita sayangi. Pada hakikatnya, keluarga adalah rumah untuk para penghuninya untuk saling berbagi dan mendengarkan bukan pencapaian untuk dipamerkan kepada orang-orang di luar rumah.
Terima kasih kepada Bene Dion dan Tim yang sudah menghadirkan cerita dari Danau Toba dengan realistis dan sederhana namun menyentuh seperti yang biasanya dilakukan oleh keluarga.
Disclaimer: artikel ini merupakan karya penulis secara pribadi yang tidak mewakili redaksi Hypeabis.id.
Namun biar kalian mengenal lebih dekat tentang kehidupan dari sebuah keluarga Batak sekaligus mengenal kebudayaannya, sebaiknya kalian menonton film Ngeri Ngeri Sedap karya Bene Dion Rajagukguk.
Saya suka dengan cerita yang diangkat Bene dalam film ini. Sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, Pak Domu (Arswendy Beningswara Nasution) dan Ibu Domu (Tika Panggabean) yang tinggal di tepian Danau Toba, menahan rindu yang sangat dalam karena ketiga putranya, Domu (Boris Bokir), Gabe (Lolox), dan Sahat (Indra Jegel) tidak mau pulang kampung.
Sehari-hari, Pak Domu dan Ibu Domu ditemani oleh anak perempuan mereka satu-satunya yaitu Sarma (Gita Bhebita) yang berprofesi sebagai ASN di kecamatan tempat mereka tinggal. Domu, seorang pegawai BUMN di Bandung, enggan untuk pulang karena ayahnya tidak setuju dia menikahi wanita Sunda.
Begitu juga dengan adik-adiknya, Gabe tidak ingin pulang karena ayahnya menentang pekerjaannya sebagai pelawak di Jakarta padahal dia lulusan sarjana hukum dan Sahat juga tidak ingin meninggalkan Pak Pomo, ayah angkatnya dan desa tempat dia tinggal di Yogyakarta karena dia pasti akan dipaksa untuk meneruskan adat sebagai anak laki-laki termuda yaitu diwariskan rumah dan menjaga orang tuanya di kampung.
Akhirnya, Pak Domu dan Ibu Domu berpura-pura bahwa mereka mau bercerai agar anak-anaknya khawatir dan mau pulang kampung untuk menghadiri acara Sulam Sulam Pahopu yang akan diadakan oleh Oppung Domu (Rita Matu Mona).
Saya senang dengan pemilihan nama tokoh Bapak, Ibu, dan Oppung dengan menyebut nama anak pertama yaitu Domu. Sebenarnya kebiasaan ini tidak hanya ada di suku Batak namun membuat penonton tersadar bahwa ada budaya memanggil pasangan suami istri dengan panggilan nama anak pertama di sekeliling kita.
Kelakuan konyol Pak Domu dan Ibu Domu-lah yang menjadi inti dari cerita ini. Saya tidak hentinya tertawa ketika melihat Pak Domu yang selalu stay cool seperti kebanyakan bapak-bapak dan Ibu Domu yang berusaha menahan rasa senang karena akhirnya bisa bertemu dengan anak-anak laki-lakinya tapi harus berakting sebagai istri yang sedih karena sedang menuntut cerai kepada sang suami.
Akting Arswendy Nasution dan Tika Panggabean berhasil membuat penonton menertawakan mereka karena tingkah lucunya. Apalagi ketika adegan bertengkar dalam kamar yang hanya berteriak "Kau" dengan logat batak membuat saya tidak habis pikir bagaimana penulis skenario bisa menghadirkan dialog yang realistis dan sebenarnya tidak lucu, tapi mampu merangsang penonton untuk tertawa.
Meskipun, tokoh anak-anak diperankan oleh pelawak-pelawak yang tidak diragukan kelucuannya, Bene Dion memilih fokus untuk menghadirkan adegan jenaka dari Pak Domu dan Ibu Domu dan menjadikan keempat anak mereka sebagai korban dari konflik palsu kedua orang tua mereka.
Menurut saya, ini adalah keputusan yang cerdas dari seorang filmmaker untuk menghadirkan kisah komedi yang natural. Karena itulah, film ini akhirnya menyajikan film komedi yang sangat pas, tidak kurang dan tidak berlebihan. Sehingga, film komedi ini menjadi tontonan segar karena penonton merasa seperti menertawakan kehidupan sehari-hari yang sebenarnya tidak bermaksud lucu namun manis dan menggelitik untuk dilihat.
Kehadiran sosok Oppung sebagai tetua dalam keluarga juga ditampilkan dengan porsi yang cukup. Pembuat film tidak menyertakan Oppung sebagai penambah konflik namun sebagai penengah dan sosok yang netral dalam kemelut yang sedang dihadapi oleh anak, menantu, dan cucu-cucunya. Sikap nenek yang kebanyakan diambil oleh nenek-nenek kebanyakan yaitu bijaksana. Karakter dari tokoh anak-anakpun juga ditampilkan secara konsisten.
Domu, anak sulung pemberontak namun selalu berhati-hati untuk berbicara dengan bapaknya. Dia tidak memulai pertengkaran bila bapaknya tidak memulai lebih dulu.
Sarma, anak perempuan satu-satunya yang selalu menuruti keinginan kedua orang tuanya. Dia diceritakan senang memasak dan selalu menyediakan sarapan untuk bapak dan ibunya. Hobinya inilah yang ternyata juga menjadi plot twist di akhir cerita.
Gabe, anak tengah yang blak-blakan mengkritik bapaknya. Pekerjaan Gabe sebagai seorang pelawak / seniman tentu sejalan dengan karakternya yang blak-blakan. Gabe tidak takut untuk memulai perdebatan dengan bapaknya.
Sahat, anak bungsu yang sudah lama tinggal di Yogyakarta. Sahat diceritakan sebagai sosok yang lebih banyak mendengarkan dan tidak ngegas seperti kedua kakak lelakinya. Karakter Sahat cukup menggambarkan bahwa dia telah banyak belajar dari lingkungan barunya.
Sebenarnya, film ini terlalu serius untuk ditertawakan tapi entah kenapa bisa membuat saya senyum-senyum sendiri bahkan tertawa lepas menyaksikan semua tokoh berlakon dalam film ini.
Yang saya sukai lagi dari film ini adalah cara memperkenalkan adat Batak dengan dialog sehari-hari yang mengalir dan situasi yang digambarkan dengan jelas bukan dengan narasi ala edukasi. Bene Dion berhasil memperkenalkan adat leluhurnya dengan ringkas dan tepat untuk penonton yang belum tahu adat Batak sebelumnya.
Tradisi yang dipilih untuk diangkat ke dalam cerita adalah tradisi-tradisi kebiasaan bukan seremonial seperti istri dari anak pertama yang biasanya akan membantu mempersiapkan acara adat, anak lelaki termuda yang diberi tanggung jawab untuk menjaga rumah, dan anak perempuan yang dituntut untuk menjadi penurut dan hanya menerima apa yang dianggap baik oleh orang tua.
Keindahan alam tanah batak sepeti Danau Toba juga disuguhkan dengan sangat apik dan natural sampai membuat saya ingin berkunjung kesana. Tidak lupa, makanan khas seperti Mie Gomak dan Mie Sop juga membuat saya lapar di dalam bioskop dan berpikir untuk mencobanya.
Beberapa adegan diambil dengan one shoot sehingga membuat kualitas akting para pemain terlihat seperti menonton pementasan teater. Saya berikan pujan untuk Tika Panggabean yang mampu membawakan tokoh Ibu yang lebih tua dari usianya dengan sangat baik, Gita Bebita yang mampu keluar dari karakter dirinya yang ceplas ceplos menjadi seorang anak perempuan santun dan penurut, dan Arswendy Nasution yang konsisten menjadi Bapak yang menyebalkan dari awal sampai hampir akhir film.
Pada adegan klimaks, akting dari Boris Bokir dan Lolox sebenarnya masih bisa ditingkatkan. Saya masih melihat kecanggungan dari mereka sehingga emosi yang dikeluarkan belum maksimal. Namun, para pemeran mampu membawakan karakter dari masing-masing tokoh dengan konsisten sehingga realitas dari film ini terjaga dengan baik hingga credit title muncul di layar.
Saya terkesima dengan penampilan Indra Jegel yang mampu membawakan tokoh anak bungsu dengan sangat pas yaitu anak yang biasanya jarang memberikan argumen namun dalam, penting, dan tegas ketika dia akhirnya bisa mencurahkan perasaannya.
Film Ngeri Ngeri Sedap mengingatkan kita bahwa kadang kita lebih sering mendengarkan apa kata tetangga dibandingkan perasaan dari orang-orang yang kita sayangi. Pada hakikatnya, keluarga adalah rumah untuk para penghuninya untuk saling berbagi dan mendengarkan bukan pencapaian untuk dipamerkan kepada orang-orang di luar rumah.
Terima kasih kepada Bene Dion dan Tim yang sudah menghadirkan cerita dari Danau Toba dengan realistis dan sederhana namun menyentuh seperti yang biasanya dilakukan oleh keluarga.
Disclaimer: artikel ini merupakan karya penulis secara pribadi yang tidak mewakili redaksi Hypeabis.id.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.