Ternyata Ini Alasan Karya Seni Old Master Tetap Diminati Kolektor
07 September 2022 |
22:30 WIB
Pandemi rupanya tak menyurutkan minat kolektor untuk memburu karya seni rupa old master. Belum lama ini, dua lukisan karya maestro seni lukis Indonesia, Affandi, terjual dengan harga yang fantastis di pekan seni rupa internasional Art Jakarta 2022.
Dua karya yang dimaksud berjudul Aceh Village (1978) dan Madurese Boat at Beach (1964) yang masing-masing dibanderol dengan harga Rp2 miliar dan Rp7,2 miliar. Lukisan-lukisan itu dibawa oleh Art Agenda, galeri seni yang berbasis di Singapura dan Jakarta.
Affandi tentu bukan satu-satunya seniman yang karyanya terjual dengan harga fantastis. Ada banyak karya old master yang telah jatuh ke tangan kolektor dengan harga yang mahal.
Beberapa di antaranya lukisan Bali Life karya Lee Man Fong yang terjual Rp50,92 miliar, Pasukan Kita yang Dipimpin Pangeran Diponegoro (Our Soldiers Led Under Prince Diponegoro) karya S. Sudjojono seharga Rp58,36 miliar, hingga lukisan Perburuan Banteng karya Raden Saleh seharga Rp120 miliar.
Baca juga: Intip Karya Old Master Lee Man Fong yang Jadi Koleksi Lukisan Istimewa
Menurut Kurator Kuss Indarto, ada tiga faktor yang membuat sebuah lukisan bisa dibanderol dengan harga yang fantastis. Pertama, dari sisi histori perjalanan karier seniman. Misalnya seniman maestro Affandi, yang memulai kariernya sebagai pembuat poster film hingga akhirnya menjadi salah satu pelukis yang karyanya mendunia.
Kedua, faktor seniman yang kerap melakukan pilihan-pilihan inovatif dalam proses kekaryaannya. Kuss mengatakan bahwa awalnya Affandi adalah pelukis dengan kemampuan melukis realis yang sangat kuat. Namun, dalam perjalanannya, Affandi juga berani berubah untuk membuat pencapaian artistik yang berbeda.
"Kemudian karyanya kan bisa dibilang tetap realis tetapi ekspresionis. Hanya sedikit orang yang mampu dan berani melakukan hal itu," katanya kepada Hypeabis.id.
Sementara yang tak kalah penting juga adalah faktor pencapaian seniman itu sendiri. Kuss menuturkan Affandi adalah salah satu seniman old master yang memiliki pencapaian-pencapaian tertentu, seperti misalnya menjadi seniman pertama yang mengikuti Venice Biennale tahun 1954, dan Sau Paulo Biennale tahun 1952. Seperti diketahui, hanya seniman-seniman pilihan yang bisa mengikuti agenda penting seni rupa dunia itu.
"Jadi mahal [lukisan] itu antara lain sejarahnya panjang, keberanian untuk melakukan eksperimentasi kreatifnya cukup kuat, dan memiliki pencapaian-pencapaian atau prestasi tertentu," terangnya.
Meski beberapa faktor itu melekat pada seniman-seniman old master, Kuss mengatakan bukan tidak mungkin itu juga bisa terjadi pada seniman-seniman muda saat ini. Seperti misalnya seniman Eko Nugroho yang dinilai berani membuat karya-karya di luar konvensi atau kebiasaan.
Berawal sebagai pegiat komik, karya-karya seni rupa Eko Nugroho dianggap menyuntikkan warna segar bagi seni rupa di Indonesia. Terutama dengan gaya gambarnya yang khas, komikal, surreal dan dicampur dengan teks campursari berbagai bahasa dengan pemaknaan yang absurd namun satirik dan jenial, melalui berbagai medium mulai dari komik, mural, performance, animasi dan juga materi yang menjadi salah satu ciri khasnya yakni bordir.
"Jadi saya kira sedikit banyak yang terjadi pada seniman old master tadi berlaku juga pada seniman yang lain, meskipun mungkin ada poin-poin yang lain," imbuhnya.
Kuss berpendapat ada beberapa hal yang melatar belakangi para kolektor membeli atau mengoleksi karya old master dengan harga fantastis yakni investasi, minat tinggi terhadap seni, atau prestise.
Ketika seseorang membeli sebuah karya bernilai tinggi, hal itu biasanya akan menjadi eksklusif, di mana hanya dia lah yang memiliki karya itu. "Hal yang terbatas itu kan eksklusif dan membuat seseorang bisa punya prestise, yang orang lain tidak bisa memilikinya" tambahnya.
Meskipun terbatas, Kuss menilai bahwa para kolektor yang meminati karya old master akan tetap ada. Hal itu biasanya terdiri dari para kolektor papan atas, atau mereka yang memang fanatik pada karya seniman tertentu.
Dia justru melihat bahwa para kolektor muda saat ini cenderung tidak memiliki ketertarikan yang besar terhadap karya dari seniman old master seperti Affandi, Sudjojono atau Hendra Gunawan, tetapi mereka justru menaruh perhatian pada karya-karya seniman baru seperti Eko Nugroho atau Entang Wiharso. "Kemudian pangsa pasarnya jadi berbeda atau terbagi," ujarnya.
Senada, Marketing Director Moon's Art Sri Woelandari mengatakan saat ini para kolektor muda cenderung lebih melirik karya-karya kontemporer, seiring dengan perkembangan seni rupa dari waktu ke waktu.
Kendati begitu, dia menyebut bahwa animo kolektor terhadap karya-karya old master masih cukup baik terutama di kalangan para kolektor senior.
"Tapi tidak menutup kemungkinan di kalangan kolektor muda yang tahu sejarah tentang pelukisnya, dia akan melirik juga. Animo mereka juga sudah mulai menuju ke old master," katanya.
Moon's Art sendiri merupakan salah satu galeri yang cukup menaruh perhatian besar pada karya-karya old master. Beberapa karya yang ditampilkan berasal dari para maestro lukis Indonesia seperti Lee Man Fong, Ahmad Sadali, Mochtar Apin, Nashar, dan Zaini.
Salah satu alasan utama Moon's Art mengoleksi karya old master adalah dari sisi nilai ekonomis atau investasinya yang tinggi. "Jadi kalau beli lukisannya itu sudah beberapa tahun yang lalu dengan harga sekarang, itu nilainya sudah jelas," ujarnya.
Baca juga: Tak Hanya Old Master, Ini 4 Seniman Muda Indonesia yang Karyanya Mendunia
Meski demikian, Sri menyayangkan bahwa tak sedikit karya old master yang masih undervalued, di mana nilainya masih di bawah harga normal jika dibandingkan dengan karya-karya old master dari luar negeri. Dia menilai bahwa harga dari karya-karya old master di dalam negeri masih bisa didongkrak lebih tinggi lagi.
Editor: Fajar Sidik
Dua karya yang dimaksud berjudul Aceh Village (1978) dan Madurese Boat at Beach (1964) yang masing-masing dibanderol dengan harga Rp2 miliar dan Rp7,2 miliar. Lukisan-lukisan itu dibawa oleh Art Agenda, galeri seni yang berbasis di Singapura dan Jakarta.
Affandi tentu bukan satu-satunya seniman yang karyanya terjual dengan harga fantastis. Ada banyak karya old master yang telah jatuh ke tangan kolektor dengan harga yang mahal.
Beberapa di antaranya lukisan Bali Life karya Lee Man Fong yang terjual Rp50,92 miliar, Pasukan Kita yang Dipimpin Pangeran Diponegoro (Our Soldiers Led Under Prince Diponegoro) karya S. Sudjojono seharga Rp58,36 miliar, hingga lukisan Perburuan Banteng karya Raden Saleh seharga Rp120 miliar.
Baca juga: Intip Karya Old Master Lee Man Fong yang Jadi Koleksi Lukisan Istimewa
Menurut Kurator Kuss Indarto, ada tiga faktor yang membuat sebuah lukisan bisa dibanderol dengan harga yang fantastis. Pertama, dari sisi histori perjalanan karier seniman. Misalnya seniman maestro Affandi, yang memulai kariernya sebagai pembuat poster film hingga akhirnya menjadi salah satu pelukis yang karyanya mendunia.
Kedua, faktor seniman yang kerap melakukan pilihan-pilihan inovatif dalam proses kekaryaannya. Kuss mengatakan bahwa awalnya Affandi adalah pelukis dengan kemampuan melukis realis yang sangat kuat. Namun, dalam perjalanannya, Affandi juga berani berubah untuk membuat pencapaian artistik yang berbeda.
"Kemudian karyanya kan bisa dibilang tetap realis tetapi ekspresionis. Hanya sedikit orang yang mampu dan berani melakukan hal itu," katanya kepada Hypeabis.id.
Sementara yang tak kalah penting juga adalah faktor pencapaian seniman itu sendiri. Kuss menuturkan Affandi adalah salah satu seniman old master yang memiliki pencapaian-pencapaian tertentu, seperti misalnya menjadi seniman pertama yang mengikuti Venice Biennale tahun 1954, dan Sau Paulo Biennale tahun 1952. Seperti diketahui, hanya seniman-seniman pilihan yang bisa mengikuti agenda penting seni rupa dunia itu.
"Jadi mahal [lukisan] itu antara lain sejarahnya panjang, keberanian untuk melakukan eksperimentasi kreatifnya cukup kuat, dan memiliki pencapaian-pencapaian atau prestasi tertentu," terangnya.
Meski beberapa faktor itu melekat pada seniman-seniman old master, Kuss mengatakan bukan tidak mungkin itu juga bisa terjadi pada seniman-seniman muda saat ini. Seperti misalnya seniman Eko Nugroho yang dinilai berani membuat karya-karya di luar konvensi atau kebiasaan.
Berawal sebagai pegiat komik, karya-karya seni rupa Eko Nugroho dianggap menyuntikkan warna segar bagi seni rupa di Indonesia. Terutama dengan gaya gambarnya yang khas, komikal, surreal dan dicampur dengan teks campursari berbagai bahasa dengan pemaknaan yang absurd namun satirik dan jenial, melalui berbagai medium mulai dari komik, mural, performance, animasi dan juga materi yang menjadi salah satu ciri khasnya yakni bordir.
"Jadi saya kira sedikit banyak yang terjadi pada seniman old master tadi berlaku juga pada seniman yang lain, meskipun mungkin ada poin-poin yang lain," imbuhnya.
Kuss berpendapat ada beberapa hal yang melatar belakangi para kolektor membeli atau mengoleksi karya old master dengan harga fantastis yakni investasi, minat tinggi terhadap seni, atau prestise.
Ketika seseorang membeli sebuah karya bernilai tinggi, hal itu biasanya akan menjadi eksklusif, di mana hanya dia lah yang memiliki karya itu. "Hal yang terbatas itu kan eksklusif dan membuat seseorang bisa punya prestise, yang orang lain tidak bisa memilikinya" tambahnya.
Meskipun terbatas, Kuss menilai bahwa para kolektor yang meminati karya old master akan tetap ada. Hal itu biasanya terdiri dari para kolektor papan atas, atau mereka yang memang fanatik pada karya seniman tertentu.
Dia justru melihat bahwa para kolektor muda saat ini cenderung tidak memiliki ketertarikan yang besar terhadap karya dari seniman old master seperti Affandi, Sudjojono atau Hendra Gunawan, tetapi mereka justru menaruh perhatian pada karya-karya seniman baru seperti Eko Nugroho atau Entang Wiharso. "Kemudian pangsa pasarnya jadi berbeda atau terbagi," ujarnya.
Senada, Marketing Director Moon's Art Sri Woelandari mengatakan saat ini para kolektor muda cenderung lebih melirik karya-karya kontemporer, seiring dengan perkembangan seni rupa dari waktu ke waktu.
Kendati begitu, dia menyebut bahwa animo kolektor terhadap karya-karya old master masih cukup baik terutama di kalangan para kolektor senior.
"Tapi tidak menutup kemungkinan di kalangan kolektor muda yang tahu sejarah tentang pelukisnya, dia akan melirik juga. Animo mereka juga sudah mulai menuju ke old master," katanya.
Moon's Art sendiri merupakan salah satu galeri yang cukup menaruh perhatian besar pada karya-karya old master. Beberapa karya yang ditampilkan berasal dari para maestro lukis Indonesia seperti Lee Man Fong, Ahmad Sadali, Mochtar Apin, Nashar, dan Zaini.
Salah satu alasan utama Moon's Art mengoleksi karya old master adalah dari sisi nilai ekonomis atau investasinya yang tinggi. "Jadi kalau beli lukisannya itu sudah beberapa tahun yang lalu dengan harga sekarang, itu nilainya sudah jelas," ujarnya.
Baca juga: Tak Hanya Old Master, Ini 4 Seniman Muda Indonesia yang Karyanya Mendunia
Meski demikian, Sri menyayangkan bahwa tak sedikit karya old master yang masih undervalued, di mana nilainya masih di bawah harga normal jika dibandingkan dengan karya-karya old master dari luar negeri. Dia menilai bahwa harga dari karya-karya old master di dalam negeri masih bisa didongkrak lebih tinggi lagi.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.