Ilustrasi pengukuran tekanan darah untuk mencegah terjadinya stroke. (Sumber gambar : Freepik/Sanivpetro)

Simak Proses Terjadinya Stroke dan Gejala Sisa yang Ditimbulkan

05 September 2022   |   07:18 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Like
Hipertensi dikenal sebagai pembunuh dalam senyap. Julukan itu disematkan lantaran kondisi tekanan darah tinggi ini sering hadir tanpa gejala dan tiba-tiba menyebabkan komplikasi penyakit seperti stroke yang berisiko tinggi kematian. Hipertensi ditemukan pada 64-70 persen kasus stroke.

Pada 2021, secara global diperkirakan 1 diantara 4 orang dewasa berusia di atas 25 tahun pernah mengalami stroke. Spesialis Saraf RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, dr. Eka Harmeiwaty menyampaikan, seseorang dikatakan menderita hipertensi apabila memiliki tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg.

“Salah satu yang menjadi tantangan dalam penanganan hipertensi adalah pasiennya kadang tidak sadar kalau mereka mengidap hipertensi dan baru ketahuan saat tekanan darah sudah di angka yang sangat tinggi,” tutur Eka. 

Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah Eka Hospital BSD dr. M. Yamin menerangkan ada dua cara hipertensi menyebabkan stroke. Pertama, tekanan darah yang tidak terkendali sampai pada tingkat tekanan tinggi, kemudian menyebabkan sel dinding pembuluh darah (sel endotel) di otak bisa pecah dan akhirnya terjadi pendarahan. Darah yang tumpah akibat pecah atau bocor menyebabkan penumpukan dan menghambat jaringan otak. Kondisi ini disebut stroke hemoragik. 

Baca jugaFluktuasi Tekanan Darah di Pagi Hari Bisa Picu Serangan Stroke

Cara kedua, akibat tekanan darah tinggi, lapisan dalam pembuluh darah otak akan mengalami gangguan akibat penumpukan lemak. Seiring waktu, pembuluh darah tersebut menyempit, mengeras, alhasil aliran darah ke otak berkurang. Bila pembuluh darah itu pecah, bisa sebabkan sumbatan di jaringan otak. Ini disebut sebagai stroke iskemik.

Oleh karena itu, Yamin menegaskan penderita hipertensi harus mengendalikan tekanan darahnya melalui kombinasi gaya hidup. Selain harus rutin meminum obat hipertensinya, pasien wajib mengurangi berat badan apabila terjadi obesitas, rutin berolahraga, menghindari makanan yang berkolesterol dan tinggi garam. 

Mantan dokter kepresidenan ini menerangkan membatasi konsumsi garam bagi penderita hipertensi sangat penting. “Kalau dikurangi, tekanan darah dia akan turun,” imbuhnya. 

Nah terkait garam, Yamin menanti-wanti untuk waspada terhadap garam terselubung atau hidden salt. Biasanya garam terselubung yang tinggi kadarnya ini berada pada makanan yang diawetkan. Oleh karena itu, pasien hipertensi disarankan untuk memeriksa informasi produk sebelum membeli makanan kemasan atau yang diawetkan. 
 
“Garam tidak selalu yang terasa asin. Jangan dipikir garam yang dimasak saja. Garam terselubung ini justru lebih banyak dan rata-rata diawetkan,” ungkapnya. 

Kemudian, pasien hipertensi disarankan untuk mengelola stres dan tidak terlalu ambisius terhadap sesuatu yang dapat meningkatkan emosinya. Kondisi emosional ini kata Yamin dapat meningkatkan tekanan darah. “Hindari stres,” tegasnya.

Untuk pasien hipertensi yang akhirnya mengalami stroke. Modifikasi gaya hidup tersebut menurut Yamin harus lebih diperketat untuk menghindari terjadinya stroke berulang. Mereka juga sebaiknya melakukan terapi agar bagian tubuh yang lemah atau mati bisa berfungsi kembali walaupun tidak 100% persen.


Tangani Gejala Sisa

Spesialis Saraf Konsultan Neurodegeneratif RS Pondok Indah Dyah Tanjungsari menjelaskan penanganan stroke sangat berkejaran dengan waktu. Dia menyebut setiap menit ada 1,9 juta sel saraf yang mengalami kerusakan pada saat terjadi stroke. 

Oleh karena itu, penanganannya sangat dipengaruhi oleh waktu yang tepat saat pasien hipertensi dalam keadaan kegawatdaruratan. “Semakin cepat penanganan, harapan pemulihan fungsional menjadi lebih baik,” sebutnya.

Baca jugaLemak Jenis Ini Turunkan Risiko Stroke

Dia mengungkapkan secara global hanya 50-70 persen pasien stroke yang tercatat dapat beraktivitas kembali. Namun 15-30 persen pasien diantaranya mengalami gejala sisa. 

Gejala stroke diketahui mulai dari gangguan bicara, kelumpuhan anggota gerak, baal atau kesemutan, hingga mulut mencong. Banyak sekali pasien yang selamat dari stroke mengalami gejala sisa.

Gejala sisa yang pertama berupa kelemahan atau kesulitan berjalan. Biasanya kelumpuhan terjadi di satu sisi. Saat berjalan, pasien harus seperti menyeret anggota badan yang lemah atau lumpuh. 

Gejala sisa kedua adalah gangguan fungsi bicara seperti cadel, gangguan pemahaman berupa mengucapkan kata-kata tetapi ketika diberikan instruksi atau informasi dia tidak bisa memahami. Kemudian gangguan kelancaran bicara yaitu pasien bisa paham yang diinstruksikan tetapi tidak bisa bicara untuk meresponnya.

Gejala sisa ketiga yakni gangguan fungsi kognitif seperti keluhan lupa, kesulitan menulis atau membaca, sulit berkonsentrasi, dan pasien sering menyasar ketika bepergian.

Gejala sisa keempat atau yang terakhir adalah gangguan emosi seperti mudah marah, penyendiri, dan depresi. Tetapi kondisi ini juga bisa diakibatkan faktor sekunder seperti stres tidak bisa bekerja kembali.

Untuk menangani gejala sisa ini, kata Dyah bisa menggunakan pendekatan neurorestorasi, yakni cara atau teknik yang biasanya dilakukan untuk pasien yang alami stroke dan cedera saraf lainnya. 

Beberapa terapi yang bisa dilakukan yakni non invasive brain stimulation, neuromuscular taping, virtual reality based therapy, neurorehabilitation, neurology music terapi, dan stem cell therapy.

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News

Editor : Gita Carla

SEBELUMNYA

Tak Hanya Old Master, Ini 4 Seniman Muda Indonesia yang Karyanya Mendunia

BERIKUTNYA

Penyakit Infeksi Paru-paru Langka Muncul, Renggut 4 Nyawa di Argentina

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: