Simak Cerita Seniman Mamedz tentang Perkembangan Ekosistem NFT
29 August 2022 |
21:30 WIB
Non-fungible token atau NFT merupakan salah satu hal yang digandrungi banyak kalangan masyarakat, termasuk anak-anak muda kalangan milenial dan generasi Z. Fenomena ini mulai viral setidaknya dalam setahun terakhir seiring dengan perkembangan teknologi Web3 seperti blockchain dan metaverse.
Salah satu pihak yang terkait dengan kemajuan NFT adalah para seniman yang kini banyak beralih ke ranah digital dan mengembangkan karyanya melalui berbagai platform e-commerce untuk NFT seperti OpenSea dan sejumlah platform lain.
Baca juga: 4 Cara Memiliki Pernikahan Metaverse, dari Sertifikat sampai Hadiah NFT
Menurut Achmed Muhammad Jamal, seniman NFT sekaligus Community Director IDNFT, dia merasakan bahwa awalnya keterlibatannya dengan NFT ada kaitannya dengan keinginan adanya bentuk baru dari karya digital.
Sebagai ilustrator dan desainer grafis, seniman yang disapa Mamedz itu bercerita bahwa dirinya jenuh dengan rutinitasnya dan berusaha mengunggah berbagai karya di media sosial. Namun, hal ini perlahan berubah saat dirinya memutuskan untuk mencoba NFT saat awal-awal kepopulerannya di Indonesia.
"Saat itu ekosistem NFT belum terbentuk dan masyarakat belum sadar [dengan NFT], sehingga saya coba [membuat karya] dan menjualnya meski saya sendiri tidak bisa terhindar dari adanya [iming-iming] keuntungan besar," jelasnya dalam wawancara bersama Hypeabis.id.
Dia juga bercerita bahwa saat ini perkembangan NFT sendiri kemudian menarik banyak sesama seniman dan desainer grafis untuk ikut masuk ke dalam ekosistem yang terbilang seumur jagung itu.
Banyak dari mereka akhirnya harus beradaptasi dengan belajar ulang tentang NFT beserta dengan ekosistem dan perjalanannya, di saat yang sama ada juga dukungan dari seniman dan desainer lain yang sudah lebih dulu terjun di dalamnya.
Selain pembelajaran ulang, ada pula hal lain yang harus dipelajari oleh para seniman dan desainer yang baru terjun ke dalam ekosistem NFT: migrasi pasar konsumen yang berbeda dan adaptasi teknologi Web3.
Hal lainnya yang juga harus dipelajari adalah tentang adaptasi tren yang cenderung sering berganti sekaligus edukasi NFT sebagai opsi bentuk karya yang tidak kalah menarik dari karya seni konvensional.
Seniman serial karya NFT The Appearance, akaSwap, dan The Big of Title Tribe tersebut berpendapat bahwa perkembangan karya NFT di kalangan seniman ada berbagai variasi dan trennya sendiri didorong fenomena fear of missing out (FOMO) dan preferensi dari kolektor.
"Ada beberapa formula dasar dari tren yang ada dalam NFT seperti bentuk karakter dan binatang. Ada juga proyek one-on-one atau solo dan ada pula yang berbentuk NFT Project (proyek bersama). Trennya juga dibangun oleh para kolektor [yang memiliki selera yang bermacam-macam]," jelasnya.
Lebih rinci, karya NFT memiliki ciri khas masing-masing karena beberapa hal seperti tren yang ada di dalam ekosistem dan formula dasar yang kerap kali berubah.
Namun, Mamedz menyebutkan bahwa biasanya hal-hal ini kadang mendukung sebuah karya untuk terangkat hingga sold out, ada pula yang baru terlihat beberapa waktu ke depan bersamaan dengan peningkatan kualitas dan jenis karya yang dihasilkan.
Fenomena yang ada dalam ekosistem seniman NFT adalah biasanya setiap perupa memiliki utilitas atau kelebihan tertentu yang ditawarkan, misalnya fitur atau tambahan berupa kelebihan pada akses, merchandise eksklusif, karya eksklusif, hingga nilai pada aspek narasi dan cerita.
Berbagai formula inilah yang dianggap bisa mendongkrak karya-karya NFT yang diperjualbelikan, sehingga mendorong seniman untuk berpikir ulang dalam membuat karya baru.
Di sisi lain, para seniman kini harus menghadapi beragam tantangan dengan upaya menjaga ekosistem sebagai hal yang utama. Kendala atau tantangan ini antara lain adalah bahasa pengantar dan zona waktu yang harus disesuaikan dan mengikuti pasar global.
Hal yang lebih serius bagi seniman yang berkecimpung dalam NFT adalah permasalahan hak cipta yang harus ditentukan dari pihak perupa dan kolektor dan perlindungan karya oleh rekan sesama perupa.
Terkait hal ini, pilihan untuk menentukan hak sebuah karya dijadikan sebagai hak milik atau hak putus (hanya membeli karya dengan kepemilikan oleh pihak perupa).
"Terkait penjiplakan yang bisa terjadi, komunitas harus berusaha untuk melindungi karya asli [milik perupa NFT]. Copy minting (istilah plagiarisme dalam NFT) bisa diatasi oleh komunitas seniman dan bisa ketahuan dari data transparan yang ada dalam karya NFT," tambahnya.
Baca juga: Review Hypeabis: Game Stray, Jelajah Dunia Cyberpunk dari Sudut Pandang Kucing Oranye
Hal terakhir yang jadi aspek mendasar pada tantangan dalam NFT adalah perlunya peninjauan dalam segi perkembangan, di mana hal ini perlu dilakukan dalam tingkat masyarakat. Mamedz menilai publik harus menelisik lebih lanjut tentang karya NFT sekaligus harus cermat dan teliti.
Upaya ini bisa dilakukan dengan memastikannya bersama komunitas dan seniman yang kredibel, terutama mereka yang sudah berpengalaman lebih dulu dalam karya-karya NFT.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Googlenews)
Editor: Fajar Sidik
Salah satu pihak yang terkait dengan kemajuan NFT adalah para seniman yang kini banyak beralih ke ranah digital dan mengembangkan karyanya melalui berbagai platform e-commerce untuk NFT seperti OpenSea dan sejumlah platform lain.
Baca juga: 4 Cara Memiliki Pernikahan Metaverse, dari Sertifikat sampai Hadiah NFT
Menurut Achmed Muhammad Jamal, seniman NFT sekaligus Community Director IDNFT, dia merasakan bahwa awalnya keterlibatannya dengan NFT ada kaitannya dengan keinginan adanya bentuk baru dari karya digital.
Sebagai ilustrator dan desainer grafis, seniman yang disapa Mamedz itu bercerita bahwa dirinya jenuh dengan rutinitasnya dan berusaha mengunggah berbagai karya di media sosial. Namun, hal ini perlahan berubah saat dirinya memutuskan untuk mencoba NFT saat awal-awal kepopulerannya di Indonesia.
"Saat itu ekosistem NFT belum terbentuk dan masyarakat belum sadar [dengan NFT], sehingga saya coba [membuat karya] dan menjualnya meski saya sendiri tidak bisa terhindar dari adanya [iming-iming] keuntungan besar," jelasnya dalam wawancara bersama Hypeabis.id.
Dia juga bercerita bahwa saat ini perkembangan NFT sendiri kemudian menarik banyak sesama seniman dan desainer grafis untuk ikut masuk ke dalam ekosistem yang terbilang seumur jagung itu.
Banyak dari mereka akhirnya harus beradaptasi dengan belajar ulang tentang NFT beserta dengan ekosistem dan perjalanannya, di saat yang sama ada juga dukungan dari seniman dan desainer lain yang sudah lebih dulu terjun di dalamnya.
Selain pembelajaran ulang, ada pula hal lain yang harus dipelajari oleh para seniman dan desainer yang baru terjun ke dalam ekosistem NFT: migrasi pasar konsumen yang berbeda dan adaptasi teknologi Web3.
Hal lainnya yang juga harus dipelajari adalah tentang adaptasi tren yang cenderung sering berganti sekaligus edukasi NFT sebagai opsi bentuk karya yang tidak kalah menarik dari karya seni konvensional.
Seniman serial karya NFT The Appearance, akaSwap, dan The Big of Title Tribe tersebut berpendapat bahwa perkembangan karya NFT di kalangan seniman ada berbagai variasi dan trennya sendiri didorong fenomena fear of missing out (FOMO) dan preferensi dari kolektor.
"Ada beberapa formula dasar dari tren yang ada dalam NFT seperti bentuk karakter dan binatang. Ada juga proyek one-on-one atau solo dan ada pula yang berbentuk NFT Project (proyek bersama). Trennya juga dibangun oleh para kolektor [yang memiliki selera yang bermacam-macam]," jelasnya.
Lebih rinci, karya NFT memiliki ciri khas masing-masing karena beberapa hal seperti tren yang ada di dalam ekosistem dan formula dasar yang kerap kali berubah.
Namun, Mamedz menyebutkan bahwa biasanya hal-hal ini kadang mendukung sebuah karya untuk terangkat hingga sold out, ada pula yang baru terlihat beberapa waktu ke depan bersamaan dengan peningkatan kualitas dan jenis karya yang dihasilkan.
Fenomena yang ada dalam ekosistem seniman NFT adalah biasanya setiap perupa memiliki utilitas atau kelebihan tertentu yang ditawarkan, misalnya fitur atau tambahan berupa kelebihan pada akses, merchandise eksklusif, karya eksklusif, hingga nilai pada aspek narasi dan cerita.
Berbagai formula inilah yang dianggap bisa mendongkrak karya-karya NFT yang diperjualbelikan, sehingga mendorong seniman untuk berpikir ulang dalam membuat karya baru.
Di sisi lain, para seniman kini harus menghadapi beragam tantangan dengan upaya menjaga ekosistem sebagai hal yang utama. Kendala atau tantangan ini antara lain adalah bahasa pengantar dan zona waktu yang harus disesuaikan dan mengikuti pasar global.
Hal yang lebih serius bagi seniman yang berkecimpung dalam NFT adalah permasalahan hak cipta yang harus ditentukan dari pihak perupa dan kolektor dan perlindungan karya oleh rekan sesama perupa.
Terkait hal ini, pilihan untuk menentukan hak sebuah karya dijadikan sebagai hak milik atau hak putus (hanya membeli karya dengan kepemilikan oleh pihak perupa).
"Terkait penjiplakan yang bisa terjadi, komunitas harus berusaha untuk melindungi karya asli [milik perupa NFT]. Copy minting (istilah plagiarisme dalam NFT) bisa diatasi oleh komunitas seniman dan bisa ketahuan dari data transparan yang ada dalam karya NFT," tambahnya.
Baca juga: Review Hypeabis: Game Stray, Jelajah Dunia Cyberpunk dari Sudut Pandang Kucing Oranye
Hal terakhir yang jadi aspek mendasar pada tantangan dalam NFT adalah perlunya peninjauan dalam segi perkembangan, di mana hal ini perlu dilakukan dalam tingkat masyarakat. Mamedz menilai publik harus menelisik lebih lanjut tentang karya NFT sekaligus harus cermat dan teliti.
Upaya ini bisa dilakukan dengan memastikannya bersama komunitas dan seniman yang kredibel, terutama mereka yang sudah berpengalaman lebih dulu dalam karya-karya NFT.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Googlenews)
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.