Anak Alergi Makanan, Begini Gejala dan Cara Mengatasinya
27 August 2022 |
09:43 WIB
Alergi makanan seringkali terjadi ada anak-anak. Reaksi sistem kekebalan tubuh terhadap zat lain yang dianggap berbahaya walaupun sebenarnya tidak ini bisa mengganggu tumbuh kembang Si Kecil. Gejala yang ditimbulkan pun membuat mereka tidak nyaman, bahkan berisiko kematian.
Konsultan Alergi dan Imunologi Anak, dr. Endah Citraresmi, mengatakan sekitar 10 persen anak pada satu tahun pertama mengalami reaksi alergi terhadap makanan yang diberikan. Gejalanya sangat dipengaruhi mekanismenya.
Apabila diperantarai IgE reaksinya terbilang cepat. Setelah makan, dalam beberapa menit, gejala langsung timbul. Beberapa anak mengalami gejala alergi dalam dua jam setelah makan.
Baca juga: Waspada Gejala Flu Tomat, Virus Baru yang Serang Anak-Anak
IgE disebut juga sebagai imunoglobulin E, sangat berperan pada mekanisme alergi di dalam tubuh. Antibodi ini menangkap zat asing yang masuk ke dalam tubuh dan menempel di sel mast. Akhirnya IgE akan menghasilkan zat histamin yang menyebabkan reaksi alergi.
“Tapi kalau tidak diperantarai IgE, timbul reaksinya bisa lebih dari dua jam bahkan 2-3 hari setelah paparan,” ujarnya dalam diskusi virtual yang digelar Danone belum lama ini.
Gejala alergi makanan yang diperantarai IgE berupa bentol dan bengkak pada kulit. Bentol terjadi hampir di seluruh badan sementara bengkak biasanya di area bibir dan mata.
Gejala lain yakni di saluran cerna, berupa muntah, sakit perut, dan gatal di rongga mulut setelah mengonsumsi makanan pemicunya. Pada nafas, gejala yang timbul yakni mendadak, batuk, sesak, dan mengi yang terjadi mendadak.
“Gejala yang sangat berat bisa menimbulkan anafilaksis [syok akibat reaksi alergi yang berat] yang bisa menimbulkan kematian,” ungkap Endah.
Sementara alergi yang tidak diperantarai IgE paling sering yakni eksim atau dermatitis kontak, diare, muntah, dan buang air besar (BAB) berdarah. Sedangkan alergi tipe campuran, gejala yang timbul yakni dermatitis atopik berupa kulit kering kemerahan.
“Tapi sebagian besar eksim atopik tidak disebabkan makanan, sehingga penting diskusikan ke dokter apakah ada pengaruh makanan atau tidak,” imbuhnya.
Endah menuturkan reaksi alergi pada anak terutama di saluran cerna dan dermatitis atopik, tentu dapat menganggu pertumbuhan karena ada penghindaran makanan. Oleh karena itu, dia mengimbau agar ibu yang memiliki anak dengan alergi, sebaiknya memilih makanan pengganti yang tepat dan dikonsultasikan kepada ahli gizi.
Namun yang pasti, anak-anak maupun anak dengan alergi makanan tetap harus mengkonsumsi serat. Endah menyebut dari sejumlah penelitian, pola makan rendah asupan serat merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya alergi.
Sangat disayangkan ketika kecukupan serat anak Indonesia masih belum memenuhi standar rekomendasi asupan serat harian. Dari data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2018, 95,5 persen penduduk Indonesia berusia di atas 5 tahun masih kurang konsumsi serat.
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa 9 dari 10 anak kekurangan asupan serat, dimana rata-rata anak Indonesia usia 1-3 tahun hanya memenuhi seperempat atau rata-rata 4,7 gram per hari dari total kebutuhan hariannya. Jumlah ini masih jauh di bawah AKG yang direkomendasikan, yaitu 19 gram serat setiap harinya.
Endah menegaskan dengan mengonsumsi serat dalam jumlah cukup, bisa memperbaiki keseimbangan sistem imunitas tubuh, mengurangi inflamasi akibat alergi, dan bermanfaat bagi mikrobiota di dalam saluran cerna yang akan membuat nutrisi makanan terserap dengan optimal.
“Kondisi dysbiosis atau ketidakseimbangan komposisi dan fungsi mikrobiota saluran cerna dapat berhubungan dengan kejadian alergi pada anak,” terangnya.
Lebih lanjut dia menyampaikan serat bisa didapatkan pada sayur dan buah. Sebisa mungkin orang tua terutama ibu memberikan sumber serat itu kepada anak-anaknya, walaupun mereka tidak suka.
Manfaatkan kebiasaan yang sering dilakukan anak, yakni meniru untuk mengajak mereka akan sayur dan buah. Jadi, ketika orang di sekitarnya senang makan sumber serat ini, dia pun akan menirunya.
“Jadi dalam konsep makan, anak itu harus makan bersama keluarga, bukan duduk sendirian atau digendong sana sini. Dia lihat ayah ibunya makan sayur dan buah. Itu otomatis, anak belajar makan buah dan sayur,” tuturnya.
Memang ada anak yang pemilih dalam makanan. Jika demikian, orang tua bisa mengenalkan sumber serat tersebut sedikit demi sedikit.
Orang tua dalam hal ini harus menghadirkan kreativitas. Sebagai upaya untuk mengenalkan rasa sayur, ibu bisa memblender sayur tersebut dan dibekukan menjadi es. Atau jadikan sayur sebagai campuran puding.
Setidaknya, bagi anak yang masuk dalam tahap MPASI, berikan sepertiga buah dan sayur dalam porsi makannya atau setengah gelas kebutuhan hariannya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Konsultan Alergi dan Imunologi Anak, dr. Endah Citraresmi, mengatakan sekitar 10 persen anak pada satu tahun pertama mengalami reaksi alergi terhadap makanan yang diberikan. Gejalanya sangat dipengaruhi mekanismenya.
Apabila diperantarai IgE reaksinya terbilang cepat. Setelah makan, dalam beberapa menit, gejala langsung timbul. Beberapa anak mengalami gejala alergi dalam dua jam setelah makan.
Baca juga: Waspada Gejala Flu Tomat, Virus Baru yang Serang Anak-Anak
IgE disebut juga sebagai imunoglobulin E, sangat berperan pada mekanisme alergi di dalam tubuh. Antibodi ini menangkap zat asing yang masuk ke dalam tubuh dan menempel di sel mast. Akhirnya IgE akan menghasilkan zat histamin yang menyebabkan reaksi alergi.
“Tapi kalau tidak diperantarai IgE, timbul reaksinya bisa lebih dari dua jam bahkan 2-3 hari setelah paparan,” ujarnya dalam diskusi virtual yang digelar Danone belum lama ini.
Gejala alergi makanan yang diperantarai IgE berupa bentol dan bengkak pada kulit. Bentol terjadi hampir di seluruh badan sementara bengkak biasanya di area bibir dan mata.
Gejala lain yakni di saluran cerna, berupa muntah, sakit perut, dan gatal di rongga mulut setelah mengonsumsi makanan pemicunya. Pada nafas, gejala yang timbul yakni mendadak, batuk, sesak, dan mengi yang terjadi mendadak.
“Gejala yang sangat berat bisa menimbulkan anafilaksis [syok akibat reaksi alergi yang berat] yang bisa menimbulkan kematian,” ungkap Endah.
Sementara alergi yang tidak diperantarai IgE paling sering yakni eksim atau dermatitis kontak, diare, muntah, dan buang air besar (BAB) berdarah. Sedangkan alergi tipe campuran, gejala yang timbul yakni dermatitis atopik berupa kulit kering kemerahan.
“Tapi sebagian besar eksim atopik tidak disebabkan makanan, sehingga penting diskusikan ke dokter apakah ada pengaruh makanan atau tidak,” imbuhnya.
Endah menuturkan reaksi alergi pada anak terutama di saluran cerna dan dermatitis atopik, tentu dapat menganggu pertumbuhan karena ada penghindaran makanan. Oleh karena itu, dia mengimbau agar ibu yang memiliki anak dengan alergi, sebaiknya memilih makanan pengganti yang tepat dan dikonsultasikan kepada ahli gizi.
Namun yang pasti, anak-anak maupun anak dengan alergi makanan tetap harus mengkonsumsi serat. Endah menyebut dari sejumlah penelitian, pola makan rendah asupan serat merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya alergi.
Anak dengan alergi makanan tetap membutuhkan asupan gizi dan serat seimbang. (Sumber gambar: Cottonbro)
Sangat disayangkan ketika kecukupan serat anak Indonesia masih belum memenuhi standar rekomendasi asupan serat harian. Dari data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2018, 95,5 persen penduduk Indonesia berusia di atas 5 tahun masih kurang konsumsi serat.
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa 9 dari 10 anak kekurangan asupan serat, dimana rata-rata anak Indonesia usia 1-3 tahun hanya memenuhi seperempat atau rata-rata 4,7 gram per hari dari total kebutuhan hariannya. Jumlah ini masih jauh di bawah AKG yang direkomendasikan, yaitu 19 gram serat setiap harinya.
Endah menegaskan dengan mengonsumsi serat dalam jumlah cukup, bisa memperbaiki keseimbangan sistem imunitas tubuh, mengurangi inflamasi akibat alergi, dan bermanfaat bagi mikrobiota di dalam saluran cerna yang akan membuat nutrisi makanan terserap dengan optimal.
“Kondisi dysbiosis atau ketidakseimbangan komposisi dan fungsi mikrobiota saluran cerna dapat berhubungan dengan kejadian alergi pada anak,” terangnya.
Lebih lanjut dia menyampaikan serat bisa didapatkan pada sayur dan buah. Sebisa mungkin orang tua terutama ibu memberikan sumber serat itu kepada anak-anaknya, walaupun mereka tidak suka.
Manfaatkan kebiasaan yang sering dilakukan anak, yakni meniru untuk mengajak mereka akan sayur dan buah. Jadi, ketika orang di sekitarnya senang makan sumber serat ini, dia pun akan menirunya.
“Jadi dalam konsep makan, anak itu harus makan bersama keluarga, bukan duduk sendirian atau digendong sana sini. Dia lihat ayah ibunya makan sayur dan buah. Itu otomatis, anak belajar makan buah dan sayur,” tuturnya.
Memang ada anak yang pemilih dalam makanan. Jika demikian, orang tua bisa mengenalkan sumber serat tersebut sedikit demi sedikit.
Orang tua dalam hal ini harus menghadirkan kreativitas. Sebagai upaya untuk mengenalkan rasa sayur, ibu bisa memblender sayur tersebut dan dibekukan menjadi es. Atau jadikan sayur sebagai campuran puding.
Setidaknya, bagi anak yang masuk dalam tahap MPASI, berikan sepertiga buah dan sayur dalam porsi makannya atau setengah gelas kebutuhan hariannya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.