Konsistensi Menjalani Pengobatan Adalah Cara Terefektif Menyembuhkan Tuberculosis
21 August 2022 |
22:00 WIB
Suatu pagi sekitar 13 tahun lalu, Budi mengalami batuk berdahak. Keluhan ini semakin parah bahkan hingga mengeluarkan darah. Ketika dia pergi ke klinik pada sore harinya, Budi divonis menderita tuberculosis (TB). Praktis sejak 2003 dia mulai menjalani pengobatan untuk menyembuhkan penyakitnya tersebut.
Berjalan empat bulan, batuknya mulai mereda. Dia pun mulai lalai memeriksakan diri ke dokter. Padahal, pengobatan TB idealnya memakan waktu hingga dua tahun tanpa berhenti.
Baca juga: Imunoterapi, Harapan Baru Pengobatan 3 Jenis Kanker
Akibatnya cukup fatal. TB yang diderita Budi pun semakin parah hingga ke tahap resisten terhadap obat. Dalam dunia medis, kondisi ini disebut TB MDR (Multi Drug Resistant). Dalam kondisi ini pula, pasien biasanya harus menenggak antibiotik dengan efek samping yang lebih keras. Berjalan tujuh bulan, pengobatan Budi pun dihentikan karena livernya mulai rusak.
Bahkan, berat badannya pun merosot hingga menjadi 40 kilogram saja. Tidak mau kecolongan lagi, Budi mulai konsisten menjalani pengobatan sejak 2011 di RS Persahabatan. Selama 19 bulan Budi harus mengunjungi rumah sakit dengan menelan puluhan obat setiap harinya. Efek samping pengobatan menjadi tantangan berat yang harus dihadapinya. Mual, muntah, hingga nyeri otot menjadi makanannya sehari-hari.
“Setiap malam saya tidak pernah bisa tidur. Betul-betul menyiksa,” ujarnya seperti dikutip dari Bisnis Indonesia Weekend edisi 1 Januari 2017.
Namun, perjuangannya untuk sembuh akhirnya membuahkan hasil. Budi bahkan hanya menghabiskan waktu 19 bulan, dari 24 bulan yang ditargetkan. Akhirnya, Budi sudah dinyatakan terbebas dari TB dan bisa kembali beraktivitas seperti biasa.
Data World Health Organization menunjukkan, setidaknya terdapat satu juta kasus baru setiap tahun. Angka inipun diprediksi hanya puncak gunung es karena banyak kasus yang tidak berhasil terlaporkan. Adapun data Kementerian Kesehatan menujukkan 100.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini.
Disiplin menjalankan pengobatan inilah yang menjadi kunci sukses pemberantasan kuman TB. Kendati demikian, banyak pasien yang tidak melanjutkan pengobatan karena berbagai hal. Salah satunya adalah efek samping pengobatan yang diderita pasien.
“Efek sampingnya berbedabeda setiap orang. Tetapi secara umum bisa mual, muntah, nyeri otot, hingga gangguan tidur,” tuturnya.
Kendati sangat berat, Erlina mendorong para pasien TB untuk terus konsisten menjalani pengobatan. Dia juga menyarankan agar bekonsultasi dengan tenaga medis terkait dengan keluhan yang dialami agar bisa ditangani dengan baik.
“Efek samping pengobatan itu biar jadi persoalan kami tenaga medis. Biar bagaimanapun pasien harus tetap melanjutkan pengobatan,” tuturnya.
Baca juga: Waspada Penyakit Tidak Menular, Penyebab Tertinggi Kematian di Indonesia
Namun, itulah satu-satunya metode paling efektif untuk sembuh. Budi yang sudah terbebas dari TB kini menghimpun sesama penderita dalam organisasi bernama Pejuang Tangguh (Peta). Seperti sebait sajak Chairil Anwar yang sering dikutip untuk kampanye penderita TB, Budi menegaskan ‘Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi.
Berjalan empat bulan, batuknya mulai mereda. Dia pun mulai lalai memeriksakan diri ke dokter. Padahal, pengobatan TB idealnya memakan waktu hingga dua tahun tanpa berhenti.
Baca juga: Imunoterapi, Harapan Baru Pengobatan 3 Jenis Kanker
Akibatnya cukup fatal. TB yang diderita Budi pun semakin parah hingga ke tahap resisten terhadap obat. Dalam dunia medis, kondisi ini disebut TB MDR (Multi Drug Resistant). Dalam kondisi ini pula, pasien biasanya harus menenggak antibiotik dengan efek samping yang lebih keras. Berjalan tujuh bulan, pengobatan Budi pun dihentikan karena livernya mulai rusak.
Bahkan, berat badannya pun merosot hingga menjadi 40 kilogram saja. Tidak mau kecolongan lagi, Budi mulai konsisten menjalani pengobatan sejak 2011 di RS Persahabatan. Selama 19 bulan Budi harus mengunjungi rumah sakit dengan menelan puluhan obat setiap harinya. Efek samping pengobatan menjadi tantangan berat yang harus dihadapinya. Mual, muntah, hingga nyeri otot menjadi makanannya sehari-hari.
“Setiap malam saya tidak pernah bisa tidur. Betul-betul menyiksa,” ujarnya seperti dikutip dari Bisnis Indonesia Weekend edisi 1 Januari 2017.
Namun, perjuangannya untuk sembuh akhirnya membuahkan hasil. Budi bahkan hanya menghabiskan waktu 19 bulan, dari 24 bulan yang ditargetkan. Akhirnya, Budi sudah dinyatakan terbebas dari TB dan bisa kembali beraktivitas seperti biasa.
Apa itu TB?
Dokter Spesialis Pulmonolog Erlina Burhan menjelaskan TB merupakan penyakit menular yang diakibatkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis. TB dapat menyerang seluruh tubuh, terutama paruparu. Di Indonesia, prevalensi penyakit ini cukup tinggi.Data World Health Organization menunjukkan, setidaknya terdapat satu juta kasus baru setiap tahun. Angka inipun diprediksi hanya puncak gunung es karena banyak kasus yang tidak berhasil terlaporkan. Adapun data Kementerian Kesehatan menujukkan 100.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini.
Bagaimana proses penyembuhannya?
Kendati sangat berbahaya, TB sebenarnya bisa disembuhkan. Erlina menjelaskan, setelah dinyatakan positif mengidap TB, pasien harus minum obat secara teratur dalam jangka waktu 6 bulan–8 bulan. Namun, jika sudah naik ke tahap TB MDR, pengobatannya bisa memakan waktu lebih lama.Disiplin menjalankan pengobatan inilah yang menjadi kunci sukses pemberantasan kuman TB. Kendati demikian, banyak pasien yang tidak melanjutkan pengobatan karena berbagai hal. Salah satunya adalah efek samping pengobatan yang diderita pasien.
“Efek sampingnya berbedabeda setiap orang. Tetapi secara umum bisa mual, muntah, nyeri otot, hingga gangguan tidur,” tuturnya.
Kendati sangat berat, Erlina mendorong para pasien TB untuk terus konsisten menjalani pengobatan. Dia juga menyarankan agar bekonsultasi dengan tenaga medis terkait dengan keluhan yang dialami agar bisa ditangani dengan baik.
“Efek samping pengobatan itu biar jadi persoalan kami tenaga medis. Biar bagaimanapun pasien harus tetap melanjutkan pengobatan,” tuturnya.
Risiko Ketika Berhenti Pengobatan
Erlina menambahkan, jika pasien TB berhenti menjalankan pengobatan biasanya kuman akan lebih kebal, sehingga perlu dosis obat lebih tinggi untuk mengobatinya. Selain itu, pasien TB yang tidak diobat juga berpotensi menularkan penyakitnya kepada orang lain. Jika mengacu pada cerita Budi, efek samping yang ditimbulkan memang tidak mudah dijalankan.Baca juga: Waspada Penyakit Tidak Menular, Penyebab Tertinggi Kematian di Indonesia
Namun, itulah satu-satunya metode paling efektif untuk sembuh. Budi yang sudah terbebas dari TB kini menghimpun sesama penderita dalam organisasi bernama Pejuang Tangguh (Peta). Seperti sebait sajak Chairil Anwar yang sering dikutip untuk kampanye penderita TB, Budi menegaskan ‘Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.