Penyakit Menular Nomor 1 di Dunia, Begini Cara Cegah & Obati TBC
26 November 2024 |
06:53 WIB
Tuberkulosis (TBC) perlu diwaspadai. Pasalnya, penyakit menular mematikan nomor satu di dunia ini bisa menyerang siapa saja dan menyebar dengan begitu mudah. Meskipun bisa diobati, namun pasien memerlukan waktu yang tidak sebentar dan harus disiplin untuk mematikan bakteri pembawa penyakit ini.
Diketahui, TBC disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini biasanya menyerang organ paru-paru. Akan tetapi, ginjal, kelenjar getah bening, selaput otak tulang, dan sendi juga bisa menjadi sasarannya.
Baca juga: 3 Strategi Kemenkes Mengatasi Tingginya Kasus Tuberkulosis di Indonesia
Hingga 2023, diketahui pasien TBC di Indonesia mencapai 1.060.000 orang menurut data Kementerian Kesehatan. Spesialis Paru RSPI Bintaro dr. Raden Rara Diah Handayani, mengatakan bahwa seseorang dengan kekebalan tubuh yang rendah akan lebih mudah terserang, begitu pula anak di bawah 5 tahun yang dapat mengalami sakit TB yang berat.
Kendatipun seseorang memiliki imun yang baik, pencegahan tetap diperlukan agar tidak terjadi reaktivasi menjadi sakit TBC. Sebab, beberapa penelitian di Indonesia katanya menunjukkan 30-50 persen orang yang kontak serumah dengan pasien TBC telah mengalami infeksi TBC laten.
Sementara itu, diprediksi 10-15 persen mereka yang kontak dengan pasien TBC, akan menjadi TB aktif. “Terutama bila mengalami penurunan imun seperti yang terjadi pada penderita HIV yang tidak diobati, DM dengan gula darah tidak terkendali, gizi buruk, dan perokok,” ujarnya dikutip Hypeabis.id, Senin (25/11/2024).
Rara menyebut WHO telah merekomendasikan pada kontak serumah yang telah terinfeksi atau infeksi TB laten untuk diberikan Terapi Pencegahan TB (TPT). TPT berupa pemberian obat seperti rifampentin dan isoniazid selama 3 bulan (disebut 3HP) atau 1 bulan penuh (1HP), atau INH 6 bulan atau 3 bulan INH rifampisin (3 HR).
Selain pencegahan dengan TPT dan vaksinasi, menurutnya yang menjadi penting adalah menjaga kesehatan secara aktif dengan memenuhi kebutuhan gizi yang baik, menghentikan kebiasaan merokok, istirahat cukup, serta mengontrol penyakit komorbid terutama DM dan HIV dengan pengobatan yang adekuat. “Serta olahraga rutin,” tambahnya.
Bagi pasien yang terdiagnosis TB, biasanya dokter akan memberikan obat dalam dua tahap yakni insentif dan lanjutan selama 6 bulan, terdiri dari 2 bulan rifampisin, isoniazid, etambutol, dan pirazinamid. Dilanjutkan 4 bulan rifampisin dan pirazinamid (2RHZE/4RH).
Pada panduan pengobatan TB, pasien disarankan menjaga kesehatan tubuh dengan nutrisi yang cukup baik. Rara menyebut untuk pemberian obat-obatan imun, harus di bawah pengawasan dokter yang merawat karena dipengaruhi kondisi pasien.
Terkait dengan pemberian obat-obatan imun atau imunomodulator, Prof. Raymond Tjandrawinata, seorang Farmakolog Molekuler, menjelaskan hasil uji klinik imunomodulator dari tanaman meniran hijau (Phyllanthus niruri) untuk penderita TB paru.
Uji klinik dilakukan dengan membandingkan kelompok yang hanya menerima terapi standar TB (Rifampisin, INH, Ethambutol, Pyrazinamid) dengan kelompok yang ditambah Stimuno, imunomodulator yang dikembangkan dari meniran hijau.
Hasil menunjukkan, setelah satu minggu, proporsi pasien yang mengalami konversi sputum BTA lebih tinggi pada kelompok yang menerima Stimuno (52,9%) dibandingkan kelompok kontrol (39,4%), yang berpotensi mengurangi penyebaran TB.
Stimuno, yang sudah teruji klinis dan masuk dalam Formularium Fitofarmaka Kementerian Kesehatan, terbukti bekerja sinergis dengan terapi obat TB dalam memperbaiki sistem imun dan membantu eradikasi patogen.
Tidak ada efek samping signifikan yang ditemukan selama penggunaan Stimuno dalam jangka panjang (6 bulan), berkat triple action-nya: meningkatkan produksi antibodi, mengaktifkan sistem kekebalan tubuh, dan mengoptimalkan daya tahan tubuh.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Diketahui, TBC disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini biasanya menyerang organ paru-paru. Akan tetapi, ginjal, kelenjar getah bening, selaput otak tulang, dan sendi juga bisa menjadi sasarannya.
Baca juga: 3 Strategi Kemenkes Mengatasi Tingginya Kasus Tuberkulosis di Indonesia
Hingga 2023, diketahui pasien TBC di Indonesia mencapai 1.060.000 orang menurut data Kementerian Kesehatan. Spesialis Paru RSPI Bintaro dr. Raden Rara Diah Handayani, mengatakan bahwa seseorang dengan kekebalan tubuh yang rendah akan lebih mudah terserang, begitu pula anak di bawah 5 tahun yang dapat mengalami sakit TB yang berat.
Kendatipun seseorang memiliki imun yang baik, pencegahan tetap diperlukan agar tidak terjadi reaktivasi menjadi sakit TBC. Sebab, beberapa penelitian di Indonesia katanya menunjukkan 30-50 persen orang yang kontak serumah dengan pasien TBC telah mengalami infeksi TBC laten.
Sementara itu, diprediksi 10-15 persen mereka yang kontak dengan pasien TBC, akan menjadi TB aktif. “Terutama bila mengalami penurunan imun seperti yang terjadi pada penderita HIV yang tidak diobati, DM dengan gula darah tidak terkendali, gizi buruk, dan perokok,” ujarnya dikutip Hypeabis.id, Senin (25/11/2024).
Rara menyebut WHO telah merekomendasikan pada kontak serumah yang telah terinfeksi atau infeksi TB laten untuk diberikan Terapi Pencegahan TB (TPT). TPT berupa pemberian obat seperti rifampentin dan isoniazid selama 3 bulan (disebut 3HP) atau 1 bulan penuh (1HP), atau INH 6 bulan atau 3 bulan INH rifampisin (3 HR).
Selain pencegahan dengan TPT dan vaksinasi, menurutnya yang menjadi penting adalah menjaga kesehatan secara aktif dengan memenuhi kebutuhan gizi yang baik, menghentikan kebiasaan merokok, istirahat cukup, serta mengontrol penyakit komorbid terutama DM dan HIV dengan pengobatan yang adekuat. “Serta olahraga rutin,” tambahnya.
Bagi pasien yang terdiagnosis TB, biasanya dokter akan memberikan obat dalam dua tahap yakni insentif dan lanjutan selama 6 bulan, terdiri dari 2 bulan rifampisin, isoniazid, etambutol, dan pirazinamid. Dilanjutkan 4 bulan rifampisin dan pirazinamid (2RHZE/4RH).
Pada panduan pengobatan TB, pasien disarankan menjaga kesehatan tubuh dengan nutrisi yang cukup baik. Rara menyebut untuk pemberian obat-obatan imun, harus di bawah pengawasan dokter yang merawat karena dipengaruhi kondisi pasien.
Terkait dengan pemberian obat-obatan imun atau imunomodulator, Prof. Raymond Tjandrawinata, seorang Farmakolog Molekuler, menjelaskan hasil uji klinik imunomodulator dari tanaman meniran hijau (Phyllanthus niruri) untuk penderita TB paru.
Uji klinik dilakukan dengan membandingkan kelompok yang hanya menerima terapi standar TB (Rifampisin, INH, Ethambutol, Pyrazinamid) dengan kelompok yang ditambah Stimuno, imunomodulator yang dikembangkan dari meniran hijau.
Hasil menunjukkan, setelah satu minggu, proporsi pasien yang mengalami konversi sputum BTA lebih tinggi pada kelompok yang menerima Stimuno (52,9%) dibandingkan kelompok kontrol (39,4%), yang berpotensi mengurangi penyebaran TB.
Stimuno, yang sudah teruji klinis dan masuk dalam Formularium Fitofarmaka Kementerian Kesehatan, terbukti bekerja sinergis dengan terapi obat TB dalam memperbaiki sistem imun dan membantu eradikasi patogen.
Tidak ada efek samping signifikan yang ditemukan selama penggunaan Stimuno dalam jangka panjang (6 bulan), berkat triple action-nya: meningkatkan produksi antibodi, mengaktifkan sistem kekebalan tubuh, dan mengoptimalkan daya tahan tubuh.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.