60 Persen Ibu Menyusui Tidak Bahagia saat Menyusui, Apa Penyebabnya?
07 August 2022 |
09:30 WIB
Pekan Air Susu Ibu atau World Breastfeeding Week merupakan cara untuk mendorong kegiatan menyusui bagi para ibu sekaligus inklusivitas berbagai tempat dalam menyediakan ruang bagi para ibu agar mudah dalam melakukan kegiatan menyusui atau laktasi. Namun, sebuah riset yang hadir pada Sabtu (6/8/2022) menunjukkan temuan yang kurang baik terkait dengan ibu menyusui.
Riset terbaru yang dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC), yaitu oleh dokter penelitian laktasi Ray Wagiu Basrowi dan asisten peneliti Bunga Pelangi, menunjukkan bahwa setidaknya enam dari 10 atau sekitar 60 persen ibu menyusui merasa tidak bahagia dalam proses menyusui.
Baca juga: Pekan ASI Sedunia 1-7 Agustus, Simak Serba-Serbi Seputar ASI
Riset yang dilakukan terhadap 2011 responden ini menemukan fakta bahwa mereka tidak merasa bahagia saat proses laktasi selama pandemi. Riset ini dilakukan terhadap 1323 (66 persen) ibu rumah tangga, 319 (16 persen) pegawai swasta, 87 (empat persen) pekerja lapangan, dan lainnya merupakan pegawai negeri sipil dan wirausaha.
Penyebabnya terbesar yang banyak ditemukan dalam riset di 30 provinsi ini menunjukkan bahwa mereka kurang mendapatkan dukungan, bahkan kalau pun mendapatkannya justru dukungan yang diterima tidak maksimal.
Hal ini diperkuat dengan temuan lain bahwa 90 persen atau 1810 responden merasa bahwa suami perlu mendukung kegiatan laktasi, terutama dalam aspek psikologis dan bantuan terhadap akses layanan kesehatan. Tak hanya itu, riset ini juga mendapatkan jawaban bahwa 59 persen atau 1182 responden ibu menyusui perlu dukungan dari anggota keluarga lain, misalnya ibu yang bersangkutan dan ibu mertua dari ibu menyusui.
"Ketika dukungan ini hilang, dan ibu menyusui merasa tidak bahagia dengan proses laktasi, makan potensi gagal ASI sangat besar dan ibu juga bisa mengalami konsekuensi stres," tambah Ray dalam pernyataan resmi yang diterima Hypeabis.id.
Tidak hanya dukungan, kedekatan antara perempuan dan ibu ke anak serta sebaliknya juga dinilai sebagai hal yang turut berkontribusi dalam perilaku menyusui. Hal ini didasarkan pada informasi tentang pengalaman dan praktik baik dalam hal menyusui yang dibutuhkan oleh ibu yang baru melahirkan.
Selain dukungan berupa pengetahuan dan pengalaman, ibu menyusui juga memperlukan dukungan dari makanan bergizi dan mendukung produksi ASI yang banyak serta lancar (93 persen) serta tenaga kesehatan (5 persen).
Ketiadaan dukungan menyusui membuat tujuan dan makna dari kegiatan ini hanya menjadi sekadar menjalankan fungsi biologis untuk memberi makan bayi. Ray juga merincikan bahwa esensi untuk memberi kedamaian dan kebahagiaan emosional maupun psikologis bagi sang ibu juga hilang sebagai dampak dari tidak adanya dukungan tersebut, apalagi dari pihak suami.
HCC juga menemukan fakta lanjutan bahwa peran suami sangat penting dalam proses menyusui, bahkan banyak ibu menyusui yang setuju dengan berbagai kebijakan yang membantu sang suami untuk tetap siaga dalam proses tersebut. Setidaknya 80 persen responden sangat setuju dengan hal cuti 40 persen untuk suami siaga dan 74 persen menilai bahwa kebijakan ini membantu dalam proses pemulihan pasca melahirkan.
Terkait dukungan lingkungan, riset ini menemukan 95 responden juga setuju bahwa peraturan rencana cuti enam bulan untuk ibu menyusui. Alasan yang beredar menunjukkan bahwa hal ini bisa membantu proses menyusui yang lebih optimal (83 persen), menjadi jaminan kestabilan pekerjaan selama proses menyusui (33 persen), hingga mendukung proses adaptasi ibu menyusui (56 persen).
Baca juga: Cegah Stunting, Begini 4 Strategi MPASI yang Tepat bagi Anak
Bunga juga menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukan dengan metode sosio-ekologi ini juga menemukan bahwa persepsi positif tentang menyusui sebagai kewajiban atau keharusan serta bentuk nyata dari keluarga dalam mendukung ibu menyusui merupakan motivasi yang bisa diberikan oleh anggota keluarga.
Terkait dengan penelian ini, baik Ray maupun Bunga memberikan tiga rekomendasi tindakan yang bisa dilakukan oleh semua pihak: edukasi dalam fasilitas kesehatan terkait dukungan psikologis serta keterlibatan suami dan anggota keluarga lain, dukungan psikologis melalui konseling ASI secara daring maupun langkah taktis lainnya, dan pendekatan keluarga dalam pemberdayaan dukungan ibu untuk memberikan ASI.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Riset terbaru yang dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC), yaitu oleh dokter penelitian laktasi Ray Wagiu Basrowi dan asisten peneliti Bunga Pelangi, menunjukkan bahwa setidaknya enam dari 10 atau sekitar 60 persen ibu menyusui merasa tidak bahagia dalam proses menyusui.
Baca juga: Pekan ASI Sedunia 1-7 Agustus, Simak Serba-Serbi Seputar ASI
Riset yang dilakukan terhadap 2011 responden ini menemukan fakta bahwa mereka tidak merasa bahagia saat proses laktasi selama pandemi. Riset ini dilakukan terhadap 1323 (66 persen) ibu rumah tangga, 319 (16 persen) pegawai swasta, 87 (empat persen) pekerja lapangan, dan lainnya merupakan pegawai negeri sipil dan wirausaha.
Penyebabnya terbesar yang banyak ditemukan dalam riset di 30 provinsi ini menunjukkan bahwa mereka kurang mendapatkan dukungan, bahkan kalau pun mendapatkannya justru dukungan yang diterima tidak maksimal.
Hal ini diperkuat dengan temuan lain bahwa 90 persen atau 1810 responden merasa bahwa suami perlu mendukung kegiatan laktasi, terutama dalam aspek psikologis dan bantuan terhadap akses layanan kesehatan. Tak hanya itu, riset ini juga mendapatkan jawaban bahwa 59 persen atau 1182 responden ibu menyusui perlu dukungan dari anggota keluarga lain, misalnya ibu yang bersangkutan dan ibu mertua dari ibu menyusui.
"Ketika dukungan ini hilang, dan ibu menyusui merasa tidak bahagia dengan proses laktasi, makan potensi gagal ASI sangat besar dan ibu juga bisa mengalami konsekuensi stres," tambah Ray dalam pernyataan resmi yang diterima Hypeabis.id.
Tidak hanya dukungan, kedekatan antara perempuan dan ibu ke anak serta sebaliknya juga dinilai sebagai hal yang turut berkontribusi dalam perilaku menyusui. Hal ini didasarkan pada informasi tentang pengalaman dan praktik baik dalam hal menyusui yang dibutuhkan oleh ibu yang baru melahirkan.
Selain dukungan berupa pengetahuan dan pengalaman, ibu menyusui juga memperlukan dukungan dari makanan bergizi dan mendukung produksi ASI yang banyak serta lancar (93 persen) serta tenaga kesehatan (5 persen).
Ketiadaan dukungan menyusui membuat tujuan dan makna dari kegiatan ini hanya menjadi sekadar menjalankan fungsi biologis untuk memberi makan bayi. Ray juga merincikan bahwa esensi untuk memberi kedamaian dan kebahagiaan emosional maupun psikologis bagi sang ibu juga hilang sebagai dampak dari tidak adanya dukungan tersebut, apalagi dari pihak suami.
HCC juga menemukan fakta lanjutan bahwa peran suami sangat penting dalam proses menyusui, bahkan banyak ibu menyusui yang setuju dengan berbagai kebijakan yang membantu sang suami untuk tetap siaga dalam proses tersebut. Setidaknya 80 persen responden sangat setuju dengan hal cuti 40 persen untuk suami siaga dan 74 persen menilai bahwa kebijakan ini membantu dalam proses pemulihan pasca melahirkan.
Terkait dukungan lingkungan, riset ini menemukan 95 responden juga setuju bahwa peraturan rencana cuti enam bulan untuk ibu menyusui. Alasan yang beredar menunjukkan bahwa hal ini bisa membantu proses menyusui yang lebih optimal (83 persen), menjadi jaminan kestabilan pekerjaan selama proses menyusui (33 persen), hingga mendukung proses adaptasi ibu menyusui (56 persen).
Baca juga: Cegah Stunting, Begini 4 Strategi MPASI yang Tepat bagi Anak
Bunga juga menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukan dengan metode sosio-ekologi ini juga menemukan bahwa persepsi positif tentang menyusui sebagai kewajiban atau keharusan serta bentuk nyata dari keluarga dalam mendukung ibu menyusui merupakan motivasi yang bisa diberikan oleh anggota keluarga.
Terkait dengan penelian ini, baik Ray maupun Bunga memberikan tiga rekomendasi tindakan yang bisa dilakukan oleh semua pihak: edukasi dalam fasilitas kesehatan terkait dukungan psikologis serta keterlibatan suami dan anggota keluarga lain, dukungan psikologis melalui konseling ASI secara daring maupun langkah taktis lainnya, dan pendekatan keluarga dalam pemberdayaan dukungan ibu untuk memberikan ASI.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.