Masjid  Nur Sulaiman (sumber gambar: JIBI)

Pesona Arsitektur Kolonial di Masjid Nur Sulaiman

06 August 2022   |   22:00 WIB

Berkunjung ke Banyumas sebaiknya mampir ke Masjid Nur Sulaiman di Desa Sudagaran, Kecamatan Banyumas. Keunikan atap tumpang susun tiga menjadi daya tarik pengunjung. bahkan banyak dikunjungi mahasiswa arsitektur untuk objek penelitian. 

Juru Pelihara dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah Djoni Muhamad Farid menuturkan keberadaan atap tumpang susun tiga menjadi  ciri khas dari Masjid Agung Nur Sulaiman.

Ciri ini pula menjadi  khas bangunan zaman kerajaan  Islam Jawa. Secara fungsi, atap  tumpang susun tiga memberikan pengaruh pada sirkulasi udara yang baik dan sejuk di fasilitas ibadah yang pernah menjadi masjid besar kabupaten tersebut sebelum 1937.

Baca juga: Harmoni Arsitektur Timteng dan Melayu di Masjid Raya Sultan Riau

Menurut Djoni desain  bangunan zaman dahulu telah  mengakomodasi kebutuhan di  masa mendatang. Perpaduan atap  tumpang susun tiga, tinggi  bangunan, desain jendela dan  pintu yang lebar, menciptakan  suasana dingin dalam sebuah  ruang.

“Desain masjid saat itu sudah  menjawab kebutuhan saat ini.  Meski atapnya seng rasanya tetap  dingin karena sirkulasi udara  lancar. Tidak perlu lagi kipas atau  AC,” katanya dikutip dari Bisnis Weekend edisi 9 Agustus 2015.

Desain bangunan masjid yang  masuk dalam bangunan cagar  budaya ini mendapat pengaruh  kental dari arsitektur zaman  kolonial Belanda. Tidak  mengherankan karena masjid  yang diklaim menjadi masjid  tertua di Banyumas ini didirikan  pada 1725 oleh arsitek Kyai Nur  Daiman.

Nama ini yang kemudian menjadi asal muasal nama masjid  Nur Sulaiman. Pengaruh kental  gaya kolonial ini tampak pada  elemen bangunananya. Djoni menjelaskan gaya kolonial terlihat pada desain  bangunan, pintu, dan jendela  yang lebar dan tinggi, khas  bangunan zaman kolonial. 

Di masjid yang memiliki total  luas 4.950 meter persegi ini  terdapat 14 jendela, yang masing- masing berukuran lebar 118  sentimeter dan tinggi 180  sentimeter. Lima pintu dengan bukaan  daun pintu tersebar di serambi  utama dan sisi selatan dan utara. 

Pintu pada ruang utama memiliki  tinggi 230 sentimeter dan lebar 192 sentimeter.  Dua pintu yang mengapit di  samping kanan kiri masing- masing dengan tinggi 230 sentimeter dan lebar 130 sentimeter. Dan pintu di sisi  selatan dan utara masing-masing  dengan tinggi 230 sentimeter dan 130 sentimeter. 

Jarak dari lantai ke atap  memiliki ketinggian 16 meter. Sedangkan jarak dari dasar ke  lantai memiliki ketinggian satu  meter. Ketinggian lantai dari dasar ini pula yang menjadi alasan Masjid Nur Sulaiman saat itu menjadi lokasi pengungsian  karena banjir besar pada 1863. 

Elemen bangunan khas zaman  kolonial juga tampak pada  dinding yang lebih tebal. Djoni  mengatakan dinding masjid ini  memiliki ketebalan 55 sentimeter. Dinding ini lebih tebal dua kali  dari dinding masjid pada  umumnya.

Dinding masjid tersusun dari  material bata merah sama halnya  dengan masjid lain. Namun, yang  berbeda pada lapisan dinding  tidak menggunakan semen,  melainkan menggunakan bata  merah yang dibuat bubuk semen.  “Tapi karena termakan usia,  lapisan dinding ini mengelupas.  Jadi ditambal dengan lapisan  semen,” terangnya. 

Baca juga: 10 Masjid Rancangan Ridwan Kamil Selain Al Mumtadz

Hampir keseluruhan dari  elemen bangunan tidak  mengalami banyak perubahan.  Termasuk pada bangunan lantai  yang mendapat pengaruh kental  gaya China. 

Pada bangunan lantai terpasang  tegel yang dipesan langsung dari  China pada 1922. Tegel ukuran  20x20 sentimeter ini memiliki  motif kembang dengan dominasi  warna kuning. “Itu memang  dikirim dari China. Sampai  sekarang masih tetap, tidak boleh  diganti,” katanya. 

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Uji Nyali di Lokasi Syuting Pengabdi Setan 2: Communion, Rumah Susun yang Terbengkalai 15 Tahun

BERIKUTNYA

Siasati Ruang Sempit dengan Sofa Multifungsi

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: