Bunda Terlalu Khawatir? Yuk Cari Tahu Cara Mencegah Hyperparenting
26 July 2022 |
20:18 WIB
Hyperparenting atau dikenal juga dengan intensive parenting atau hypervigilance merupakan pola asuh anak yang menempatkan posisi orang tua pada derajat kontrol tertinggi terhadap anak. Bahkan selalu memaksakan kehendak yang dirasa baik guna menghindarkan anak dari permasalahan.
Psikolog anak dari Universitas Indonesia Sani B. Hermawan mengatakan beberapa alasan orang tua bersikap hyperparenting yang utama, biasanya karena sulit mendapatkan anak. Setelah memiliki anak yang menjadi satu-satunya barulah orang tua mulai dihinggapi kecemasan yang berlebihan sehingga membuatnya bersikap posesif.
Selain itu, ada alasan yakni meniru pola asuhnya dulu ketika menjadi anak dan bahkan sebaliknya bisa juga tidak puas dengan pola asuh yang dulu diterapkan orang tua kepadanya. Tidak puas dengan pola asuh orang tuanya berarti tidak puas dengan hasil sekarang yang didapatkan, sehingga orang tua ini tidak puas dengan dirinya yang sekarang.
Baca juga: Simak Kiat Pola Asuh Anak dengan Konsep Screamfree Parenting
“Hal ini yang akan membuat orang tua untuk bersikap hyper dan seperti ‘balas dendam’ pada dirinya sendiri dengan membuat berbagai tekanan pada anak untuk bisa lebih baik darinya pada masa depan,” kata Sani dikutip dari Bisnis Weekend edisi 5 Agustus 2015.
Beberapa ciri yang menunjukan orang tua bersikap hyper antara lain, selalu menerapkan disiplin yang ketat pada anak tanpa memperhatikan situasi dan kondisi. Selain itu, menilai keberhasilan anak hanya semata dari nilai prestasi akademik atau kognitif.
Kemudian, selalu merasa tidak puas dengan apapun yang dilakukan anak. Sikap tidak senang jika anak dikritik juga bisa menjadi ciri dari sikap ini karena dengan hal tersebut orang tua akan lebih menekan dan memaksakan kehendak pada anak untuk melakukan sesuatu yang dianggapnya positif sehingga terhindar dari kritik.
Sani mengatakan jika hal ini masih terjadi dalam pola asuh yang diterapkan orang tua pada anak, sebaiknya orang tua mulai intropeksi. orang tua harus bersikap realistis karena jika tidak anak justru akan menjadi korban.
Beberapa dampak sikap hyperparenting, di antaranya pada usia balita, anak-anak akan cenderung menerima karena masih belum memahami sepenuhnya apa yang dilakukan orang tua kepadanya.
Namun, jika sudah berlebihan anak balita biasanya akan merasa tertekan dan berdampak pada diri yang kurang ceria dan tidak berani dengan halhal baru. Selanjutnya, pada usia remaja dan dewasa anak akan mulai memahami keinginannya sendiri dan apa yang dilakukan orang tua kepadanya.
Baca juga: Merasa Overparenting? Yuk Atasi dengan 5 Langkah Ini
Ada dua tipe remaja yang bisa menerima disiplin orang tua dengan baik tetapi melakukan hal buruk jika orang tua tidak mengawasinya sebagai bentuk tumpahan kekesalan dan kekecewaan pada orang tua yang tidak bisa dia ungkapkan.
Ada juga sikap remaja yang langsung memberontak dan menjadi arogan tidak hanya pada orang tua tetapi pada lingkungan sekitarnya juga. Jika hal ini sudah terjadi, bagaimana pun anak tidak bisa disalahkan.
Anak juga tidak akan memahami apa yang seharusnya dia lakukan kepada orang tuanya. Jadi orang tua yang harus peka terhadap anak, bisa dengan berkonsultasi atau melakukan perubahan pola asuhan. Peran serta lingkungan seperti kerabat yang mengetahui adanya pola asuh hyperparenting sebaiknya memberi masukan dan nasihat.
Sani mengatakan yang harus disadari orang tua adalah anak bukan miniatur seorang dewasa yang bisa dipaksa melakukan semua hal. orang tua harus memahami proses tumbuh kembang anak, di mana setiap usia anak memiliki masa yang harus dijalani sang anak dengan nyaman dan bahagia.
Beberapa tip agar tidak terjebak pada pola pengasuhan ini, pertama selalu menyempatkan bermain bersama anak. Dengan hal ini, orang tua akan lebih memahami sejauh apa sang anak sudah berkembang dan apa-apa saja yang anak butuhkan. Kemudian, selalu belajar mendengarkan anak.
Satu ketika saat anak bercerita tentang cita-citanya di usia balita berarti dia sudah bisa memahami akan masa depan yang pasti ditemuinya suatu saat ini. orang tua tidak bisa serta merta menyanggah atau menolak keinginan anak yang tidak sesuai dengannya, cukup arahkan dan beri pengertian.
Baca juga: Kenali Tanda Orang Tua Mulai Overparenting
Terakhir, jangan pernah membandingkan anak dengan siapapun termasuk ketika orang tua menjadi anak. Setiap anak diciptakan dengan keunikan masingmasing dan pada zaman yang makin berbeda dengan masa orang tua dulu.
Percayalah dengan mendampingi setiap proses perkembangan anak, kita akan menjadi orang tua yang lebih bahagia.
Editor: Fajar Sidik
Psikolog anak dari Universitas Indonesia Sani B. Hermawan mengatakan beberapa alasan orang tua bersikap hyperparenting yang utama, biasanya karena sulit mendapatkan anak. Setelah memiliki anak yang menjadi satu-satunya barulah orang tua mulai dihinggapi kecemasan yang berlebihan sehingga membuatnya bersikap posesif.
Selain itu, ada alasan yakni meniru pola asuhnya dulu ketika menjadi anak dan bahkan sebaliknya bisa juga tidak puas dengan pola asuh yang dulu diterapkan orang tua kepadanya. Tidak puas dengan pola asuh orang tuanya berarti tidak puas dengan hasil sekarang yang didapatkan, sehingga orang tua ini tidak puas dengan dirinya yang sekarang.
Baca juga: Simak Kiat Pola Asuh Anak dengan Konsep Screamfree Parenting
“Hal ini yang akan membuat orang tua untuk bersikap hyper dan seperti ‘balas dendam’ pada dirinya sendiri dengan membuat berbagai tekanan pada anak untuk bisa lebih baik darinya pada masa depan,” kata Sani dikutip dari Bisnis Weekend edisi 5 Agustus 2015.
Beberapa ciri yang menunjukan orang tua bersikap hyper antara lain, selalu menerapkan disiplin yang ketat pada anak tanpa memperhatikan situasi dan kondisi. Selain itu, menilai keberhasilan anak hanya semata dari nilai prestasi akademik atau kognitif.
Kemudian, selalu merasa tidak puas dengan apapun yang dilakukan anak. Sikap tidak senang jika anak dikritik juga bisa menjadi ciri dari sikap ini karena dengan hal tersebut orang tua akan lebih menekan dan memaksakan kehendak pada anak untuk melakukan sesuatu yang dianggapnya positif sehingga terhindar dari kritik.
Sani mengatakan jika hal ini masih terjadi dalam pola asuh yang diterapkan orang tua pada anak, sebaiknya orang tua mulai intropeksi. orang tua harus bersikap realistis karena jika tidak anak justru akan menjadi korban.
Beberapa dampak sikap hyperparenting, di antaranya pada usia balita, anak-anak akan cenderung menerima karena masih belum memahami sepenuhnya apa yang dilakukan orang tua kepadanya.
Namun, jika sudah berlebihan anak balita biasanya akan merasa tertekan dan berdampak pada diri yang kurang ceria dan tidak berani dengan halhal baru. Selanjutnya, pada usia remaja dan dewasa anak akan mulai memahami keinginannya sendiri dan apa yang dilakukan orang tua kepadanya.
Baca juga: Merasa Overparenting? Yuk Atasi dengan 5 Langkah Ini
Ada dua tipe remaja yang bisa menerima disiplin orang tua dengan baik tetapi melakukan hal buruk jika orang tua tidak mengawasinya sebagai bentuk tumpahan kekesalan dan kekecewaan pada orang tua yang tidak bisa dia ungkapkan.
Ada juga sikap remaja yang langsung memberontak dan menjadi arogan tidak hanya pada orang tua tetapi pada lingkungan sekitarnya juga. Jika hal ini sudah terjadi, bagaimana pun anak tidak bisa disalahkan.
Anak juga tidak akan memahami apa yang seharusnya dia lakukan kepada orang tuanya. Jadi orang tua yang harus peka terhadap anak, bisa dengan berkonsultasi atau melakukan perubahan pola asuhan. Peran serta lingkungan seperti kerabat yang mengetahui adanya pola asuh hyperparenting sebaiknya memberi masukan dan nasihat.
Sani mengatakan yang harus disadari orang tua adalah anak bukan miniatur seorang dewasa yang bisa dipaksa melakukan semua hal. orang tua harus memahami proses tumbuh kembang anak, di mana setiap usia anak memiliki masa yang harus dijalani sang anak dengan nyaman dan bahagia.
Beberapa tip agar tidak terjebak pada pola pengasuhan ini, pertama selalu menyempatkan bermain bersama anak. Dengan hal ini, orang tua akan lebih memahami sejauh apa sang anak sudah berkembang dan apa-apa saja yang anak butuhkan. Kemudian, selalu belajar mendengarkan anak.
Satu ketika saat anak bercerita tentang cita-citanya di usia balita berarti dia sudah bisa memahami akan masa depan yang pasti ditemuinya suatu saat ini. orang tua tidak bisa serta merta menyanggah atau menolak keinginan anak yang tidak sesuai dengannya, cukup arahkan dan beri pengertian.
Baca juga: Kenali Tanda Orang Tua Mulai Overparenting
Terakhir, jangan pernah membandingkan anak dengan siapapun termasuk ketika orang tua menjadi anak. Setiap anak diciptakan dengan keunikan masingmasing dan pada zaman yang makin berbeda dengan masa orang tua dulu.
Percayalah dengan mendampingi setiap proses perkembangan anak, kita akan menjadi orang tua yang lebih bahagia.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.