Pesan di Balik Kemegahan Tari Klasik Surakarta
13 July 2022 |
21:30 WIB
Kota Solo menawarkan beragam daya tarik yang seakan tak akan ada habisnya. Selain kuliner, kota ini begitu dikenal sebagai tempat lahirnya seniman tari klasik. Tidak mengherankan bila kota ini kerap kali seniman Solo diunang untuk mementaskan tari klasik yang sarat dengan simbol dan kesakralan.
Salah satu yang dapat dilihat adalah pementasan Tari Bedoyo Kirono Ratih yang dibawakan oleh para penari keraton Surakarta di La Piazza Summarecon Kelapa Gading pada Juli 2015 silam. Tari bedoyo hasil karya GKR. Wandansari pada 1980-an ini ditarikan oleh tujuh penari.
Seperti lazimnya tari bedoyo, Kirono Ratih ditarikan dengan gerakan yang lembut sesuai dengan iringan gamelan. Tarian klasik yang mengisahkan tentang para putri keraton yang sedang berlatih memanah di bawah sinar rembulan, dapat dikatakan mewakili emansipasi wanita.
Baca juga: Kisah Kasih Ibu yang Menguras Emosi dalam Seni Tari Randai
Pada zaman dahulu, para putri abdi dalem memang dibekali ilmu bela diri karena tugas abdi dalem sebagai benteng terakhir raja saat terjadi peperangan.
“Ada panah kecil sebagai propertinya. Sementara kipas lebih melambangkan kecantikan dan kemolekan untuk menarik lawan jenis. Istilah orang Jawa itu kemayu. Setelah habis perang, mereka kembali kemayu lagi,” ujar Koordinator Grup dari Keraton Surakarta Hadiningrat GKR Timoer Rumbai Kusuma Dewayani dikutip dari Bisnis Indonesia Weekend edisi 26 Juli 2015.
Pada setiap pementasannya, tarian ini berdurasi maksimal 60 menit. Dalam versi aslinya, Tari Bedoyo Kirono Ratih dimain- kan oleh sembilan penari. Pementasan oleh tujuh penari, merupakan jumlah minimal penari untuk dapat menarikan tarian ini.
Sembilan penari Bedoyo Kirono Ratih melambangkan sembilan lubang yang ada dalam manusia, a.l. mata, hidung, telinga, dan mulut. Sembilan lubang ini mengandung filosofi bahwa dari manusia memiliki dua lubang untuk sesuatu yang baik dan tidak baik.
Dia mencontohkan, hidung digunakan untuk menghirup udara yang baik untuk kesehatan, sedangkan lubang kemaluan digunakan untuk mengeluarkan apa yang tidak berguna dalam diri manusia. Formasi sembilan penari dalam Bedoyo Kirono Ratih memiliki fungsi yang berbeda.
Salah satunya adalah penari utama yang disebut sebagai bata yang menjadi panutan penari lain, dan menentukan kesuksesan dari pementasan. Jika seorang bata kehilangan konsentrasi, maka fokus penari lainnya dapat terkacaukan.
Dia menuturkan bata merupakan penari terberkati atau terpilih karena penari ini muncul tanpa ditunjuk tetapi karena bakatnya terlihat dengan sendirinya. Di sisi lain, muncul kepercayaan bahwa seorang bata biasanya terlambat menikah.
“Yang jadi bata tadi usianya 30 atau 32 yang telat kalau untuk masyarakat Jawa. Dulu saat saya menari selalu jadi bata, dan saya menikah umur 33 tahun,” ungkapnya.
Para penari yang rata-rata masih mengenyam pendidikan di bangku Perguruan Tinggi datang dari putri keraton. Putri keraton ini adalah mereka yang tercatat sebagai abdi dalem. Tidak mudah menjadi bagian dari penari bedaya karena harus melalui proses pemilih an yang panjang, dan belajar menari sejak kecil.
Baca juga: Pertunjukan Tari Tjampoer: Kolabs Seniman Indonesia & Belanda di Atas Panggung
GKR Timoer menuturkan untuk menjadi penari bedoyo, salah satu syaratnya adalah belajar menari minimal lima tahun. Selain itu, yang boleh menarikan tarian bedoyo adalah penari yang belum menikah, meskipun syarat khusus ini tidak berlaku untuk raja dan cucunya.
Tari Bedoyo Kirono Ratih bukan merupakan tarian sakral yang hanya ditampilkan dalam kesempatan tertentu saja, tetapi juga dapat diperlihatkan di luar tembok keraton.
“Namun demikian, tarian ini tidak diajarkan ke luar keraton. Jika ada yang ingin belajar, kami masih memperbolehkannya dengan datang ke keraton. Contohnya, biasanya seperti ISI Solo dan Yogyakarta datang untuk belajar. Begitu juga mahasiswa dari luar negeri ikut mempelajarinya,” tuturnya.
Editor: Fajar Sidik
Salah satu yang dapat dilihat adalah pementasan Tari Bedoyo Kirono Ratih yang dibawakan oleh para penari keraton Surakarta di La Piazza Summarecon Kelapa Gading pada Juli 2015 silam. Tari bedoyo hasil karya GKR. Wandansari pada 1980-an ini ditarikan oleh tujuh penari.
Seperti lazimnya tari bedoyo, Kirono Ratih ditarikan dengan gerakan yang lembut sesuai dengan iringan gamelan. Tarian klasik yang mengisahkan tentang para putri keraton yang sedang berlatih memanah di bawah sinar rembulan, dapat dikatakan mewakili emansipasi wanita.
Baca juga: Kisah Kasih Ibu yang Menguras Emosi dalam Seni Tari Randai
Pada zaman dahulu, para putri abdi dalem memang dibekali ilmu bela diri karena tugas abdi dalem sebagai benteng terakhir raja saat terjadi peperangan.
“Ada panah kecil sebagai propertinya. Sementara kipas lebih melambangkan kecantikan dan kemolekan untuk menarik lawan jenis. Istilah orang Jawa itu kemayu. Setelah habis perang, mereka kembali kemayu lagi,” ujar Koordinator Grup dari Keraton Surakarta Hadiningrat GKR Timoer Rumbai Kusuma Dewayani dikutip dari Bisnis Indonesia Weekend edisi 26 Juli 2015.
Pada setiap pementasannya, tarian ini berdurasi maksimal 60 menit. Dalam versi aslinya, Tari Bedoyo Kirono Ratih dimain- kan oleh sembilan penari. Pementasan oleh tujuh penari, merupakan jumlah minimal penari untuk dapat menarikan tarian ini.
Sembilan penari Bedoyo Kirono Ratih melambangkan sembilan lubang yang ada dalam manusia, a.l. mata, hidung, telinga, dan mulut. Sembilan lubang ini mengandung filosofi bahwa dari manusia memiliki dua lubang untuk sesuatu yang baik dan tidak baik.
Dia mencontohkan, hidung digunakan untuk menghirup udara yang baik untuk kesehatan, sedangkan lubang kemaluan digunakan untuk mengeluarkan apa yang tidak berguna dalam diri manusia. Formasi sembilan penari dalam Bedoyo Kirono Ratih memiliki fungsi yang berbeda.
Salah satunya adalah penari utama yang disebut sebagai bata yang menjadi panutan penari lain, dan menentukan kesuksesan dari pementasan. Jika seorang bata kehilangan konsentrasi, maka fokus penari lainnya dapat terkacaukan.
Dia menuturkan bata merupakan penari terberkati atau terpilih karena penari ini muncul tanpa ditunjuk tetapi karena bakatnya terlihat dengan sendirinya. Di sisi lain, muncul kepercayaan bahwa seorang bata biasanya terlambat menikah.
“Yang jadi bata tadi usianya 30 atau 32 yang telat kalau untuk masyarakat Jawa. Dulu saat saya menari selalu jadi bata, dan saya menikah umur 33 tahun,” ungkapnya.
Para penari yang rata-rata masih mengenyam pendidikan di bangku Perguruan Tinggi datang dari putri keraton. Putri keraton ini adalah mereka yang tercatat sebagai abdi dalem. Tidak mudah menjadi bagian dari penari bedaya karena harus melalui proses pemilih an yang panjang, dan belajar menari sejak kecil.
Baca juga: Pertunjukan Tari Tjampoer: Kolabs Seniman Indonesia & Belanda di Atas Panggung
GKR Timoer menuturkan untuk menjadi penari bedoyo, salah satu syaratnya adalah belajar menari minimal lima tahun. Selain itu, yang boleh menarikan tarian bedoyo adalah penari yang belum menikah, meskipun syarat khusus ini tidak berlaku untuk raja dan cucunya.
Tari Bedoyo Kirono Ratih bukan merupakan tarian sakral yang hanya ditampilkan dalam kesempatan tertentu saja, tetapi juga dapat diperlihatkan di luar tembok keraton.
“Namun demikian, tarian ini tidak diajarkan ke luar keraton. Jika ada yang ingin belajar, kami masih memperbolehkannya dengan datang ke keraton. Contohnya, biasanya seperti ISI Solo dan Yogyakarta datang untuk belajar. Begitu juga mahasiswa dari luar negeri ikut mempelajarinya,” tuturnya.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.