Ilustrasi remaja (Sumber gambar - Unsplash - Amir Hosseini)

Laki-laki Tidak Boleh Nangis, Pola Asuh yang Memicu Remaja Jadi Gengster

12 July 2022   |   18:04 WIB

Kejahatan yang melibatkan sekelompok orang memang meresahkan. Sebab, mereka tidak hanya menyakiti, bahkan berani menghabisi nyawa seseorang. Mereka umumnya tergabung dalam sekelompok geng, seringnya melibatkan remaja di dalamnya. 

Pengertian ‘geng’ menurut KBBI adalah (1) kelompok remaja (yang terkenal karena kesamaan latar belakang sosial, sekolah, daerah, dan sebagainya); (2) gerombolan. Adapun, anggotanya biasa disebut sebagai ‘gangster’.

 Bagi banyak kalangan, geng masih berkonotasi negatif. Para ‘gangster’ yang rata-rata adalah anak baru gede (ABG) pria kerap dipandang sebagai anak-anak nakal yang gemar merusuh dan meresahkan masyarakat. Meskipun demikian, ada juga ‘gangster’ remaja perempuan. 

Baca juga: Menurut Penelitian Ini Medsos Memiliki Pengaruh Negatif Bagi Kesehatan Mental Remaja

Namun, apa sebenarnya yang membuat para remaja pria lebih tertarik membentuk atau tergabung dalam geng? 
 

1. Kebutuhan akan eksistensi

Dihimpun dari Bisnis Indonesia Weekend edisi 18 September 2016, Dosen FISIP Universitas Diponegoro, Triyono Lukmantoro, menggunakan pendekatan sosial untuk menjelaskan fenomena geng pada remaja pria. Dia mengatakan, anak laki-laki normal yang beranjak remaja cenderung memiliki kebutuhan untuk menunjukkan maskulinitasnya. 

Sebagian besar remaja putra merasa gengsi dan malu jika diolok-olok oleh teman-temannya dengan sebutan ‘banci’ atau sejenisnya. Bagi mereka, adalah hal tabu untuk menunjukkan sisi lembut dan ringkih. Mereka ogah dicap sebagai laki-laki feminin. 

“Tidak heran kehidupan remaja pria diwarnai dengan berbagai bentuk kekerasan. Kompensasi lain untuk menunjukkan ‘kelelakian’ mereka adalah membentuk kelompok teman sebaya. Itulah yang menjadikan geng tumbuh subur di kalangan remaja pria,” jelasnya. 
 

2. Nilai aktualisasi

Menurut Triyono, bagi remaja putra, geng bukan sekadar wadah ngumpul antarteman sebaya. Akan tetapi, geng merupakan sebentuk aktualisasi nilainilai ‘kelelakian’ yang dianggap paling sejati oleh ABG pria. Di dalam geng, maskulinitas mendapatkan ruang istimewa.

 “Kita dapat menyimak gejala itu dengan pemberian nama geng yang terkesan beringas dan mengandalkan sikap tegas. Struktur organisasi geng sengaja diadopsi dari konsep militer, seperti ‘panglima’, ‘jenderal’, atau ‘brigade’ untuk mempertegas sifat maskulin.”
 

3. Pemahaman keliru tentang maskulinitas

Dia berpendapat, kelompok-kelompok remaja putra seperti ‘Geng Motor’ adalah salah satu contoh nyata bagaimana remaja pria lekat dengan kehidupan yang harus serba menonjolkan maskulinitas. Secara sosial, maskulinitas adalah sebuah karakter gender yang dianggap lekat dengan sosok pria. Sehingga, para remaja putra beranggapan semakin maskulin mereka, semakin mudah diterima dalam pergaulan. 
 

4. Pola didik terkait maskulinitas

Lantas, mengapa maskulinitas menjadi begitu penting bagi ABG laki-laki? Pada dasarnya, konsep bahwa ‘laki-laki tidak boleh feminin’ dirangsang dari pola didik pada lingkup keluarga. Tanpa disadari orang tua sudah melakukan indoktrinasi soal gender sejak dini. Misalnya saja, orang tua melarang anak laki-lakinya untuk menangis atau merengek. 

Mereka mengatakan itu adalah sifat anak perempuan. Orang tua juga cenderung menjauhkan anak laki-laki mereka dari mainan yang bernuansa feminin, seperti boneka. Saat memasuki usia sekolah, penanaman maskulinitas pada anak laki-laki pun semakin menjadi-jadi. 
 

via GIPHY
 

5. Salah kaprah tentang maskulinitas

Di sekolah, seringkali anak atau remaja pria yang mampu menjalankan peran-peran maskulin cenderung lebih sering dilibatkan dalam pergaulan. Pada akhirnya remaja pria menyimpulkan tiga hal. Pertama, jika mereka tidak maskulin, mereka akan ditolak kelompok sebayanya. Kedua, jika tidak maskulin, mereka akan dileceh kan. Ketiga, jika tidak maskulin, mereka akan dipandang remeh dan lemah. 
 

6. Tolok ukur 

Triyono menjelaskan cara pandang tersebut menjadikan posisi maskulinitas sebagai panduan moral yang menjadi tolok ukur kepantasan seorang remaja pria dalam pergaulan dengan rekan sebayanya. “Akibatnya, maskulinitas malah dianggap sebagai sebuah dogma yang tak terbantahkan. Dalam arti, anak laki-laki yang menentang maskulinitas dianggap melanggar moralitas. Sebaliknya, mematuhi maskulinitas bermakna meraih superioritas,” paparnya. 

Sayangnya, pemahaman tersebut justru mengubah pola pikir remaja putra bahwa untuk dipandang maskulin, mereka harus setia dengan norma etis yang ditentukan oleh loyalitas pada kelompok yang menaunginya. Banyak remaja pria yang kemudian melakukan aksi kekerasan atau merusuh setelah memasuki kehidupan geng, dengan alasan perbuatan tersebutlah yang dike hendaki oleh teman-teman se-geng-nya. 

“Mereka tidak keberatan ketika diminta melakukan hal-hal brutal oleh teman segeng. Namun, ini semua tidak lepas dari internalisasi nilai peran gender yang berlangsung dalam lingkup keluarga dan sekolah.” 
 

7. Penuhi kebutuhan emosional anak

Pada dasarnya, untuk mencegah anak terlibat kehidupan gangster dan kenakalan remaja, orang tua harus memahami dan mencukupi kebutuhan emosional putra mereka. Kebutuhan itu mencakup beberapa aspek. 

Pertama, kebutuhan untuk merasa aman. Anak yang merasa hidupnya aman di bawah naungan keluarganya cenderung tidak tertarik untuk mencari bentuk pengamanan lain dari temantemannya, seperti melibatkan diri ke dalam geng.

 Kedua, kebutuhan akan pengakuan. Anak remaja kerap merasa urusannya adalah yang terpenting. Mereka ingin diterima, diperhatikan, dan dicintai. Sayangnya, jarang sekali ada orang tua yang membuat anak-anak mereka merasa penting dan diakui di rumah. 

Ketiga, kebutuhan untuk mengendalikan hidupnya sendiri. Para remaja selalu merasa bisa mandiri atau ingin mengendalikan segalanya sendiri sebagai proses pencarian identitas diri. Proses ini menumbuhkan kebutuhan untuk bebas dan mandiri. 

Baca juga: 5 Tips Atasi Remaja Labil

“Jadi, jangan mendikte anak. Komunikasi sebaiknya dilakukan tanpa maksud untuk memaksakan nasihat orang tua pada anak. Berikan pengarahan dan buat mereka seakanakan belajar dan bekerja keras untuk diri mereka sendiri, dan bukan untuk orang tua.

Editor: Dika Irawan 
 

SEBELUMNYA

6 Cara Ampuh agar Hobi Mahal Kalian Tidak Bikin Pasangan Cemberut

BERIKUTNYA

Jangan Kebanyakan Konsumsi Daging, Risiko Kesehatan ini Mengancam

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: