Pengalaman Traveling ke Laos: Menapak Sejarah Negeri Seribu Gajah
07 July 2022 |
14:09 WIB
Di antara 10 negara anggota Asean, Laos satu-satunya negara yang tidak memiliki garis pantai, tetapi berbatasan langsung dengan lima negara sekaligus. Sungai Mekong, sungai terpanjang di Peradabannya yang kaya bertolak dari Asia Tenggara yang mengalir melalui enam negara dari daratan China hingga pesisir Vietnam.
Di lembah Sungai Mekong yang berkelok itulah, Vientiane sebagai pusat pemerintahan Laos terletak. Dari sisi Vientiane yang menghadap Sungai Mekong, kita dapat melihat dengan jelas daratan Thailand di seberang sungai. Mekong pula yang menjadi saksi betapa harmonisnya hubungan penduduk kedua negara.
Banyak warga Vientiane yang menyeberang perahu ke Thailand untuk menikmati bioskop. Sebaliknya, banyak warga Thailand yang juga berperahu ke Vientiane untuk berwisata.
Baca juga: Laos, Pesona Negeri Seribu Candi
Di Vientiane, kita dapat dengan mudah menemukan orang berbicara bahasa Thai ataupun transaksi niaga dengan menggunakan Bath. Vientiane awalnya hanya perkampungan kecil. Kota ini ditetapkan menjadi ibu kota Kerajaan Lan Xang pada 1560-an, oleh Raja Setthathirath.
Sejarah panjang perjalanan kota yang dijuluki sebagai Kota Rembulan ini terekam jelas di wajah Vientiane saat ini. Waktu tiga hari penuh rasanya tidak cukup untuk menelusuri setiap jejak perjalanan sejarah yang ada di kota berpenduduk 760.000 jiwa ini.
Asyiknya, destinasidestinasi menarik yang masih terawat dengan baik itu dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Saya memulai perjalanan dari titik berdirinya Patung Raja Chao Anouvong di Taman Chao Anouvong di tepian Sungai Mekong.
Pagi-pagi sekitar satu jam setelah fajar terbit adalah saat paling tepat memulai perjalanan dari taman yang bebas asap rokok ini. Ratusan, bahkan mungkin ribuan burung beterbangan dari dahan ke dahan di antara rindangnya pepohonan di Taman Chao Anouvong yang menghijau.
Udara yang sangat segar, ditambah semarak suara kicauan burung rasanya memompa energi yang begitu besar untuk memulai penjelajahan. Dari Patung Raja Chao Anouvong, menyeberang Taman Chao Anouvong dan Jalan Quai Fangum, kita akan bertemu dengan Istana Kepresidenan Laos.
Kemudian, dalam satu tarikan garis lurus ke arah Timur Laut, kita akan bertemu Patuxai atau Victory Gate. Patuxai dibangun pada 1957 – 1968 untuk mengenang jasa para pahlawan yang merebut kemerdekaan Laos dari Prancis.
Desainnya begitu menawan, lengkap dengan ornamen bersepuh emas dari rangkaian simbol-simbol keagamaan Buddha. Jika Paris memiliki Arc de Triomphe yang begitu populer dan berada dalam satu tarikan garis lurus dengan Menara Eiffel, maka Vientiane punya Patuxai.
Sekilas, keduanya memang mirip sehingga orang sering menyebut Patuxai sebagai Arc de Triomphe dari Vientiane. Patuxai sangat populer menjadi salah satu objek foto para turis. Daya tariknya semakin lengkap dengan hadirnya air mancur yang dapat meliuk-liuk di tengahtengah taman hijau yang cantik dan tertata rapi.
Jika malam tiba, kecantikan Patuxai semakin bersinar dan memantul indah dari atas kolam air mancur. Dari Patuxai, kembali ke arah Istana Kepresidenan melalui Ave Lane Xang, kemudian berbelok ke arah barat daya sekitar 100 meter, kita akan bertemu dengan That Dam, sebuah bangunan berbentuk stupa berwarna hitam dari abad ke-16.
Menurut legenda lokal, naga berkepala tujuh mendiami stupa tersebut dan melindungi penduduk ketika Vientiane diserang oleh Bangsa Siam pada abad ke-18. Jika kita berkeliling menyusuri jalan-jalan di Kota Vientiane, kita dapat dengan mudah menemukan kuilkuil dengan penggambaran naga tersebut. Misalnya, di pintu masuk kuil Wat Si Muang.
Berjalan kaki di Kota Vientiane sungguh terasa ringan meskipun matahari bersinar kencang. Di sini, tidak terlihat sampah berserakan. Meskipun pusat pemerintahan sekaligus pusat bisnis, kemacetan nyaris tidak ada. Tidak ada coretan-coretan vandal yang tak sedap dipandang. Pohon-pohon dibiarkan merindang di segenap penjuru kota.
Di sini juga sangat mudah menemukan area publik yang bebas rokok. Plang ‘smoke free area’ menghias banyak taman, kuil, museum, dan perkantoran. Yang menakjubkan, larangan itu dipatuhi para penduduk setempat. Sungguh udara terasa segar.
Pengunjungnya tidak hanya penduduk lokal, tetapi juga wisatawan mancanegara, termasuk mereka yang rutin menyeberang dari Thailand. Tidak hanya jajanan lokal, pengunjung dapat menemukan beragam cinderamata menarik khas Laos.
Soal bahasa, siap-siap saja untuk ‘tersesat’ di kota ini. Tidak mudah menemukan warga lokal yang dapat berbahasa Inggris. Seringkali, saya dan kawan-kawan seperjalan terpaksa menggunakan bahasa ‘Tarzan’ saat berbicara dengan orang lokal. Bahkan, gara-gara persoalan bahasa yang tidak nyambung ini, kami pernah secara tidak sengaja memakan (maaf) sate pantat ayam.
Baca juga: Wisata Senja di Chiang Mai
Betapa leganya kami saat bertemu dengan orang lokal yang ‘nyambung’ saat diajak berbicara dengan bahasa yang sama. Mereka lah yang mengajari kami beberapa kosa kata Lao yang sederhana. Maka, setelah mengucapkan “sabaidi” saat berjumpa, kami pun berpisahan dengan hangat sambil berkata “khokhobchai!”.
Catatan redaksi: Artikel ini pernah terbit di Bisnis Indonesia Weekend edisi 23 Oktober 2016.
Editor: Dika Irawan
Di lembah Sungai Mekong yang berkelok itulah, Vientiane sebagai pusat pemerintahan Laos terletak. Dari sisi Vientiane yang menghadap Sungai Mekong, kita dapat melihat dengan jelas daratan Thailand di seberang sungai. Mekong pula yang menjadi saksi betapa harmonisnya hubungan penduduk kedua negara.
Banyak warga Vientiane yang menyeberang perahu ke Thailand untuk menikmati bioskop. Sebaliknya, banyak warga Thailand yang juga berperahu ke Vientiane untuk berwisata.
Baca juga: Laos, Pesona Negeri Seribu Candi
Di Vientiane, kita dapat dengan mudah menemukan orang berbicara bahasa Thai ataupun transaksi niaga dengan menggunakan Bath. Vientiane awalnya hanya perkampungan kecil. Kota ini ditetapkan menjadi ibu kota Kerajaan Lan Xang pada 1560-an, oleh Raja Setthathirath.
Sejarah panjang perjalanan kota yang dijuluki sebagai Kota Rembulan ini terekam jelas di wajah Vientiane saat ini. Waktu tiga hari penuh rasanya tidak cukup untuk menelusuri setiap jejak perjalanan sejarah yang ada di kota berpenduduk 760.000 jiwa ini.
Asyiknya, destinasidestinasi menarik yang masih terawat dengan baik itu dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Saya memulai perjalanan dari titik berdirinya Patung Raja Chao Anouvong di Taman Chao Anouvong di tepian Sungai Mekong.
Tangkapan layar Bisnis Indonesia Weekend.
Udara yang sangat segar, ditambah semarak suara kicauan burung rasanya memompa energi yang begitu besar untuk memulai penjelajahan. Dari Patung Raja Chao Anouvong, menyeberang Taman Chao Anouvong dan Jalan Quai Fangum, kita akan bertemu dengan Istana Kepresidenan Laos.
Kemudian, dalam satu tarikan garis lurus ke arah Timur Laut, kita akan bertemu Patuxai atau Victory Gate. Patuxai dibangun pada 1957 – 1968 untuk mengenang jasa para pahlawan yang merebut kemerdekaan Laos dari Prancis.
Desainnya begitu menawan, lengkap dengan ornamen bersepuh emas dari rangkaian simbol-simbol keagamaan Buddha. Jika Paris memiliki Arc de Triomphe yang begitu populer dan berada dalam satu tarikan garis lurus dengan Menara Eiffel, maka Vientiane punya Patuxai.
Sekilas, keduanya memang mirip sehingga orang sering menyebut Patuxai sebagai Arc de Triomphe dari Vientiane. Patuxai sangat populer menjadi salah satu objek foto para turis. Daya tariknya semakin lengkap dengan hadirnya air mancur yang dapat meliuk-liuk di tengahtengah taman hijau yang cantik dan tertata rapi.
Jika malam tiba, kecantikan Patuxai semakin bersinar dan memantul indah dari atas kolam air mancur. Dari Patuxai, kembali ke arah Istana Kepresidenan melalui Ave Lane Xang, kemudian berbelok ke arah barat daya sekitar 100 meter, kita akan bertemu dengan That Dam, sebuah bangunan berbentuk stupa berwarna hitam dari abad ke-16.
Menurut legenda lokal, naga berkepala tujuh mendiami stupa tersebut dan melindungi penduduk ketika Vientiane diserang oleh Bangsa Siam pada abad ke-18. Jika kita berkeliling menyusuri jalan-jalan di Kota Vientiane, kita dapat dengan mudah menemukan kuilkuil dengan penggambaran naga tersebut. Misalnya, di pintu masuk kuil Wat Si Muang.
Berjalan kaki di Kota Vientiane sungguh terasa ringan meskipun matahari bersinar kencang. Di sini, tidak terlihat sampah berserakan. Meskipun pusat pemerintahan sekaligus pusat bisnis, kemacetan nyaris tidak ada. Tidak ada coretan-coretan vandal yang tak sedap dipandang. Pohon-pohon dibiarkan merindang di segenap penjuru kota.
Di sini juga sangat mudah menemukan area publik yang bebas rokok. Plang ‘smoke free area’ menghias banyak taman, kuil, museum, dan perkantoran. Yang menakjubkan, larangan itu dipatuhi para penduduk setempat. Sungguh udara terasa segar.
Pasar malam
Jika sore tiba, penduduk Vientiane gemar berkumpul di pinggiran Mekong. Di sana, setiap sore hingga tengah malam digelar pasar malam. Pasar malam ini termasuk salah satu atraksi wisata yang ditawarkan Kota Vientiane.Pengunjungnya tidak hanya penduduk lokal, tetapi juga wisatawan mancanegara, termasuk mereka yang rutin menyeberang dari Thailand. Tidak hanya jajanan lokal, pengunjung dapat menemukan beragam cinderamata menarik khas Laos.
Soal bahasa, siap-siap saja untuk ‘tersesat’ di kota ini. Tidak mudah menemukan warga lokal yang dapat berbahasa Inggris. Seringkali, saya dan kawan-kawan seperjalan terpaksa menggunakan bahasa ‘Tarzan’ saat berbicara dengan orang lokal. Bahkan, gara-gara persoalan bahasa yang tidak nyambung ini, kami pernah secara tidak sengaja memakan (maaf) sate pantat ayam.
Baca juga: Wisata Senja di Chiang Mai
Betapa leganya kami saat bertemu dengan orang lokal yang ‘nyambung’ saat diajak berbicara dengan bahasa yang sama. Mereka lah yang mengajari kami beberapa kosa kata Lao yang sederhana. Maka, setelah mengucapkan “sabaidi” saat berjumpa, kami pun berpisahan dengan hangat sambil berkata “khokhobchai!”.
Catatan redaksi: Artikel ini pernah terbit di Bisnis Indonesia Weekend edisi 23 Oktober 2016.
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.