Ilustrasi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). (Sumber gambar - Unsplash - Sam Moghadam)

Pertolongan Pertama bagi Penderita Gangguan Jiwa

06 July 2022   |   17:04 WIB

Barangkali Anda pernah melihat seorang penderita gangguan jiwa yang ditelantarkan oleh keluarganya. Dia dijebloskan ke lingkungan pondok sosial (liponsos), dipasung atau disekap di kamar, ditinggal begitu saja di rumah sakit jiwa, atau bahkan dibiarkan luntang-lantung sendirian di jalanan. 

Malang nian nasib mereka. Sebab, di Indonesia masih berkembang stigma negatif terhadap orang-orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Akibatnya, memiliki anggota keluarga yang gila dianggap sebagai aib yang sangat memalukan. 

Namun, bagaimana bila hal tersebut terjadi pada keluarga Anda? Bagaimana jika ada anggota keluarga yang mengalami gangguan psikologis? Apakah Anda akan menelantarkannya juga? Apakah Anda akan menganggapnya sebagai aib? 

Baca juga: Waspada! 5 Kebiasaan Ini Mengancam Kesehatan Mental
 

Apa itu gangguan kejiwaan?

Sebelum membahas mengenai apa itu gangguan jiwa dan bagaimana bila ada anggota keluarga yang mengalaminya, mari kita telaah terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kesehatan jiwa menurut UU Kesehatan Jiwa, Kementerian Kesehatan RI. 

Menurut UU, seseorang dikatakan sehat jiwa apabila dia dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga mampu menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja produktif, serta memberi kontribusi untuk komunitasnya. 

Orang yang jiwanya sehat ditandai dengan memiliki perasaan sehat dan bahagian, serta nyaman pada dirinya sendiri sehingga mampu mengatasi amarah, iri hati, cemas, rendah diri, takut, dan kecewa. Dia juga mampu menilai dirinya sendiri dengan sepatutnya. 

Jiwa sehat juga ditandai dengan kemampuan menerima orang lain apa adanya, bersikap positif pada diri sendiri dan orang lain, serta merasa nyaman berhubungan dengan orang lain sehingga mampu menerima, mencintai, dan menggunakan akalnya dengan sehat. 

Selain itu, orang yang jiwanya sehat menyadari kemampuan diri, mampu menghadapi tantangan dan kebutuhan hidupnya, menerima tanggung jawab, mampu mengambil keputusan, mempunyai tujuan hidup nyata, dan merancang masa depannya.
 

Ancaman gangguan jiwa

Lebih lanjut, menurut World Federation for Mental Health (WFMH), satu dari empat orang dewasa akan mengalami masalah kesehatan jiwa pada satu masa dalam hidupnya, dan setiap 40 detik di suatu tempat di dunia ada seseorang yang meninggal karena bunuh diri. 

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IV, gangguan jiwa adalah gejala pola perilaku seseorang yang secara klinis cukup bermakna dan secara khas berkaitan dengan gejala distres atau hendaya (ketidakmampuan) di dalam satu atau lebih fungsi penting manusia. 

Ketua Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Eva Viora menjabarkan gangguan jiwa tidak mengenal batasan usia dan bisa terjadi pada siapa saja, baik anak-anak, ibu hamil, maupun para manusia lanjut usia (manula). 

“Mereka adalah populasi yang paling berisiko mengalami gangguan jiwa dan membutuhkan pencegahan dan pengendalian agar tidak berkelanjutan dan hanya akan membebani keluarga dan masyarakat, serta kualitas bangsa,” ujarnya. 

Pencegahan terhadap gangguan jiwa dapat dimulai dari perang melawan kekerasan terhadap anak dan perempuan (terutama kekerasan seksual), anak jalanan, pornografi, penyalahgunaan napza, kecanduan media sosial (medsos), bencana, kepikunan, dan beban psikologis. 

“Jika faktor-faktor tersebut terabaikan karena ketidakpahaman, kelelahan menghadapi, kurang peduli, dan kurangnya akses pelayanan kesehatan, maka para penderita gangguan jiwa akan sulit ditangani dan akhirnya akan membebani keluarga.” 

Menurut Eva, anggota keluarga yang terdeteksi menderita gangguan jiwa sebaiknya jangan langsung dianggap sebagai aib atau kutukan. Sebaliknya, mereka harus diberi pertolongan pertama dan kesempatan agar diperlakukan secara bermartabat. 

“Sebab, bagaimanapun mereka berhak dan berkehendak untuk dihargai serta mendapatkan perlakukan serta martabat yang setara dengan masyarakat lainnya atau dengan kata lain, tanpa diskriminasi sesuai dengan UU Kesehatan Jiwa,” tegasnya. 
 

5 langkah yang perlu kalian lakukan

Untuk itu, dia menyarankan agar setiap keluarga mempelajari dan memahami keterampilan dasar pertolongan pertama kesehatan jiwa (Mental Health First Aid Action Plan), yang terdiri atas lima langkah. Langkah-langkah tersebut a.l. pendekatan, deteksi, dan membantu pada krisis apapun; mendengarkan tanpa menghakimi; memberikan dukungan dan informasi yang tepat; mendorong penderita untuk mendapatkan bantuan profesional; dan memberi dukungan lain. 

 “Pertolongan pertama ini seharusnya diberikan kepada seseorang yang bukan kader kesehatan dan tidak memiliki latar belakang kesehatan, melainkan seseorang yang berada dalam lingkup sosial penderita; terutama keluarga,” ujar Eva. 

Dengan memberdayakan peran keluarga dalam menolong penderita gangguan jiwa, akan lahir banyak manfaat maksimal tidak hanya bagi prognosis kesehatan jiwa tetapi juga dalam proses pembangunan kesehatan dan kualitas bangsa dalam jangka panjang. 

Setiap keluarga perlu menyadari pentingnya kesehatan jiwa dan mau mengentaskan stigma negatif pada ODGJ. Biar bagaimanapun, menelantarkan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa adalah sebuah tindakan yang keji dan tidak berperikemanusiaan. 

Baca juga: Languishing, Hidup Terasa Hampa Hingga "Mentok"

Berikan mereka kesempatan untuk ditolong dan dinaikkan martabatnya, agar mereka bisa tetap menjalani hidup lebih berkualitas ketimbang dibuang di jalanan, dipasung, atau ditelantarkan di panti sosial. 

Catatan redaksi: Artikel ini pernah dimuat di Bisnis Indonesia Weekend edisi 23 Oktober 2016.

Editor: Dika Irawan

SEBELUMNYA

Simak Yuk, Tip Rencana Keuangan Milenial Biar Gaji Enggak Cuma Numpang Lewat

BERIKUTNYA

Apa itu Psikososial? Jangan Remehkan Kondisi Ini

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: