Foto karya fotografer G.J. Aalderks koleksi Natioonal Archief, Belanda (Sumber gambar: Hypeabis/Dika Irawan)

Menilik Foto-foto yang Merekam Peristiwa Revolusi Fisik 1945-1950

27 June 2022   |   16:55 WIB
Image
Dika Irawan Asisten Konten Manajer Hypeabis.id

Bila para pendiri bangsa berjuang mempertahankan kemerdekaan di meja perundingan, maka para pemuda dan masyarakat turun ke jalan menenteng senjata menghalau penjajah. Kisah-kisah heroisme itu diangkat dalam foto-foto hitam putih di pameran foto jurnalistik 71th RI Bingkisan Revolusi.
 
Berlangsung di Museum dan Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta, pameran menyajikan foto-foto yang merekam peristiwa revolusi fisik pada kurun waktu 1945-1950. Secara gamblang, peristiwa-peristiwa penting pada saat bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan terekam pada foto-foto yang disajikan. 

Kendati kemerdekaan sudah diproklamasikan, tapi keinginan Belanda merebut kembali tanah jajahannya semakin menguat. Namun usaha agresi militer I & II yang dilancarkan Belanda tak mempan menguasai bekas tanah jajahannya kembali. Sebaliknya, mereka harus menelan pil pahit berupa kekalahan dari meja perundingan hingga peperangan. 

Baca jugaPilu, Trauma & Modernisasi, Foto-Foto Ini Menggambarkan Perubahan Wajah Jepang setelah Kalah Perang Dunia

Pada masa yang dikenal dengan era revolusi fisik itu, melawan penjajah adalah sebuah kewajiban bagi seluruh lapisan masyarakat. Emosi bangsa Indonesia sudah tak dapat diredam lagi tatkala melihat para penjajah bercokol di Tanah Air. Suasana kengerian itu tampak pada foto hitam putih (cetak di atas plastik, 50x70 cm, 1949) karya G.J. Aalderks koleksi Nationaal Archief, Belanda. 

Baca jugaDari Asia hingga Eropa, Foto-foto Ini Menggambarkan Kepiluan Pengungsi Mencari 'Rumah Baru'

Foto memperlihatkan ratusan warga memegang bambu runcing, sambil berjongkok mereka mendengarkan arahan pelaksanaan gencatan senjata. Dari foto tersebut dapat terasa betapa gentingnya pada masa revolusi itu. Namun foto ini tidak menginformasikan detail lokasi, hanya menyebutkan gambar diambil pada 3 April 1949 di Bondowoso, Jawa Timur. 

Tak dapat disanggah bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia tak dapat dilepaskan sepenuhnya dari peran para pemuda. Sekelompok tentara pelajar terus berjaga di depan Restoran Malang, dekat dengan Pasar Gede, Solo. Satu tentara mengibarkan bendera merah putih yang diikat di senjatanya. Sedangkan satu tentara pelajar lainnya, justru menenteng gitar dengan topi khas koboi di kepalanya. 
 

(Sumber gambar: Hypeabis/Dika Irawan)

(Sumber gambar: Hypeabis/Dika Irawan)


Begitulah adegan yang terekam pada  foto koleksi Nationaal Archief, hasil jepretan Th. Burgt (cetak di atas plastik, 50x70 cm, 1949). Masih dengan fotografer yang sama, Th Burgt memotret enam tentara pelajar berjalan santai, tiga pelajar lainnya bergaya dengan kaca mata hitamnya.

Keterangan foto menyebutkan bahwa Belanda ketika itu tengah menarik mundur pasukannya dari Solo. Pose para tentara pelajar tersebut menjadi tanda perayaan kemenangan bangsa Indonesia. 

Tak melulu meraih kemenangan, mempertahankan kemerdekaan juga berarti ada nyawa-nyawa para pejuang yang dikorbankan. Kematian dan darah sudah menjadi pemandangan biasa. Charles van der Hijden, prajurit Belanda berhasil mengabadikan gambar pejuang republik yang tergeletak di tanah bersimbah darah setelah disergap tentara Belanda (dicetak di atas plastik, 50x70 cm, 1947). Foto itu kini merupakan koleksi Museum Bronbeek, Belanda.

Melihat perjalanan bangsa ini dapat ditelusuri dari dokumen-dokumen yang menceritakan bagaimana usaha persiapan kemerdekaan. Seperti yang terlihat pada dokumen peta tempat duduk peserta Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia di Gedung Pancasila koleksi Museum Arsip Nasional Republik Indonesia.

Ketika itu panitia persiapan kemerdekaan sudah mengatur sedemikian rupa posisi duduk para tokoh bangsa seperti Soekarno, Moh. Yamin, Koesoemah Atmadja, J. Latuharhary, K.H. Dewantara hingga Otto Iskandar Dinata. Berlaku sebagai pimpinan sidang Radjiman Wedjodiningrat dan R.P Seoroso. Peta ditulis dengan dua bahasa Indonesia dan Jepang. Penggunaan alpabet kanji ini dapat dipahami pengaruh pendudukan Jepang. 
 

Warga Keturunan

Di balik pergolakan menuju dan mempertahankan kemerdekaan, etnis keturunan Tionghoa mencari identitasnya. Kelompok ini sulit menegaskan maupun ditegaskan identitasnya di Indonesia. Apalagi selama pemerintahan Belanda mereka diposisikan lebih tinggi dari pribumi. Alhasil pada iklim revolusioner di berbagai tempat berlangsung penjarahan bahkan pembunuhan terhadap kelompok ini. 
 

(Sumber gambar: Hypeabis/Dika Irawan)

(Sumber gambar: Hypeabis/Dika Irawan)


Hal itu terlihat  pada sampul komik berwarna dengan judul Wiro Melawan Tentara Jepang. Sang komikus menggambarkan seorang tarzan sedang menyergap tentara Jepang, dengan sebilah pisau yang siap menggorok lehernya.

"Namun politik identitas yang terbaca dalam komik Tarzan Indonesia ini menunjukan betapa orientasi sudah berubah. Meski dikatakan anti-Jepang, haluan ideologis dalam politik identitasnya jauh lebih kompleks," tulis Seno Gumira Ajidarma, pengamat komik dan penulis. 

Secara keseluruhan pameran menampilkan sebanyak 223 karya yang terdiri atas tujuh pamflet, 31 dokumen, 10 grafis, 14 komik, 19 sektsa dan lukisan, 11 filateli, dan 131 foto.

Kurator pameran 71th RI Bingkisan Revolusi Oscar Motuloh mengatakan karya-karya tersebut diambil dari sumber utamanya langsung karena  foto-foto sejarah Indonesia di buku-buku terbitan lokal umumnya reproduksi berulan-ulang sehingga hasilnya buruk. 

Terlebih sebagian foto-foto yang merekam peristiwa penting selama kemerdekaan belum pernah dipublikasikan di Tanah Air. Oleh sebab itu, pihaknya langsung ke sumber primer agar masyarakat dapat melihat karya asli dengan kualitas maksimal. 

"Sejarah ini tidak turun dari langit, tapi dibangun dari perspektif pemuda pada zamannya. Mereka merintis kemerdekaan dan kita mendapatkan warisan terpenting dari kemerdekaan itu," ujarnya.
 

Keaslian Karya

Lantaran menjaga keaslian karya selain mencari ke sumber primer, Oscar mengatakan karya-karya yang terjasi di pameran ini tidak di reproduksi ulang melainkan di-scan. Kelebihan scan detail-detail sebuah karya foto maupun dokumen dapat terlihat. 

Adapun dalam proses penyeleksian, karya-karya yang dipamerkan mesti menampilkan peristiwa-peristiwa yang menjadi catatan atau tonggak sejarah. Jika sekadar peristiwa tidak mengandung nilai sejarah, maka karya-karya tersebut akan tereleminasi. 

"Ini semua foto sejarah kalau tidak dirawat akan hilang dan sejarah tanpa bukti visual itu nol," ujar Oscar yang juga Kepala Divisi Museum dan GFJA.

Karya-karya dalam pameranini berasal dari Indonesia Press Photo Service yang hak siarnya sudah didapat Antara, Bronbeek Colonial Museum, Arsip Nasional Republik Indonesia, dan Yayasan Bung Karno.

Catatan Redaksi: Tulisan ini pernah dimuat di Bisnis Indonesia Weekend edisi Agustus 2016


Editor: Gita Carla

SEBELUMNYA

Microsoft Bakal Hentikan Dukungan Terhadap Windows 8.1 Awal Tahun Depan 

BERIKUTNYA

Win Metawin Positif Covid-19, Seluruh Jadwal & Aktivitas Dibatalkan

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: