Memilih Persalinan Normal atau Caesar? Ini Penjelasan dari Ahlinya
13 June 2022 |
15:18 WIB
Bagi beberapa perempuan hamil, opsi melahirkan secara caesar menjadi pertimbangan bahkan keinginan terkadang utama. Kendati tidak memiliki masalah dalam hal kandungan, operasi caesar tetap diminati untuk menentukan sendiri waktu kehamilan atau demi menghindari rasa sakit saat kontraksi.
Teknik melahirkan secara caesar memang sudah sangat populer di kalangan masyarakat. Namun demikian, banyak pandangan salah yang beredar di masyarakat tentang operasi caesar ini.
Baca juga: Perempuan Bisa Alami Kenaikan Berat Badan setelah Hamil, Kenapa Ya?
Menurut Batara, hal tersebut hanyalah mitos yang melingkupi operasi caesar. Memang, dalam sejumlah penelitian, muncul fakta peningkatan risiko kelahiran normal setelah menjalani caesar atau vaginal birth after C-section (VBAC).
Batara menjelaskan, salah satu risiko VBAC adalah pecahnya rahim sehingga memicu tensi darah rendah. Akibat terburuknya, bayi akan meninggal di dalam kandungan.
Ironisnya, kasus ini cukup tinggi terjadi. Sebuah studi di Australia pada 2012 menunjukkan, kasus pecah rahim terjadi dengan skala 1:500 dari 1.225 responden yang menjalani VBAC. Kendati demikian, bukan berarti seorang ibu harus menghindari kelahiran normal setelah melakukan operasi caesar.
Melahirkan dengan operasi caesar berarti mengeluarkan bayi melalui sayatan dari perut sang ibu. Tanpa membutuhkan waktu lama dan tidak merasakan sakit, Anda bisa mendengar suara tangisan bayi yang keluar dari rahim Anda.
Namun demikian, opsi operasi caesar sebaiknya ditempuh apabila terjadi beberapa kondisi yang memang mengharuskan sang bayi dilahirkan melalui operasi caesar, seperti ukuran bayi terlalu besar, sedangkan panggul sang ibu kecil; plasenta menghalangi leher rahim.
Posisi kepala janin tidak berada di bawah atau sungsang, bayi menderita kelainan. Misalnya spina bifida, atau sang ibu memiliki penyakit jantung atau kondisi medis lain yang berisiko memburuk akibat tekanan saat melahirkan normal.
Proses pemulihan yang cepat setelah melahirkan juga akan membantu membentuk ikatan yang kuat antara anak dan ibu. Pasalnya, ibu bisa langsung memegang anaknya sehingga meningkatkan hubungan emosional dengan si buah hati.
Baca juga: Ladies, Waspadai Faktor Kehamilan Berisiko Tinggi
Persalinan secara normal juga meminimalisir risiko pascaoperasi seperti keloid. Kendati demikian, persalinan normal bukan tanpa risiko. Selain harus merasakan sakitnya kontraksi, persalinan normal juga menyimpan bahaya tersendiri, mulai dari vagina yang robek sampai rasa nyeri saat menjalani hubungan seksual dengan pasangan. Risiko ini terutama bisa terjadi jika bayi memiliki bobot massa hingga 4 kilogram.
Editor: Dika Irawan
Teknik melahirkan secara caesar memang sudah sangat populer di kalangan masyarakat. Namun demikian, banyak pandangan salah yang beredar di masyarakat tentang operasi caesar ini.
Mitos Persalinan Caesar
Mengutip Bisnis Indonesia Weekend edisi 25 September 2015, Batara Sirait, Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi dari MRCCC Siloam, mengatakan salah satu mitos yang muncul terkait melahirkan dengan jalan operasi ini adalah sekali seorang ibu melahirkan secara caesar, maka untuk kehamilan selanjutnya tidak bisa lagi melahirkan secara normal. “Itu tidak benar,” ujarnya.Baca juga: Perempuan Bisa Alami Kenaikan Berat Badan setelah Hamil, Kenapa Ya?
Menurut Batara, hal tersebut hanyalah mitos yang melingkupi operasi caesar. Memang, dalam sejumlah penelitian, muncul fakta peningkatan risiko kelahiran normal setelah menjalani caesar atau vaginal birth after C-section (VBAC).
Batara menjelaskan, salah satu risiko VBAC adalah pecahnya rahim sehingga memicu tensi darah rendah. Akibat terburuknya, bayi akan meninggal di dalam kandungan.
Ironisnya, kasus ini cukup tinggi terjadi. Sebuah studi di Australia pada 2012 menunjukkan, kasus pecah rahim terjadi dengan skala 1:500 dari 1.225 responden yang menjalani VBAC. Kendati demikian, bukan berarti seorang ibu harus menghindari kelahiran normal setelah melakukan operasi caesar.
Tak ada yang mesti dikhawatirkan
Batara menjelaskan, jika kandungan dalam kondisi baik dan sehat tentu tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pada proses melahirkan melalui operasi caesar, dokter akan melakukan pembiusan (anestesi) epidural sebelum pembedahan sehingga daerah perut menjadi mati rasa mulai dari panggul ke bawah dan pasien tidak merasakan sakit ketika dokter melakukan proses penyayatan di perut bagian bawah.Melahirkan dengan operasi caesar berarti mengeluarkan bayi melalui sayatan dari perut sang ibu. Tanpa membutuhkan waktu lama dan tidak merasakan sakit, Anda bisa mendengar suara tangisan bayi yang keluar dari rahim Anda.
Namun demikian, opsi operasi caesar sebaiknya ditempuh apabila terjadi beberapa kondisi yang memang mengharuskan sang bayi dilahirkan melalui operasi caesar, seperti ukuran bayi terlalu besar, sedangkan panggul sang ibu kecil; plasenta menghalangi leher rahim.
Posisi kepala janin tidak berada di bawah atau sungsang, bayi menderita kelainan. Misalnya spina bifida, atau sang ibu memiliki penyakit jantung atau kondisi medis lain yang berisiko memburuk akibat tekanan saat melahirkan normal.
Kelahiran normal
Kendati operasi caesar kini semakin populer dipilih ketika melahirkan, proses persalinan normal tetap menjadi keinginan banyak perempuan hamil. Batara juga menegaskan proses persalinan secara normal sejatinya lebih baik ketimbang caesar. “Dengan persalianan normal ibu bisa langsung pulih dan menyusui,” ujarnya.Proses pemulihan yang cepat setelah melahirkan juga akan membantu membentuk ikatan yang kuat antara anak dan ibu. Pasalnya, ibu bisa langsung memegang anaknya sehingga meningkatkan hubungan emosional dengan si buah hati.
Baca juga: Ladies, Waspadai Faktor Kehamilan Berisiko Tinggi
Persalinan secara normal juga meminimalisir risiko pascaoperasi seperti keloid. Kendati demikian, persalinan normal bukan tanpa risiko. Selain harus merasakan sakitnya kontraksi, persalinan normal juga menyimpan bahaya tersendiri, mulai dari vagina yang robek sampai rasa nyeri saat menjalani hubungan seksual dengan pasangan. Risiko ini terutama bisa terjadi jika bayi memiliki bobot massa hingga 4 kilogram.
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.