Waspada, Stres Akibat Covid-19 Bisa Ganggu Kesuburan Wanita
13 June 2022 |
08:30 WIB
Gangguan kesuburan menjadi masalah yang harus diwaspadai wanita. Ada banyak faktor penyebabnya, yang terbaru karena stres akibat pandemi Covid-19. Hal itu diungkap dalam presentasi penelitian pada pertemuan Endocrine Society (ENDO 2022) di Atlanta, Amerika Serikat, Minggu (12/6/2022), waktu setempat.
Profesor Endokrinologi di Universitas British Columbia Jerilynn C. Prior yang melakukan penelitian ini mengatakan stres akibat Covid-19 menyebabkan ovulasi terganggu dengan penurunan durasi atau tingkat progesteron. Ovulasi adalah proses pelepasan telur yang telah matang dari dalam rahim, kemudian berjalan menuju tuba falopi untuk dibuahi.
"Gangguan silent ovulatory ini kemungkinan menjelaskan mengapa begitu banyak wanita yang tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, dilaporkan mengalami menstruasi lebih awal atau tidak terduga pada hari-hari setelah vaksinasi Covid-19," kata Prior.
(Baca juga: Studi Ini Sebut Ada 4 Perubahan Cara Hidup Manusia Akibat Pandemi)
Prior dan rekannya membandingkan dua studi independen yang dirancang serupa dengan jarak 13 tahun, yakni Studi Ovulasi Menstruasi (MOS). Studi ini dilakukan pada 301 wanita dari 2006-2008. Sementara MOS2 112 melibatkan wanita selama pandemi.
Kedua penelitian tersebut melibatkan wanita yang masih mengalami menstruasi pada rentang usia 19-35 tahun dengan kondisi relawan tidak menggunakan kontrasepsi hormonal sistemik atau kombinasi.
MOS pertama digunakan sebagai kontrol untuk membandingkan pengalaman kohort MOS2 selama pandemi. Semua peserta dalam kedua studi menjawab kuesioner kesehatan, reproduksi, dan gaya hidup yang komprehensif. Mereka juga diminta untuk membuat catatan harian tentang siklus menstruasi dan pengalaman hidup.
Untuk MOS2, ovulasi didokumentasikan menggunakan suhu basal kuantitatif yang divalidasi. Peneliti akan mengkonfirmasi karakteristik hormonal MOS2 menggunakan kadar progesteron saliva. Untuk kohort MOS, para peneliti menilai ovulasi dengan mengukur kadar progesteron urin.
Hampir dua dari tiga wanita yang terlibat dalam penelitian selama pandemi Covid-19 tidak berovulasi secara normal. Para wanita mengalami fase luteal pendek, di mana sel telur dilepaskan tanpa cukup waktu dari ovulasi untuk terjadinya kehamilan, atau anovulasi yang berarti tidak ada sel telur yang dilepaskan sama sekali.
Sebagai perbandingan, studi MOS menemukan hanya 10 persen wanita yang mengalami gangguan ovulasi. Prior menerangkan studi MOS2 dan MOS menunjukkan berat badan yang sama, nilai indeks massa tubuh, serta siklus menstruasi dan panjang aliran. Dengan demikian, para wanita di MOS2 tidak mengalami tanda-tanda gangguan reproduksi yang jelas.
Lebih lanjut dia menyampaikan analisis buku harian siklus menstruasi untuk MOS2 menunjukkan peningkatan signifikan kecemasan, depresi, frustrasi, tekanan luar yang dirasakan, masalah tidur, dan sakit kepala dibandingkan dengan MOS.
"Dengan membandingkan kedua penelitian, dan terutama buku harian mereka, kami dapat menyimpulkan bahwa gangguan kehidupan pandemi SARS-CoV-2 menyebabkan gangguan ovulasi diam-diam dalam sebagian besar siklus menstruasi yang teratur," jelas Prior.
Editor: Nirmala Aninda
Profesor Endokrinologi di Universitas British Columbia Jerilynn C. Prior yang melakukan penelitian ini mengatakan stres akibat Covid-19 menyebabkan ovulasi terganggu dengan penurunan durasi atau tingkat progesteron. Ovulasi adalah proses pelepasan telur yang telah matang dari dalam rahim, kemudian berjalan menuju tuba falopi untuk dibuahi.
"Gangguan silent ovulatory ini kemungkinan menjelaskan mengapa begitu banyak wanita yang tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, dilaporkan mengalami menstruasi lebih awal atau tidak terduga pada hari-hari setelah vaksinasi Covid-19," kata Prior.
(Baca juga: Studi Ini Sebut Ada 4 Perubahan Cara Hidup Manusia Akibat Pandemi)
Prior dan rekannya membandingkan dua studi independen yang dirancang serupa dengan jarak 13 tahun, yakni Studi Ovulasi Menstruasi (MOS). Studi ini dilakukan pada 301 wanita dari 2006-2008. Sementara MOS2 112 melibatkan wanita selama pandemi.
Kedua penelitian tersebut melibatkan wanita yang masih mengalami menstruasi pada rentang usia 19-35 tahun dengan kondisi relawan tidak menggunakan kontrasepsi hormonal sistemik atau kombinasi.
MOS pertama digunakan sebagai kontrol untuk membandingkan pengalaman kohort MOS2 selama pandemi. Semua peserta dalam kedua studi menjawab kuesioner kesehatan, reproduksi, dan gaya hidup yang komprehensif. Mereka juga diminta untuk membuat catatan harian tentang siklus menstruasi dan pengalaman hidup.
Untuk MOS2, ovulasi didokumentasikan menggunakan suhu basal kuantitatif yang divalidasi. Peneliti akan mengkonfirmasi karakteristik hormonal MOS2 menggunakan kadar progesteron saliva. Untuk kohort MOS, para peneliti menilai ovulasi dengan mengukur kadar progesteron urin.
Hampir dua dari tiga wanita yang terlibat dalam penelitian selama pandemi Covid-19 tidak berovulasi secara normal. Para wanita mengalami fase luteal pendek, di mana sel telur dilepaskan tanpa cukup waktu dari ovulasi untuk terjadinya kehamilan, atau anovulasi yang berarti tidak ada sel telur yang dilepaskan sama sekali.
Sebagai perbandingan, studi MOS menemukan hanya 10 persen wanita yang mengalami gangguan ovulasi. Prior menerangkan studi MOS2 dan MOS menunjukkan berat badan yang sama, nilai indeks massa tubuh, serta siklus menstruasi dan panjang aliran. Dengan demikian, para wanita di MOS2 tidak mengalami tanda-tanda gangguan reproduksi yang jelas.
Lebih lanjut dia menyampaikan analisis buku harian siklus menstruasi untuk MOS2 menunjukkan peningkatan signifikan kecemasan, depresi, frustrasi, tekanan luar yang dirasakan, masalah tidur, dan sakit kepala dibandingkan dengan MOS.
"Dengan membandingkan kedua penelitian, dan terutama buku harian mereka, kami dapat menyimpulkan bahwa gangguan kehidupan pandemi SARS-CoV-2 menyebabkan gangguan ovulasi diam-diam dalam sebagian besar siklus menstruasi yang teratur," jelas Prior.
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.