Tamasya Seni lewat Karya S. Sudjojono, Ada Lukisan Seharga Rp109 Miliar Lho!
24 May 2022 |
17:32 WIB
Berbicara karya seni lukis dari maestro legendaris (old master) Indonesia tentu salah satu tokohnya adalah S. Sudjojono. Karya-karyanya banyak mendapatkan apresiasi luar biasa di sejumlah balai lelang internasional seperti Sotheby’s, bahkan menjadi buruan para kolektor.
Dilansir dari S. Sudjojono Center, pria kelahiran Kisaran, Sumatra Utara pada 1913 silam tersebut terkenal sebagai salah satu tokoh utama dalam sejarah seni lukis di Indonesia. Banyak orang menjulukinya sebagai Bapak Seni Lukis Modern Indonesia.
Suami dari penyanyi Mezzo Soprano Indonesia, yakni Rose Pandanwangi ini, sering mengilustrasikan kehidupan dan dinamika masyarakat sehari-hari, sesuai dengan realita pembangunan Indonesia pada masanya yang tertuang utuh dalam karya-karyanya.
Sang pelukis juga merupakan salah seorang pendiri Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi), Artis Muda Indonesia, mentor seni di Poetra – Departemen Kebudayaan, dan Keimin Bunka Shidosho.
Baca juga: Memasuki High Level (1970) Karya S. Sudjojono dalam Pameran Pose
Sudjojono adalah seorang seniman, pemikir, pendidik, dan juga penulis yang produktif dalam membuat karya seni mulai dari lukisan, sketsa, gambar, seni publik, seni pahat, relief, seni keramik, dan mebel.
Karya-karya lukisan yang dibuat oleh sang seniman itupun menjadi buruan bagi banyak kolektor. Tidak jarang mereka rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk mendapatkan karya dari sang maestro di balai lelang.
Dalam laman balai lelang yang dilihat Hypeabis.id, sejumlah lukisan karya S. Sudjojono berhasil terjual dengan harga yang sangat tinggi, yakni mencapai ratusan miliar rupiah.
Lukisan berjudul Pasukan Kita Yang Dipimpin Diponegoro (Our Soldier Led Under Prince Diponegoro) salah satunya. Lukisan dengan medium minyak di atas kanvas tersebut telah terjual sebesar HK$58,36 juta atau sekitar Rp109 miliar pada 5 April 2014.
Masih berdasarkan laman Sotheby’s, karya seni tersebut merayakan kemenangan Pangeran Diponegoro dan pasukan militernya melawan tentara Belada selama Perang Jawa yang berlangsung dalam 5 tahun pada 1825-1830.
Lukisan yang dibuat oleh sang seniman pada 1979 tersebut adalah ajakan bagi masyarakat Indonesia untuk mengenang pahlawan yang telah gugur. Saat itu, Indonesia yang diketahui oleh sang seniman sedang mengalami keruntuhan identitas karena terjebak dalam pertarungan antara pengaruh asing dan cita-cita revolusioner.
Lukisan tersebut, dalam laman Sotheby’s tertulis, berubah menjadi sebuah kritik sosial tentang kekuatan iman manusia di tengah tirani politik dan emosional dengan memberikan gambaran kesejajaran antara penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia.
Karya Pasukan Kita Yang Dipimpin Pangeran Diponegoro mengungkapkan kebanggaan dan komitmen seniman terhadap tanah airnya. Di dalam komposisi lukisan ini, sang seniman juga menerapkan rule of thirds, sama dengan karya lainnya seperti Pertempuran Sultan Agung dan Jan Pieterzoon Coen.
Rule of thrids adalah sebuah istilah yang mengacu pada tata letak komposisi sebuah karya seni. Penggunaan teknik ini memiliki fungsi untuk membuat intensif drama pertempuran. Lukisan sang seniman dibaca sebagai cerita visual bahwa sejarah dimainkan di atas kanvas.
Tidak hanya itu, karya sang seniman ini juga menunjukkan pemahamannya tentang mengambil peristiwa sejarah dalam kerangka artistik, sehingga menemukan hubungan antara masa lalu dan masa kini untuk mengkritik masyarakat modern.
Pasukan Kita Yang Dipimpin Pangeran Diponegoro (Prajurit Kita Yang Dipimpin Di Bawah Pangeran Diponegoro) adalah sebuah perumpamaan yang mencolok dari filosofi dan perjalanan hidup S. Sudjojono dan Pangeran Diponegoro.
Baca juga: Buku Sultan Agung dalam Goresan S. Sudjojono Sajikan Sejarah dengan Cara Asyik
Masih dalam laman Sotheby’s, pada awal abad ke-17, Batavia merupakan kerajaan perdagangan bagi Belanda di Indonesia. Mereka telah memonopoli perdagangan rempah-rempah Indonesia, kopi dan gula yang ditanam di dalam negeri memiliki tujuan untuk diekspor saat panen.
Transaksi komersial dalam perdagangan tersebut digantikan oleh administrasi kolonial, dan membuat kehidupan orang-orang Indonesia menjadi lebih sulit. Orang Indonesia ingin menciptakan kembali kejayaan di dalam negeri dengan terinspirasi oleh Kekaisaran Ottoman (Utsmaniyah) dan dipengaruhi oleh ajaran Islam.
Kondisi tersebut menjadi awal perjuangan melawan Belanda yang dikenal sebagai Perang Jawa, dari 1825 sampai dengan 1830. Pangeran Diponegoro adalah tokoh utama dalam peperangan tersebut.
Kemenangan dan perjuangan sang pangeran untuk keadilan sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat juga menjadikan sosok Pangeran Diponegoro sebagai panutan bagi generasi Bangsa.
Editor: Fajar Sidik
Dilansir dari S. Sudjojono Center, pria kelahiran Kisaran, Sumatra Utara pada 1913 silam tersebut terkenal sebagai salah satu tokoh utama dalam sejarah seni lukis di Indonesia. Banyak orang menjulukinya sebagai Bapak Seni Lukis Modern Indonesia.
Suami dari penyanyi Mezzo Soprano Indonesia, yakni Rose Pandanwangi ini, sering mengilustrasikan kehidupan dan dinamika masyarakat sehari-hari, sesuai dengan realita pembangunan Indonesia pada masanya yang tertuang utuh dalam karya-karyanya.
Sang pelukis juga merupakan salah seorang pendiri Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi), Artis Muda Indonesia, mentor seni di Poetra – Departemen Kebudayaan, dan Keimin Bunka Shidosho.
Baca juga: Memasuki High Level (1970) Karya S. Sudjojono dalam Pameran Pose
Sudjojono adalah seorang seniman, pemikir, pendidik, dan juga penulis yang produktif dalam membuat karya seni mulai dari lukisan, sketsa, gambar, seni publik, seni pahat, relief, seni keramik, dan mebel.
Karya-karya lukisan yang dibuat oleh sang seniman itupun menjadi buruan bagi banyak kolektor. Tidak jarang mereka rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk mendapatkan karya dari sang maestro di balai lelang.
Dalam laman balai lelang yang dilihat Hypeabis.id, sejumlah lukisan karya S. Sudjojono berhasil terjual dengan harga yang sangat tinggi, yakni mencapai ratusan miliar rupiah.
Lukisan berjudul Pasukan Kita Yang Dipimpin Diponegoro (Our Soldier Led Under Prince Diponegoro) salah satunya. Lukisan dengan medium minyak di atas kanvas tersebut telah terjual sebesar HK$58,36 juta atau sekitar Rp109 miliar pada 5 April 2014.
Masih berdasarkan laman Sotheby’s, karya seni tersebut merayakan kemenangan Pangeran Diponegoro dan pasukan militernya melawan tentara Belada selama Perang Jawa yang berlangsung dalam 5 tahun pada 1825-1830.
Lukisan yang dibuat oleh sang seniman pada 1979 tersebut adalah ajakan bagi masyarakat Indonesia untuk mengenang pahlawan yang telah gugur. Saat itu, Indonesia yang diketahui oleh sang seniman sedang mengalami keruntuhan identitas karena terjebak dalam pertarungan antara pengaruh asing dan cita-cita revolusioner.
Lukisan tersebut, dalam laman Sotheby’s tertulis, berubah menjadi sebuah kritik sosial tentang kekuatan iman manusia di tengah tirani politik dan emosional dengan memberikan gambaran kesejajaran antara penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia.
Karya Pasukan Kita Yang Dipimpin Pangeran Diponegoro mengungkapkan kebanggaan dan komitmen seniman terhadap tanah airnya. Di dalam komposisi lukisan ini, sang seniman juga menerapkan rule of thirds, sama dengan karya lainnya seperti Pertempuran Sultan Agung dan Jan Pieterzoon Coen.
Rule of thrids adalah sebuah istilah yang mengacu pada tata letak komposisi sebuah karya seni. Penggunaan teknik ini memiliki fungsi untuk membuat intensif drama pertempuran. Lukisan sang seniman dibaca sebagai cerita visual bahwa sejarah dimainkan di atas kanvas.
Tidak hanya itu, karya sang seniman ini juga menunjukkan pemahamannya tentang mengambil peristiwa sejarah dalam kerangka artistik, sehingga menemukan hubungan antara masa lalu dan masa kini untuk mengkritik masyarakat modern.
Pasukan Kita Yang Dipimpin Pangeran Diponegoro (Prajurit Kita Yang Dipimpin Di Bawah Pangeran Diponegoro) adalah sebuah perumpamaan yang mencolok dari filosofi dan perjalanan hidup S. Sudjojono dan Pangeran Diponegoro.
Baca juga: Buku Sultan Agung dalam Goresan S. Sudjojono Sajikan Sejarah dengan Cara Asyik
Masih dalam laman Sotheby’s, pada awal abad ke-17, Batavia merupakan kerajaan perdagangan bagi Belanda di Indonesia. Mereka telah memonopoli perdagangan rempah-rempah Indonesia, kopi dan gula yang ditanam di dalam negeri memiliki tujuan untuk diekspor saat panen.
Transaksi komersial dalam perdagangan tersebut digantikan oleh administrasi kolonial, dan membuat kehidupan orang-orang Indonesia menjadi lebih sulit. Orang Indonesia ingin menciptakan kembali kejayaan di dalam negeri dengan terinspirasi oleh Kekaisaran Ottoman (Utsmaniyah) dan dipengaruhi oleh ajaran Islam.
Kondisi tersebut menjadi awal perjuangan melawan Belanda yang dikenal sebagai Perang Jawa, dari 1825 sampai dengan 1830. Pangeran Diponegoro adalah tokoh utama dalam peperangan tersebut.
Kemenangan dan perjuangan sang pangeran untuk keadilan sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat juga menjadikan sosok Pangeran Diponegoro sebagai panutan bagi generasi Bangsa.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.