Ekspresi Cinta Tanah Air dalam Maha Karya Lukisan Sudjojono
18 August 2021 |
07:07 WIB
Sebuah lukisan bersejarah dengan judul Aku Cinta Padamu Tanah Airku (cat minyak pada kanvas, 202 x 301 cm, 1966) menarik perhatian banyak penikmat seni lukis pada saat dihadirkan dalam Pameran Seni Rupa Koleksi Nasional #2 bertajuk Lini Transisi yang digelar pada 2-31 Agustus 2019 silam.
Sebelum itu, lukisan karya S. Sudjojono itu disimpan di Gedung Pancasila yang sangat tertutup. Ibarat menemukan harta karun, para kurator pameran senang bukan kepalang. Lukisan yang baru ditemukan wujud aslinya ini akhirnya dapat dinikmati pencinta seni setelah bertahun-tahun tak kelihatan.
Meski belum ada riset yang sah, namun lukisan ini diduga dibuat atas permintaan Adam Malik sebagai koleksi pribadi. Ketika Adam Malik menjadi menteri luar negeri, lukisan itu kemudian diserahkan ke Kementerian Luar Negeri RI. Aku Cinta Padamu Tanah Airku dibuat pada 1950-an, dengan latar Gunung Kidul, Yogyakarta.
Dalam lukisan, ada dua sosok anak yang sedang memandang ke hamparan alam yang luas. Jika diperhatikan dengan saksama, kedua anak itu memiliki ekspresi yang menimbulkan pertanyaan di dalam benak.
Pertanyaan tentang apa yang sedang dilakukan anak-anak itu, situasi apa yang sebenarnya mereka alami, dan perasaan apa yang sedang diwakilinya. Para kurator menduga bahwa kedua anak yang digambarkan Sudjojono dalam lukisan itu tengah mengekspresikan perasaan yang kalut, bingung, tidak stabil, dan tidak pasti setelah kemerdekaan.
Kekuatan ekpresi seperti inilah yang menjadi salah satu kekhasan Sudjojono. Dia berhasil mengantarkan penjiwaan yang tepat dalam karya-karyanya. Selama perjalanan hidupnya –bahkan hingga kini-, nama Sudjojono dikenang sebagai pelukis legendaris.
Dia menjadi salah satu tokoh pemegang kunci perjalanan seni rupa modern di Tanah Air. Pria kelahiran Kisaran ini memang seniman yang unik, kritis, dan mumpuni. Bakatnya ibarat hadiah spesial yang menggariskan perjalanan hidup dan perjalanan keseniannya.
Sudjojono merupakan pemikir dan pelukis yang kritis. Pernah, dia menentang gaya melukis mooi-indie yakni genre lukisan pemandangan bercirikan keindahan gunung, jalan, dan pohon.
Sebetulnya Sudjojono bukannya anti lukisan pemandangan yang indah. Buktinya selama perjalanan kariernya dia juga melukis banyak lukisan pemandangan. Penentangan gaya mooi-indie ternyata berdasar pada keprihatinan akan keadaan masyarakat yang tak seindah apa yang digambarkan di kanvas.
IDE KRITIS
Kurator Galeri Nasional Indonesia Suwarno Wisetrotomo menilai Sudjojono sebagai sosok seniman yang sangat luar biasa. “Dia memiliki basis realisme yang sangat kuat, juga dengan ide-ide yang sangat kritis,” ujarnya. Menurutnya sosok Sudjojono selalu memiliki argumentasi yang jujur dan berani untuk setiap karya yang dilukisnya. Tidak hanya itu, lukisan yang dihasilkannya juga sangat berkualitas, halus, dan cermat. Sudjojono betul-betul menjiwai hasil karyanya.
“Sudjojono itu seniman, pemikir seni, dan pelukis yang hebat, karya-karyanya kritis dan monumental,” ujar Suwarno.
Katakanlah salah satu karyanya bertajuk Ada Orkes (cat minyak pada kanvas, 80,5x120 cm, 1970), dibuat oleh Sudjojono untuk menggambarkan kehadiran orang kaya baru (OKB) di awal orde baru. Dia mengkritisi OKB yang mulai berjarak pada masyarakat secara jujur sesuai dengan realitas yang terjadi.
Masih dalam nuansa satiristik yang sinis, Sudjojono melukis Angsa (80 x 100 cm, cat minyak pada kanvas, 1967). Banyak yang mendeskripsikan lukisan tersebut menggambarkan bebek, tetapi Sudjojono secara halus memilih judul Angsa. Karya ini merupakan kritik Sudjojono terhadap rezim orde baru di mana saat itu banyak orang “membebek” atau mengikut arus.
Sudjojono merupakan seniman yang konsisten dengan tema-tema satir. Dia juga banyak melahirkan tulisan-tulisan kritis. Kiprahnya selama hidup membawa pemaknaan baru bagi dunia seni lukis Indonesia.
Kurator Galeri Nasional Indonesia Rizky A. Zaelani menilai Sudjojono sebagai seniman yang menentukan zaman. “Contohnya saja pada tahun 70-an, Sudjojono banyak ‘marah-marah’ dengan melukis hal-hal sini dan menyindir,” ujarnya.
Bagi Rizky, Sudjojono merupakan seniman yang membela sikap “kesenimanan”. Sudjojono memandang seni sebagai sebuah jiwa yang nyata dan tampak. Inilah yang membuktikan kejeniusan Sudjojono sebagai seniman, dia tidak ditundukkan dan dikendalikan oleh orang lain.
Ketegasan dan idealisme menjadi nilai yang dianut oleh Sudjojono. Dalam esai bertajuk Seni Lukis Indonesia Sekarang dan yang Akan Datang, Sudjojono mengungkap pengertiannya soal idealisme dalam berkesenian.
Baginya, seni lukis tidak harus lahir dari kebuthan orang yang berada di luar lingkungan pelukis. Pun, seni lukis tidak boleh mendengar atau menurut pada satu kelompok atau menjadi budak partai. Kemerdekaan dalam kesenian adalah urat nadi seni lukis dalam pandangan Sudjojono. Sungguh seniman yang jenius! (Sumber: Bisnis Weekend Agustus 2019).
Editor: Fajar Sidik
Sebelum itu, lukisan karya S. Sudjojono itu disimpan di Gedung Pancasila yang sangat tertutup. Ibarat menemukan harta karun, para kurator pameran senang bukan kepalang. Lukisan yang baru ditemukan wujud aslinya ini akhirnya dapat dinikmati pencinta seni setelah bertahun-tahun tak kelihatan.
Meski belum ada riset yang sah, namun lukisan ini diduga dibuat atas permintaan Adam Malik sebagai koleksi pribadi. Ketika Adam Malik menjadi menteri luar negeri, lukisan itu kemudian diserahkan ke Kementerian Luar Negeri RI. Aku Cinta Padamu Tanah Airku dibuat pada 1950-an, dengan latar Gunung Kidul, Yogyakarta.
Dalam lukisan, ada dua sosok anak yang sedang memandang ke hamparan alam yang luas. Jika diperhatikan dengan saksama, kedua anak itu memiliki ekspresi yang menimbulkan pertanyaan di dalam benak.
Pertanyaan tentang apa yang sedang dilakukan anak-anak itu, situasi apa yang sebenarnya mereka alami, dan perasaan apa yang sedang diwakilinya. Para kurator menduga bahwa kedua anak yang digambarkan Sudjojono dalam lukisan itu tengah mengekspresikan perasaan yang kalut, bingung, tidak stabil, dan tidak pasti setelah kemerdekaan.
Kekuatan ekpresi seperti inilah yang menjadi salah satu kekhasan Sudjojono. Dia berhasil mengantarkan penjiwaan yang tepat dalam karya-karyanya. Selama perjalanan hidupnya –bahkan hingga kini-, nama Sudjojono dikenang sebagai pelukis legendaris.
Dia menjadi salah satu tokoh pemegang kunci perjalanan seni rupa modern di Tanah Air. Pria kelahiran Kisaran ini memang seniman yang unik, kritis, dan mumpuni. Bakatnya ibarat hadiah spesial yang menggariskan perjalanan hidup dan perjalanan keseniannya.
Sudjojono merupakan pemikir dan pelukis yang kritis. Pernah, dia menentang gaya melukis mooi-indie yakni genre lukisan pemandangan bercirikan keindahan gunung, jalan, dan pohon.
Sebetulnya Sudjojono bukannya anti lukisan pemandangan yang indah. Buktinya selama perjalanan kariernya dia juga melukis banyak lukisan pemandangan. Penentangan gaya mooi-indie ternyata berdasar pada keprihatinan akan keadaan masyarakat yang tak seindah apa yang digambarkan di kanvas.
IDE KRITIS
Kurator Galeri Nasional Indonesia Suwarno Wisetrotomo menilai Sudjojono sebagai sosok seniman yang sangat luar biasa. “Dia memiliki basis realisme yang sangat kuat, juga dengan ide-ide yang sangat kritis,” ujarnya. Menurutnya sosok Sudjojono selalu memiliki argumentasi yang jujur dan berani untuk setiap karya yang dilukisnya. Tidak hanya itu, lukisan yang dihasilkannya juga sangat berkualitas, halus, dan cermat. Sudjojono betul-betul menjiwai hasil karyanya.
“Sudjojono itu seniman, pemikir seni, dan pelukis yang hebat, karya-karyanya kritis dan monumental,” ujar Suwarno.
Katakanlah salah satu karyanya bertajuk Ada Orkes (cat minyak pada kanvas, 80,5x120 cm, 1970), dibuat oleh Sudjojono untuk menggambarkan kehadiran orang kaya baru (OKB) di awal orde baru. Dia mengkritisi OKB yang mulai berjarak pada masyarakat secara jujur sesuai dengan realitas yang terjadi.
Masih dalam nuansa satiristik yang sinis, Sudjojono melukis Angsa (80 x 100 cm, cat minyak pada kanvas, 1967). Banyak yang mendeskripsikan lukisan tersebut menggambarkan bebek, tetapi Sudjojono secara halus memilih judul Angsa. Karya ini merupakan kritik Sudjojono terhadap rezim orde baru di mana saat itu banyak orang “membebek” atau mengikut arus.
Sudjojono merupakan seniman yang konsisten dengan tema-tema satir. Dia juga banyak melahirkan tulisan-tulisan kritis. Kiprahnya selama hidup membawa pemaknaan baru bagi dunia seni lukis Indonesia.
Kurator Galeri Nasional Indonesia Rizky A. Zaelani menilai Sudjojono sebagai seniman yang menentukan zaman. “Contohnya saja pada tahun 70-an, Sudjojono banyak ‘marah-marah’ dengan melukis hal-hal sini dan menyindir,” ujarnya.
Bagi Rizky, Sudjojono merupakan seniman yang membela sikap “kesenimanan”. Sudjojono memandang seni sebagai sebuah jiwa yang nyata dan tampak. Inilah yang membuktikan kejeniusan Sudjojono sebagai seniman, dia tidak ditundukkan dan dikendalikan oleh orang lain.
Ketegasan dan idealisme menjadi nilai yang dianut oleh Sudjojono. Dalam esai bertajuk Seni Lukis Indonesia Sekarang dan yang Akan Datang, Sudjojono mengungkap pengertiannya soal idealisme dalam berkesenian.
Baginya, seni lukis tidak harus lahir dari kebuthan orang yang berada di luar lingkungan pelukis. Pun, seni lukis tidak boleh mendengar atau menurut pada satu kelompok atau menjadi budak partai. Kemerdekaan dalam kesenian adalah urat nadi seni lukis dalam pandangan Sudjojono. Sungguh seniman yang jenius! (Sumber: Bisnis Weekend Agustus 2019).
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.