Gedung Tugu Kunstkring Paleis (Sumber gambar: Hypeabis/Dika Irawan)

Mengintip Isi Gedung Tugu Kunstkring Paleis Menteng, Tempat Prestisius Seniman pada Masa Lalu

23 May 2022   |   15:07 WIB
Image
Dika Irawan Asisten Konten Manajer Hypeabis.id

Ratusan tahun lalu orang-orang datang ke Gedung Kunstkring di Nieuw Gondangdia, Batavia untuk mengamati lukisan-lukisan karya maestro dunia. Sekarang orang-orang datang ke gedung yang sama di Kawasan Menteng, Jakarta, juga untuk mencicipi hidangan, sekaligus mengapresiasi karya seni. Kini, gedung itu bernama Tugu Kunstkring Paleis. 

Dulunya gedung ini dibangun oleh arsitek PAJ Moojen untuk mewadahi kegiatan kelompok seni pada saat itu Nederlandsch Indische Kunstkring. Selain arsitek Moojen juga adalah pendiri kelompok seni tersebut. 

Peletakan batu pertamanya diawali pada 1913. Kemudian pada 17 April 1914 gedung resmi dibuka oleh Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda Frederick Idenburg. 


Van Gogh dan Pablo Picasso


Pada masa kejayaannya, Kunstkring adalah tempat prestisius bagi para seniman. Tempat yang tidak terlewatkan dalam catatan sejarah seni rupa Indonesia. Sejumlah karya seniman besar dunia seperti Vincent van Gogh, Pablo Picasso, dan Paul Gaugin  pernah mampir di tempat ini. Satu-satunya seniman pribumi yang tembus berpameran di galeri tersebut adalah S. Sudjojono. 

Seiring perkembangan waktu, gedung ini sempat berubah fungsi seiring perpindahan kekuasaan dari Pemerintah Hindia Belanda ke Pemerintah Pendudukan Jepang hingga Pemerintah Republik Indonesia. 

Tercatat dalam sejarah pada kurun waktu 1942 – 1945, gedung ini pernah digunakan oleh kelompok Madjlis Islam Alaa Indonesia sebagai kantor pusat mereka. Selanjutnya pada 1950-1997, dimanfaatkan oleh Pemerintah sebagai kantor Imigrasi Jakarta Pusat.


Sempat terbengkalai dan hidup kembali


Setelah berpindah kepemilikan ke tangan swasta, gedung terbengkalai. Pada 2007, gedung  digunakan sebagai Budha Bar tetapi tak bertahan lama. 

Hingga akhirnya pada April 2013, gedung tua ini dihidupkan kembali dengan nama Tugu Kunstkring Paleis oleh Anhar Setjadibrata, pendiri Tugu Group. Dengan tuan barunya itu, Kunstkring dilahirkan kembali. Wajah tuanya diremajakan seperti sediakala. 

Tampilan eksterior gedung yang berlokasi di Jalan Teuku Umar, Godangdia, Menteng, Jakarta Pusat ini masih tetap terjaga. Kata-kata Immigrasie Nst-Djawa N Immigrasi yang menunjukan bahwa dahulu gedung ini adalah kantor imigrasi terpampang nyata di bagian fasad.  

Kehadiran dua menara, atap genting, dan bukaan-bukaan lebar mencirikan langgam arsitektur kolonial yang menggabungkan unsur neo klasik, art deco, dan tropis pada bangunan ini

Begitu masuk ke dalam gedung langsung disambut gebyok pintu berukiran Jawa dengan warna keemasan. Setelah melewati gebyok ini, pengunjung berada di ruang Pangeran Diponegoro. 

Kental sentuhan ornamen Keraton Jawa, di ruang ini, pengunjung disuguhkan lukisan kolosal tentang Pangeran Diponegoro bertajuk The Fall of Jawa berukuran 9 x 4 meter ini. 

Keberadaan lukisan ini seakan menjadi panggung pertunjukan yang mengisahkan heroisme Pangeran Diponegoro melawan penjajah.


Ruang Multatulli dan Rijsttafel

(Sumber gambar: Hypeabis/Dika Irawan

(Sumber gambar: Hypeabis/Dika Irawan


Di belakang lukisan raksasa ini rupanya terdapat dua ruang very important person (VIP), Multatulli Room dan Kolonial Rijsttafel Room. Kedua ruangan tersebut diperuntukan bagi tamu yang menginginkan eksklusivitas.  

Masuk ke ruang Kolonial Rijsttafel, tersedia satu meja bundar lengkap dengan delapan kursi kayu bergaya peranakan. Sementara di bagian dinding, terpasang lukisan klasik dan beberapa foto lawas. 

Nama Rijsttafel sendiri diambil dari Bahasa Belanda yang bermakna meja nasi. Istilah ini merujuk pada cara penyajian makanan ala kolonial yang berkembang kala itu. Makanan-makanan Nusantara disajikan berurutan di atas meja. Dimulai dari makanan pembuka, hingga makanan penutup. Pengunjung di ruang ini dapat merasakan pengalaman itu. 

Bersebelahan dengan Rijsttafel, terdapat ruang Multatulli. Pemilik Restoran mendedikasikan ruangan ini untuk Eduard Douwes Dekker yang terkenal dengan nama pena Multatulli, si penulis novel satir Max Havelar.

Di ruangan berkapasitas tempat duduk 12 orang ini, terpacak lukisan bergambar seorang sultan, raja, dan Multatuli sendiri di dinding. Namun unsur Nusantara begitu terasa dari perabotan ukiran seperti partisi dan tempat lilin berukiran Jawa. 
1
2


SEBELUMNYA

Kenali Tanda Orang Tua Mulai Overparenting

BERIKUTNYA

Mengenal Material Bata Merah, Hebel & Batako, Mana yang Lebih Tangguh

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: