Peneliti BRIN Ungkap Penyebab Suhu Panas di Sejumlah Wilayah Indonesia
14 May 2022 |
20:05 WIB
Cuaca panas melanda sejumlah daerah dalam beberapa pekan terakhir. Tidak sedikit masyarakat mengeluhkan suhu yang membuat keringat tumpah ruah hingga dehidrasi ini. Sekalipun hujan, air atau udaranya tetap saja membuat kita gerah. Bahkan kondisi tersebut terjadi di Bandung yang berada di dataran tinggi dengan ketinggian 786 meter dari atas permukaan laut.
Peneliti Klimatologi pada Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin menerangkan bahwa merujuk pada kondisi iklim di Bandung, ternyata memang terjadi kenaikan suhu rata-rata harian pada 1-14 Mei selama 3 tahun terakhir. Kenaikan suhu permukaan ini tidak lepas dari fenomena La Nina atau pendinginan suhu di Samudra Pasifik yang berdampak pada fenomena kemarau basah pada Mei.
Namun demikian, tendensi kenaikan suhu di kota-kota lain perlu diinvestigasi lebih lanjut untuk menarik kesimpulan apakah kenaikan suhu ini hanya terjadi di kota-kota tertentu saja atau merupakan suatu gejala umum
"Selain itu, diperlukan data dalam periode yang sangat panjang minimal 10 tahun jika kenaikan suhu hendak dikaitkan dengan fenomena perubahan iklim," ujarnya kepada Hypeabis.id, Sabtu (14/5/2022).
(Baca juga: Kota di Australia Capai Rekor Suhu Terpanas 50,7 Derajat Celcius)
Masih nerujuk kondisi di Kota Bandung tempat tinggalnya, Erma menerangkan kelembapan udara pada saat terjadi hujan justru mengalami penurunan. Berdasarkan teori, hujan bisa terjadi ketika kelembapan relatif udara mencapai atau mendekati 100 persen. Kelembapan relatif pada 2020, 2021, 2022 berturut-turut di Kota Bandung yakni 89 persen, 87 persen, dan 84 persen.
Hal ini katanya menunjukkan hujan yang terjadi merupakan jenis hujan hangat atau hujan panas (warm rain) yang tidak dibangkitkan oleh proses konveksi yang optimum.
"Hujan panas ini terbentuk karena terjadi peningkatan panas (laten dan sensible) yang salah satunya disebabkan oleh penghangatan suhu permukaan laut di perairan selatan Jawa," terang Erma.
Hujan panas dalam bahasa awam di tengah kalangan masyarakat Jawa dikenal dengan istilah “hujan selak”, hujan ringan terjadi meskipun tidak ada awan mendung atau udara tetap terasa panas selama hujan tersebut turun.
Hujan panas ini juga sering disebut dengan istilah cuaca gerimis berpetir. Hal ini merujuk pada kondisi bahwa meskipun hujan panas ini terjadi dalam intensitas ringan namun tetap dapat disertai dengan petir atau guntur.
Erma menyebut kondisi ini lazim terjadi karena awan mendung dihasilkan oleh awan cumulus tunggal yang bercampur dengan cumulus lainnya yang masih tumbuh dan berwarna putih terang. Loncatan dari awan cumulus mendung ke cumulus lain itu dapat terjadi karena ketidakseimbangan partikel-partikel yang menjadi muatan awan-awan tersebut.
"Kondisi cuaca akhir-akhir ini secara sederhana bisa juga kita sebut dengan istilah clear sky-calm-warm rain," tuturnya.
Adapun karakteristik cuaca tersebut yakni panas pada siang hari karena minim tutupan awan (clear sky), angin yang tenang (calm wind), namun hujan terjadi karena dibangkitkan oleh peningkatan panas dan suhu permukaan laut (warm rain).
"Selama tidak terjadi gangguan yang bersifat sinoptik atau skala luas, maka cuaca seperti ini dapat bertahan hingga beberapa hari mendatang," jelas Erma.
Editor: Fajar Sidik
Peneliti Klimatologi pada Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin menerangkan bahwa merujuk pada kondisi iklim di Bandung, ternyata memang terjadi kenaikan suhu rata-rata harian pada 1-14 Mei selama 3 tahun terakhir. Kenaikan suhu permukaan ini tidak lepas dari fenomena La Nina atau pendinginan suhu di Samudra Pasifik yang berdampak pada fenomena kemarau basah pada Mei.
Namun demikian, tendensi kenaikan suhu di kota-kota lain perlu diinvestigasi lebih lanjut untuk menarik kesimpulan apakah kenaikan suhu ini hanya terjadi di kota-kota tertentu saja atau merupakan suatu gejala umum
"Selain itu, diperlukan data dalam periode yang sangat panjang minimal 10 tahun jika kenaikan suhu hendak dikaitkan dengan fenomena perubahan iklim," ujarnya kepada Hypeabis.id, Sabtu (14/5/2022).
(Baca juga: Kota di Australia Capai Rekor Suhu Terpanas 50,7 Derajat Celcius)
Masih nerujuk kondisi di Kota Bandung tempat tinggalnya, Erma menerangkan kelembapan udara pada saat terjadi hujan justru mengalami penurunan. Berdasarkan teori, hujan bisa terjadi ketika kelembapan relatif udara mencapai atau mendekati 100 persen. Kelembapan relatif pada 2020, 2021, 2022 berturut-turut di Kota Bandung yakni 89 persen, 87 persen, dan 84 persen.
Hal ini katanya menunjukkan hujan yang terjadi merupakan jenis hujan hangat atau hujan panas (warm rain) yang tidak dibangkitkan oleh proses konveksi yang optimum.
"Hujan panas ini terbentuk karena terjadi peningkatan panas (laten dan sensible) yang salah satunya disebabkan oleh penghangatan suhu permukaan laut di perairan selatan Jawa," terang Erma.
Hujan panas dalam bahasa awam di tengah kalangan masyarakat Jawa dikenal dengan istilah “hujan selak”, hujan ringan terjadi meskipun tidak ada awan mendung atau udara tetap terasa panas selama hujan tersebut turun.
Hujan panas ini juga sering disebut dengan istilah cuaca gerimis berpetir. Hal ini merujuk pada kondisi bahwa meskipun hujan panas ini terjadi dalam intensitas ringan namun tetap dapat disertai dengan petir atau guntur.
Erma menyebut kondisi ini lazim terjadi karena awan mendung dihasilkan oleh awan cumulus tunggal yang bercampur dengan cumulus lainnya yang masih tumbuh dan berwarna putih terang. Loncatan dari awan cumulus mendung ke cumulus lain itu dapat terjadi karena ketidakseimbangan partikel-partikel yang menjadi muatan awan-awan tersebut.
"Kondisi cuaca akhir-akhir ini secara sederhana bisa juga kita sebut dengan istilah clear sky-calm-warm rain," tuturnya.
Adapun karakteristik cuaca tersebut yakni panas pada siang hari karena minim tutupan awan (clear sky), angin yang tenang (calm wind), namun hujan terjadi karena dibangkitkan oleh peningkatan panas dan suhu permukaan laut (warm rain).
"Selama tidak terjadi gangguan yang bersifat sinoptik atau skala luas, maka cuaca seperti ini dapat bertahan hingga beberapa hari mendatang," jelas Erma.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.