Kisah Mereka yang Selamat dari Amukan Tsunami Aceh 2004: "Sabtu Bercerita, Besok Sudah Tidak Bertemu Dia Lagi"
11 May 2022 |
18:34 WIB
1
Like
Like
Like
Diksi smong adalah kearifan lokal, lahir dari pengalaman pahit pada 1907. “Amarah” laut menyusul gempa magnitude 7,6 melumat kawasan pesisir pulau Simeulue, Aceh. Tragedi itu menjadi mimpi buruk sekaligus pelajaran emas bagi masyarakat Simeulue. Ribuan nyawa tercabut dari raga, rumah dan harta benda lenyap.
Jejak keperkasaan pemilik seluruh alam dan isinya itu terinskripsi pada sebuah kuburan di pelataran masjid Desa Salur, Kecamatan Teupah Barat. Sejak itu, kata smong akrab di telinga masyarakat Simeulue. Smong diartikan hempasan gelombang air laut (tsunami), berasal dari Bahasa Devayan, bahasa asli penduduk Simeulue.
97 tahun kemudian, 26 Desember 2004, smong menyasar daratan Aceh. Sudah 17 tahun bencana ganda gempa dan tsunami Aceh menempel di ingatan kita. Tapi, kisah-kisah perih dan heroik penyelamatan diri para penyintas menjadi nukilan cerita ber-episode: Ber seri-seri seperti tak bersekat.
Reka ulang matra sejarah tragedi paling mematikan itu “diputar” satu tahun sekali, setiap 26 Desember. Seperti membangkitkan batang terendam, genangan air mata kembali menumpuk di pipi para peziarah di makam-makam tak bernama setelah hakikat jenazah para syuhada itu dikubur secara massal.
Tsunami Aceh adalah bencana kemanusiaan terbesar dalam sejarah dunia di abad ke-21. Gelombang tinggi dan gemuk itu menyapuratakan sebagian peta bumi Serambi Mekkah. Amukan laut di Minggu pagi itu telah mengumbar ketakutan bukan kepalang. Ratusan ribu orang mati syahid, harta benda terkubur lumpur legam. Mata dunia pun membelalak!
Kini, yang tersisa tinggal cerita. Roda kehidupan terus bergerak. Anak-anak yatim dan para janda syuhada sudah reda dari deraan bencana. Tapi, kegelisahan masih saja merundung hati. Semua itu tergambar dari cerita sedih dan heroik para penyintas tsunami Aceh yang tak bakal lekang dari ingatan. Ini dia kisah-kisah itu.
Minggu, 26 Desember 2021, penulis menemui Yuniar, 50 tahun, di rumahnya Jalan Bangau, Kampung Keuramat, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. Yuniar adalah saksi hidup keganasan tsunami Aceh. Tapi, di hari peringatan tsunami ke 17 tahun, Yuniar tak berziarah ke kuburan massal. Dia terlihat sibuk membereskan tanaman hias di pinggir rumahnya.
Rumah berlantai dua itu juga menjadi saksi bisu air laut di ujung banda pernah singgah sejauh kurang lebih 6 kilometer ke darat. Bidang tanah rumah Yuniar sedikit amblas ke bawah, dinding-dindingnya mulai terkelupas dan tanpa cat. Wajar saja. Sebab, saat tsunami, ketinggian air menutupi seng lantai bawah rumahnya, kurang lebih dua meter.
"Meski rumah saya lantai II, saat tsunami saya malah menyelamatkan diri di lantai II rumah tetangga depan. Kita tidak bisa berpikir saat itu. Saya, suami dan ketiga anak alhamdulillah selamat," kata Yuniar mengawali cerita kepada penulis, Minggu, 26 Desember 2021.
Firasat buruk muncul sehari sebelum tsunami. Saat itu, Yuniar merasa ada yang janggal. Suasana di sekelilingnya tampak sepi, tidak ada aktivitas. Firasat itu membuat Yuniar gelisah. Meskipun di malam harinya, terdengar suara musik besar menyambut natal dan tahun baru di gereja dekat rumahnya. Tapi, tetap saja Yuniar merasa ada yang tidak beres.
Keesokan hari, seperti hari minggu pada umumnya, minggu pagi sebelum tsunami, Yuniar sebagai ibu rumah tangga (IRT) disibukkan pekerjaan rumah, mulai dari mencuci hingga memasak. Namun, baru saja memulai aktivitas, Yuniar dikejutkan guncangan hebat.
Yuniar sekeluarga bergegas keluar mencari perlindungan. Di jalan depan rumah, warga sudah berkumpul. Gempa sempat berhenti beberapa saat, sebelum akhirnya gempa susulan berguncang dengan kekuatan magnitudo 9,2 skala richter. Air laut dan gelombang besar naik ke daratan Aceh.
"Beberapa saat sempat tenang. Saya jemur kain setelah itu tapi hati mulai tidak tenang. Kemudian ada orang teriak katanya air laut naik. Terus, ada mobil puskesmas yang masuk ke jalan di depan rumah, mengumumkan air laut naik," cerita Yuniar.
Gelombang tsunami, kata Yuniar, setinggi tiang listrik. Warnanya gelap. Tanpa pikir panjang, mengikuti warga lain yang berbondong, Yuniar berlari menuju lantai II rumah tetangga. Tiga anak Yuniar, dua laki-laki dan satu perempuan dirangkul sang Ayah yang juga ikut naik ke lantai II rumah tetangga. Letaknya persis di depan rumahnya.
"Awalnya suami ajak keluar ke jalan utama ke Jalan Pocut Baren. Tapi saya menolak dan memilih untuk ke rumah warga. Saya enggak tau gimana keadaan kami, jika saat itu mengikuti ajakan suami," tutur Yuniar mengusap air mata.
(Baca juga: Melihat Desain Museum Tsunami Aceh Sentuhan Apik Ridwan Kamil)
Dari lantai II, Yuniar melihat ombak besar berwarna seperti lumpur. Air pecahan ombak berputar begitu kuat. Sangking kuatnya, mampu mengangkut kapal besar dari laut ke darat. Kapal itu membentang di persimpangan lorong, menahan air untuk masuk.
"Seketika air menjadi tidak sederas semula. Seandainya tidak ada kapal itu, sepertinya hancur semua rumah kami. Kapal itu membuat air pecah. Di dalam kapal ada satu orang, dia selamat," ungkap Yuniar.
Ada satu hal yang membuat Yuniar sangat terpukul, dia tidak bisa menolong orang-orang yang saat itu membutuhkan pertolongannya. "Mereka berteriak tolong-tolong, ada yang mengapung di air, ada yang di atas kasur terbawa air. Tapi saya tidak bisa menggapai tangan mereka untuk menolong," kenang Yuniar.
Yuniar mengatakan suaminya sempat hendak turun menolong seorang bapak yang terduduk di atas kasur mengapung. Niat baik itu tidak membuahkan hasil, suami Yuniar mengalami kesulitan saat turun.
Setelah beberapa jam, air laut mulai surut. Yuniar bersama keluarga turun. Setiba di bawah, sejauh mata memandang, Yuniar melihat mayat-mayat bergelimpangan. Langkahnya beberapa kali sempat terhenti sejenak karena menginjak mayat.
Terutama di rumahnya, banyak mayat terbujur kaku di luar dan dalam. Tanpa pakaian dan membengkak, bahkan ada yang beberapa hari tidak diambil. Anehnya, kata Yuniar, mayat itu tidak menimbulkan bau busuk sama sekali.
"Mereka adalah syuhada yang mendapatkan pahala syahid. Rumah di Kampung Keuramat memang tidak banyak yang hancur, akan tetapi mayat ada di mana-mana. Saat menuju arah pos kamling kampung, kami melihat mayat bapak yang tadinya minta tolong sama kami," ungkap sedih.
Setelah itu, Yuniar sekeluarga hidup berbulan-bulan di pengungsian kawasan Desa Siron, Aceh Besar. Di sana Yuniar hidup berdampingan dengan para penyintas tsunami lainnya. Hari berganti hari, ketika malam datang tetap saja ketakutan menghampirinya. Selama beberapa bulan setelah tsunami, Yuniar masih trauma.
Secara terpisah, Dian Febriansyah, 28 tahun, anak sulung Yuniar, menceritakan pengalamannya kepada penulis. Saat tsunami, kata Dian, dia masih berusia 11 tahun. Pagi Minggu sebelum Tsunami, Dian bersama seorang teman hendak pergi bermain bola ke Blang Padang.
Keduanya menggunakan sepeda masing-masing. Tapi belum lagi setengah perjalanan, di simpang Pocut Baren (depan SD 20 Banda Aceh), terjadi gempa. Karena takut, Dian memutuskan kembali ke rumah. Sementara temannya, tetap melanjutkan perjalanan.
"Setelah hari itu kami tidak pernah bertemu lagi. Kalimat terakhir yang saya ingat dia bilang, ayok lek (panggilan akrab Dian) pergi terus, kita tanding hari ini. Aku tunggu di sana ya," ucap Dian menirukan temannya.
Pertemuan itu adalah pertemuan terakhir bagi Dian dengan teman akrabnya. Sejak saat itu, Dian tak pernah dapat kabar lagi tentang keberadaannya dan keluarga. Dian menduga temannya itu dibawa gelombang tsunami.
Di hari yang sama, penulis bertemu Zaharuddin, 56 tahun, Warga Gampong Prada, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, saat sedang berziarah di kuburan massal Ulee Lheue. Gampong Prada merupakan salah satu desa di Banda Aceh yang tidak parah saat tsunami, sehingga Zahar dan keluarga selamat.
Namun, kata Zahar, Tsunami Aceh 2004, menyisakan kabar kehilangan paling pahit baginya. Sekeluarga kakak kandungnya hanyut dibawa tsunami.
Padahal, sehari sebelum tsunami, Zahar sempat singgah ke rumah kakaknya, di Lampaseh Kota. Tidak ada yang janggal dari pertemuan itu, bercerita layaknya biasa. Zahar tidak menyangka pertemuan itu menjadi pertemuan terakhir dengan kakaknya.
"Sabtu saya sempat ke rumah ngomong-ngomong cerita sama dia. Besoknya sudah tidak bertemu lagi. Itulah momen terakhir yang saya ingat," ucap Zahar.
Zahar mengatakan jenazah sekeluarga kakaknya hilang tanpa jejak. Kecuali anaknya yang paling kecil perempuan, saat itu tersangkut di tangga. "Mereka tidak ada yang tertinggal, semua meninggal karena tsunami," ungkap Zahar.
Meskipun tidak tahu di mana keluarga kakaknya itu di kubur, setiap tahun Zahar secara acak pergi ke kuburan massal Ulee Lheue dan Siron. “Yang terpenting mengirim do'a untuk mereka. Selain waktu salat, saya juga mengirim doa setiap 26 Desember. Itu rutin saya lakukan," tutur Zahar.
Zahar mengaku sudah ikhlas. “Karena dia tinggal di Lampaseh, saya yakin dia dimakamkan di sini. Tapi tidak menutup kemungkinan di tempat lain," ujar Zahar sembari menyeka air matanya.
Berbeda cerita Yuniar dan Zaharuddin. Ernawati, 50 tahun, bukan penyintas, bukan juga Warga Kota Banda Aceh. Ernawati adalah Warga Bireuen yang kehilangan Ibu saat tsunami 2004. Beberapa tahun sebelum tsunami, Erna dan Ibu memang tinggal berjauhan. Biasanya setiap lebaran, kalau bukan Ibu yang pulang ke Bireuen, Erna yang menyusul ke Banda Aceh.
Erna bilang ibunya berjualan di Pasar Aceh. Karena merasa usia sang Ibu sudah tua, Erna sempat meminta Ibunya untuk kembali dan tinggal bersamanya di Bireuen. Namun, Ibunya selalu menolak, karena lebih senang jualan di Ibu Kota Provinsi.
"Terakhir Ibu pulang ke Bireuen saat lebaran November 2004," kata Ernawati saat ditemui penulis di kuburan massal Ulee Lheue, Minggu, 26 Desember 2021.
Kepulangan tahun itu, kata Erna, berbeda dengan sebelumnya. Ketika hendak balik ke Banda Aceh, Ibu minta maaf ke semua orang di sekitar yang dikenal dan minta dibuat kue khas Aceh 'boh rom-rom'.
"Ibu juga minta baju saya yang warna merah. Tapi baju tidak saya kasih karena saat itu saya berencana akan menjahit lain untuk ibu. Bahkan ukuran badan ibu sudah saya ukur," ungkap Erna. Isyarat itulah membuat Erna sangat terpukul.
Benar saja, kepulangan hari itu adalah kepulangan terakhir sang Ibu. Erna mendapat kabar mengejutkan dari tetangga. "Banda Aceh sudah tidak ada," kata salah seorang tetangga. Tetangga yang baru sampai di Bireuen dan selamat dari tsunami.
Mendapat kabar itu, Erna langsung bersiap untuk berangkat ke Banda Aceh. Namun, langkahnya sempat terhalang setelah mendapatkan informasi bahwa akses dari Bireuen ke Banda Aceh tidak bisa. Erna tidak menghiraukan itu, ia tetap melanjutkan perjalanannya, sampai akhirnya dia tiba di Banda Aceh.
"Bukan Banda Aceh yang saya pergi sebelumnya, semua menjadi rata. Hari itu saya langsung cari Ibu. Tapi setelah berhari-hari saya cari, tidak dapat. Hingga, pihak keamanan berjaga di situ tidak di kasih lagi untuk cari," ujar Erna.
Beberapa bulan setelah itu, Erna masih mencari. Namun, jangankan menemui jenazah Ibunya, orang yang kenal dengan ibunya saja tidak Erna temui. Sehingga menyulitkan Erna. Baru setelah 16 tahun berlalu, tahun 2020, Erna bertemu seseorang yang pernah tinggal di komplek sama dengan ibunya.
"Saat tsunami, mamak saya terkurung di kamar mandi, kesulitan untuk keluar," cetus Erna.
Sejak saat itu, Erna merasa menemukan titik terang dari apa yang dia cari selama ini. Pencarian Erna bertahun-tahun bukan pada jenazah sang ibu, melainkan di mana posisi sang Ibu saat tsunami.
Editor: Dika Irawan
Disclaimer: Artikel berikut ini tidak mewakili pandangan redaksi Hypeabis.id. Seluruh isi tulisan merupakan tanggungjawab penulis.
Jejak keperkasaan pemilik seluruh alam dan isinya itu terinskripsi pada sebuah kuburan di pelataran masjid Desa Salur, Kecamatan Teupah Barat. Sejak itu, kata smong akrab di telinga masyarakat Simeulue. Smong diartikan hempasan gelombang air laut (tsunami), berasal dari Bahasa Devayan, bahasa asli penduduk Simeulue.
97 tahun kemudian, 26 Desember 2004, smong menyasar daratan Aceh. Sudah 17 tahun bencana ganda gempa dan tsunami Aceh menempel di ingatan kita. Tapi, kisah-kisah perih dan heroik penyelamatan diri para penyintas menjadi nukilan cerita ber-episode: Ber seri-seri seperti tak bersekat.
Reka ulang matra sejarah tragedi paling mematikan itu “diputar” satu tahun sekali, setiap 26 Desember. Seperti membangkitkan batang terendam, genangan air mata kembali menumpuk di pipi para peziarah di makam-makam tak bernama setelah hakikat jenazah para syuhada itu dikubur secara massal.
Tsunami Aceh adalah bencana kemanusiaan terbesar dalam sejarah dunia di abad ke-21. Gelombang tinggi dan gemuk itu menyapuratakan sebagian peta bumi Serambi Mekkah. Amukan laut di Minggu pagi itu telah mengumbar ketakutan bukan kepalang. Ratusan ribu orang mati syahid, harta benda terkubur lumpur legam. Mata dunia pun membelalak!
Kini, yang tersisa tinggal cerita. Roda kehidupan terus bergerak. Anak-anak yatim dan para janda syuhada sudah reda dari deraan bencana. Tapi, kegelisahan masih saja merundung hati. Semua itu tergambar dari cerita sedih dan heroik para penyintas tsunami Aceh yang tak bakal lekang dari ingatan. Ini dia kisah-kisah itu.
Berjuang di Rumah Tetangga
Yuniar di rumahnya yang selamat dari amukan tsunami Aceh 2004. | Kamaruddin
Minggu, 26 Desember 2021, penulis menemui Yuniar, 50 tahun, di rumahnya Jalan Bangau, Kampung Keuramat, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. Yuniar adalah saksi hidup keganasan tsunami Aceh. Tapi, di hari peringatan tsunami ke 17 tahun, Yuniar tak berziarah ke kuburan massal. Dia terlihat sibuk membereskan tanaman hias di pinggir rumahnya.
Rumah berlantai dua itu juga menjadi saksi bisu air laut di ujung banda pernah singgah sejauh kurang lebih 6 kilometer ke darat. Bidang tanah rumah Yuniar sedikit amblas ke bawah, dinding-dindingnya mulai terkelupas dan tanpa cat. Wajar saja. Sebab, saat tsunami, ketinggian air menutupi seng lantai bawah rumahnya, kurang lebih dua meter.
"Meski rumah saya lantai II, saat tsunami saya malah menyelamatkan diri di lantai II rumah tetangga depan. Kita tidak bisa berpikir saat itu. Saya, suami dan ketiga anak alhamdulillah selamat," kata Yuniar mengawali cerita kepada penulis, Minggu, 26 Desember 2021.
Firasat buruk muncul sehari sebelum tsunami. Saat itu, Yuniar merasa ada yang janggal. Suasana di sekelilingnya tampak sepi, tidak ada aktivitas. Firasat itu membuat Yuniar gelisah. Meskipun di malam harinya, terdengar suara musik besar menyambut natal dan tahun baru di gereja dekat rumahnya. Tapi, tetap saja Yuniar merasa ada yang tidak beres.
Keesokan hari, seperti hari minggu pada umumnya, minggu pagi sebelum tsunami, Yuniar sebagai ibu rumah tangga (IRT) disibukkan pekerjaan rumah, mulai dari mencuci hingga memasak. Namun, baru saja memulai aktivitas, Yuniar dikejutkan guncangan hebat.
Yuniar sekeluarga bergegas keluar mencari perlindungan. Di jalan depan rumah, warga sudah berkumpul. Gempa sempat berhenti beberapa saat, sebelum akhirnya gempa susulan berguncang dengan kekuatan magnitudo 9,2 skala richter. Air laut dan gelombang besar naik ke daratan Aceh.
"Beberapa saat sempat tenang. Saya jemur kain setelah itu tapi hati mulai tidak tenang. Kemudian ada orang teriak katanya air laut naik. Terus, ada mobil puskesmas yang masuk ke jalan di depan rumah, mengumumkan air laut naik," cerita Yuniar.
Gelombang tsunami, kata Yuniar, setinggi tiang listrik. Warnanya gelap. Tanpa pikir panjang, mengikuti warga lain yang berbondong, Yuniar berlari menuju lantai II rumah tetangga. Tiga anak Yuniar, dua laki-laki dan satu perempuan dirangkul sang Ayah yang juga ikut naik ke lantai II rumah tetangga. Letaknya persis di depan rumahnya.
"Awalnya suami ajak keluar ke jalan utama ke Jalan Pocut Baren. Tapi saya menolak dan memilih untuk ke rumah warga. Saya enggak tau gimana keadaan kami, jika saat itu mengikuti ajakan suami," tutur Yuniar mengusap air mata.
(Baca juga: Melihat Desain Museum Tsunami Aceh Sentuhan Apik Ridwan Kamil)
Dari lantai II, Yuniar melihat ombak besar berwarna seperti lumpur. Air pecahan ombak berputar begitu kuat. Sangking kuatnya, mampu mengangkut kapal besar dari laut ke darat. Kapal itu membentang di persimpangan lorong, menahan air untuk masuk.
"Seketika air menjadi tidak sederas semula. Seandainya tidak ada kapal itu, sepertinya hancur semua rumah kami. Kapal itu membuat air pecah. Di dalam kapal ada satu orang, dia selamat," ungkap Yuniar.
Ada satu hal yang membuat Yuniar sangat terpukul, dia tidak bisa menolong orang-orang yang saat itu membutuhkan pertolongannya. "Mereka berteriak tolong-tolong, ada yang mengapung di air, ada yang di atas kasur terbawa air. Tapi saya tidak bisa menggapai tangan mereka untuk menolong," kenang Yuniar.
Yuniar mengatakan suaminya sempat hendak turun menolong seorang bapak yang terduduk di atas kasur mengapung. Niat baik itu tidak membuahkan hasil, suami Yuniar mengalami kesulitan saat turun.
Setelah beberapa jam, air laut mulai surut. Yuniar bersama keluarga turun. Setiba di bawah, sejauh mata memandang, Yuniar melihat mayat-mayat bergelimpangan. Langkahnya beberapa kali sempat terhenti sejenak karena menginjak mayat.
Terutama di rumahnya, banyak mayat terbujur kaku di luar dan dalam. Tanpa pakaian dan membengkak, bahkan ada yang beberapa hari tidak diambil. Anehnya, kata Yuniar, mayat itu tidak menimbulkan bau busuk sama sekali.
"Mereka adalah syuhada yang mendapatkan pahala syahid. Rumah di Kampung Keuramat memang tidak banyak yang hancur, akan tetapi mayat ada di mana-mana. Saat menuju arah pos kamling kampung, kami melihat mayat bapak yang tadinya minta tolong sama kami," ungkap sedih.
Setelah itu, Yuniar sekeluarga hidup berbulan-bulan di pengungsian kawasan Desa Siron, Aceh Besar. Di sana Yuniar hidup berdampingan dengan para penyintas tsunami lainnya. Hari berganti hari, ketika malam datang tetap saja ketakutan menghampirinya. Selama beberapa bulan setelah tsunami, Yuniar masih trauma.
Secara terpisah, Dian Febriansyah, 28 tahun, anak sulung Yuniar, menceritakan pengalamannya kepada penulis. Saat tsunami, kata Dian, dia masih berusia 11 tahun. Pagi Minggu sebelum Tsunami, Dian bersama seorang teman hendak pergi bermain bola ke Blang Padang.
Keduanya menggunakan sepeda masing-masing. Tapi belum lagi setengah perjalanan, di simpang Pocut Baren (depan SD 20 Banda Aceh), terjadi gempa. Karena takut, Dian memutuskan kembali ke rumah. Sementara temannya, tetap melanjutkan perjalanan.
"Setelah hari itu kami tidak pernah bertemu lagi. Kalimat terakhir yang saya ingat dia bilang, ayok lek (panggilan akrab Dian) pergi terus, kita tanding hari ini. Aku tunggu di sana ya," ucap Dian menirukan temannya.
Pertemuan itu adalah pertemuan terakhir bagi Dian dengan teman akrabnya. Sejak saat itu, Dian tak pernah dapat kabar lagi tentang keberadaannya dan keluarga. Dian menduga temannya itu dibawa gelombang tsunami.
Kehilangan Kakak tanpa Jejak
Zaharuddin. | Kamaruddin
Di hari yang sama, penulis bertemu Zaharuddin, 56 tahun, Warga Gampong Prada, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, saat sedang berziarah di kuburan massal Ulee Lheue. Gampong Prada merupakan salah satu desa di Banda Aceh yang tidak parah saat tsunami, sehingga Zahar dan keluarga selamat.
Namun, kata Zahar, Tsunami Aceh 2004, menyisakan kabar kehilangan paling pahit baginya. Sekeluarga kakak kandungnya hanyut dibawa tsunami.
Padahal, sehari sebelum tsunami, Zahar sempat singgah ke rumah kakaknya, di Lampaseh Kota. Tidak ada yang janggal dari pertemuan itu, bercerita layaknya biasa. Zahar tidak menyangka pertemuan itu menjadi pertemuan terakhir dengan kakaknya.
"Sabtu saya sempat ke rumah ngomong-ngomong cerita sama dia. Besoknya sudah tidak bertemu lagi. Itulah momen terakhir yang saya ingat," ucap Zahar.
Zahar mengatakan jenazah sekeluarga kakaknya hilang tanpa jejak. Kecuali anaknya yang paling kecil perempuan, saat itu tersangkut di tangga. "Mereka tidak ada yang tertinggal, semua meninggal karena tsunami," ungkap Zahar.
Meskipun tidak tahu di mana keluarga kakaknya itu di kubur, setiap tahun Zahar secara acak pergi ke kuburan massal Ulee Lheue dan Siron. “Yang terpenting mengirim do'a untuk mereka. Selain waktu salat, saya juga mengirim doa setiap 26 Desember. Itu rutin saya lakukan," tutur Zahar.
Zahar mengaku sudah ikhlas. “Karena dia tinggal di Lampaseh, saya yakin dia dimakamkan di sini. Tapi tidak menutup kemungkinan di tempat lain," ujar Zahar sembari menyeka air matanya.
Bertahun-tahun Mencari Ibu
Ernawati. | Kamaruddin
Berbeda cerita Yuniar dan Zaharuddin. Ernawati, 50 tahun, bukan penyintas, bukan juga Warga Kota Banda Aceh. Ernawati adalah Warga Bireuen yang kehilangan Ibu saat tsunami 2004. Beberapa tahun sebelum tsunami, Erna dan Ibu memang tinggal berjauhan. Biasanya setiap lebaran, kalau bukan Ibu yang pulang ke Bireuen, Erna yang menyusul ke Banda Aceh.
Erna bilang ibunya berjualan di Pasar Aceh. Karena merasa usia sang Ibu sudah tua, Erna sempat meminta Ibunya untuk kembali dan tinggal bersamanya di Bireuen. Namun, Ibunya selalu menolak, karena lebih senang jualan di Ibu Kota Provinsi.
"Terakhir Ibu pulang ke Bireuen saat lebaran November 2004," kata Ernawati saat ditemui penulis di kuburan massal Ulee Lheue, Minggu, 26 Desember 2021.
Kepulangan tahun itu, kata Erna, berbeda dengan sebelumnya. Ketika hendak balik ke Banda Aceh, Ibu minta maaf ke semua orang di sekitar yang dikenal dan minta dibuat kue khas Aceh 'boh rom-rom'.
"Ibu juga minta baju saya yang warna merah. Tapi baju tidak saya kasih karena saat itu saya berencana akan menjahit lain untuk ibu. Bahkan ukuran badan ibu sudah saya ukur," ungkap Erna. Isyarat itulah membuat Erna sangat terpukul.
Benar saja, kepulangan hari itu adalah kepulangan terakhir sang Ibu. Erna mendapat kabar mengejutkan dari tetangga. "Banda Aceh sudah tidak ada," kata salah seorang tetangga. Tetangga yang baru sampai di Bireuen dan selamat dari tsunami.
Mendapat kabar itu, Erna langsung bersiap untuk berangkat ke Banda Aceh. Namun, langkahnya sempat terhalang setelah mendapatkan informasi bahwa akses dari Bireuen ke Banda Aceh tidak bisa. Erna tidak menghiraukan itu, ia tetap melanjutkan perjalanannya, sampai akhirnya dia tiba di Banda Aceh.
"Bukan Banda Aceh yang saya pergi sebelumnya, semua menjadi rata. Hari itu saya langsung cari Ibu. Tapi setelah berhari-hari saya cari, tidak dapat. Hingga, pihak keamanan berjaga di situ tidak di kasih lagi untuk cari," ujar Erna.
Beberapa bulan setelah itu, Erna masih mencari. Namun, jangankan menemui jenazah Ibunya, orang yang kenal dengan ibunya saja tidak Erna temui. Sehingga menyulitkan Erna. Baru setelah 16 tahun berlalu, tahun 2020, Erna bertemu seseorang yang pernah tinggal di komplek sama dengan ibunya.
"Saat tsunami, mamak saya terkurung di kamar mandi, kesulitan untuk keluar," cetus Erna.
Sejak saat itu, Erna merasa menemukan titik terang dari apa yang dia cari selama ini. Pencarian Erna bertahun-tahun bukan pada jenazah sang ibu, melainkan di mana posisi sang Ibu saat tsunami.
Editor: Dika Irawan
Disclaimer: Artikel berikut ini tidak mewakili pandangan redaksi Hypeabis.id. Seluruh isi tulisan merupakan tanggungjawab penulis.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.