Menyeruput Kopi di Warkop Legendaris Bireuen
07 May 2022 |
22:04 WIB
1
Like
Like
Like
Pagi subuh, seperti biasanya, Kota Bireuen diselimuti hawa sejuk dalam kegelapan yang mulai memudar. Cahaya kemerah-merahan dari matahari tampak di langit sebelah timur. Di Jalan Ramai, Kota Bireuen, Kecamatan Kota Juang, Kabupaten Bireuen, masih lengang. Sejumlah pria tua mengenakan peci hitam berbaju koko, menuju ke sebuah warung kopi 'Cita Rasa' yang berada di ujung jalan.
Nuansa klasik terasa saat menginjakkan kaki di bagian depan warkop Cita Rasa. Warkop Cita Rasa merupakan salah satu warkop tertua di Bireuen, yang telah merekam jejak waktu setiap generasi. Namanya pun begitu akrab di telinga warga Bireuen.
Memasuki warkop satu pintu tiga lantai itu, bagian kanan terdapat lemari kaca yang sudah diisi roti tawar dan satu baskom stainless selai asoe kaya (srikaya). Dua langkah ke depan, terdapat dapur kopi (dhapu kupi), yang di atasnya sudah diletakkan dua ceret air, gelas dan piring-piring kecil.
Di belakang barista, botol kaca limun dan sejenisnya disusun rapi tak berjarak. Sementara, di bagian tengah warkop ada meja kasir dan lemari kaca berisikan aneka camilan pagi seperti pulut panggang, pisang goreng, bakwan dan lain sebagainya.
Suara gemuruh bara api menyala dari tungku tradisional yang berada di sudut dapur kopi. Pekat asap mengepul dari ceret yang sudah diisi bubuk kopi dan air mendidih. Kepulan asap rokok dan asap dari ceret bercampur menjadi satu.
Semerbak harum aroma kopi pun menembus indra penciuman. Membuat pengunjung tak sabar ingin segera menyeruput segelas kopi legendaris ini.
Warkop Cita Rasa tampak sederhana. Dinding beton berwarna telur asin, setengah sudah di keramik, menambah nuansa vintage, 16 meja dan kursi kayu disusun berdempetan dengan dinding. Pengunjung nyaman bersandar, kecuali di dua meja bundar bagian tengah, tak ada tempat bersandar di sana.
Warkop yang hanya berjarak 50 meter dari Simpang 4 Bireuen ini tak pernah sepi pembeli. Seperti namanya, cita rasa kopi yang melegenda dan suasana warkop yang khas, membuat warkop Cita Rasa tetap eksis hingga kini.
Kami bersama dua orang sahabat bernama Aidil, 25 tahun dan Heri, 25 tahun, memilih tempat duduk di salah satu meja bundar bagian tengah itu. Kami memesan dua gelas kopi robusta dan segelas kopi weng. Tak perlu menunggu lama, dua gelas kopi robusta dan segelas kopi weng panas ditambah tiga gelas air putih hangat tersaji di meja. Sekali teguk rasanya menempel di ingatan.
Aidil dan Heri, mengatakan kopi robusta didominasi rasa pahit, namun manis diujung, seperti ada campuran cokelat. Sementara kopi weng, campuran kopi, telur dan gula lalu di kocok pakai mixer hingga mengeluarkan busa. Menurut penulis, rasanya manis sedikit pahit. Konon katanya, kopi weng berkhasiat sebagai penambah stamina.
Menikmati kopi di pagi hari tak lengkap rasanya tanpa sebungkus nasi kucing dan roti khas warkop Cita Rasa yakni roti selai asoe kaya dan berbagai aneka cemilan lainnya. Soal harga tak perlu khawatir, kopi dan makanan di sini terbilang terjangkau.
Nuansa klasik terasa saat menginjakkan kaki di bagian depan warkop Cita Rasa. Warkop Cita Rasa merupakan salah satu warkop tertua di Bireuen, yang telah merekam jejak waktu setiap generasi. Namanya pun begitu akrab di telinga warga Bireuen.
Memasuki warkop satu pintu tiga lantai itu, bagian kanan terdapat lemari kaca yang sudah diisi roti tawar dan satu baskom stainless selai asoe kaya (srikaya). Dua langkah ke depan, terdapat dapur kopi (dhapu kupi), yang di atasnya sudah diletakkan dua ceret air, gelas dan piring-piring kecil.
Di belakang barista, botol kaca limun dan sejenisnya disusun rapi tak berjarak. Sementara, di bagian tengah warkop ada meja kasir dan lemari kaca berisikan aneka camilan pagi seperti pulut panggang, pisang goreng, bakwan dan lain sebagainya.
Suara gemuruh bara api menyala dari tungku tradisional yang berada di sudut dapur kopi. Pekat asap mengepul dari ceret yang sudah diisi bubuk kopi dan air mendidih. Kepulan asap rokok dan asap dari ceret bercampur menjadi satu.
Semerbak harum aroma kopi pun menembus indra penciuman. Membuat pengunjung tak sabar ingin segera menyeruput segelas kopi legendaris ini.
Warkop Cita Rasa tampak sederhana. Dinding beton berwarna telur asin, setengah sudah di keramik, menambah nuansa vintage, 16 meja dan kursi kayu disusun berdempetan dengan dinding. Pengunjung nyaman bersandar, kecuali di dua meja bundar bagian tengah, tak ada tempat bersandar di sana.
Warkop yang hanya berjarak 50 meter dari Simpang 4 Bireuen ini tak pernah sepi pembeli. Seperti namanya, cita rasa kopi yang melegenda dan suasana warkop yang khas, membuat warkop Cita Rasa tetap eksis hingga kini.
Kami bersama dua orang sahabat bernama Aidil, 25 tahun dan Heri, 25 tahun, memilih tempat duduk di salah satu meja bundar bagian tengah itu. Kami memesan dua gelas kopi robusta dan segelas kopi weng. Tak perlu menunggu lama, dua gelas kopi robusta dan segelas kopi weng panas ditambah tiga gelas air putih hangat tersaji di meja. Sekali teguk rasanya menempel di ingatan.
Aidil dan Heri, mengatakan kopi robusta didominasi rasa pahit, namun manis diujung, seperti ada campuran cokelat. Sementara kopi weng, campuran kopi, telur dan gula lalu di kocok pakai mixer hingga mengeluarkan busa. Menurut penulis, rasanya manis sedikit pahit. Konon katanya, kopi weng berkhasiat sebagai penambah stamina.
Menikmati kopi di pagi hari tak lengkap rasanya tanpa sebungkus nasi kucing dan roti khas warkop Cita Rasa yakni roti selai asoe kaya dan berbagai aneka cemilan lainnya. Soal harga tak perlu khawatir, kopi dan makanan di sini terbilang terjangkau.
Beramal Sambil Berbisnis
Dari arah pintu masuk muncul seorang pria gagah, berbaju kaos hitam berkerah dan bercelana hitam. Aura pebisnis H. Muhammad Hasan Basri semakin kental dan kentara. Apalagi sudah hampir setengah abad pria 71 tahun ini menggeluti bisnis warung kopi. H. Muhammad Hasan Basri akrab disapa Nyak Hasan merupakan pemilik tunggal warkop Cita Rasa.
Warkop Cita Rasa mendapatkan hati tersendiri dari kalangan orang tua. Nyak Hasan mendatangi meja mereka satu persatu, menyalami mereka yang sedang berdialog kasual berbagai isu terkini di Aceh. Tak lupa, Nyak Hasan juga mendatangi meja penulis.
Kepada kami, pria kelahiran Kecamatan Tiro, Kabupaten Pidie, tahun 1951 ini mengatakan Warkop Cita Rasa sudah ada sejak 40 tahun lalu, sekitar tahun 1980-an.
Nyak Hasan mengaku jauh sebelum adanya warkop Cita Rasa, pahit kehidupan sudah pernah dirasakan. Berangkat dari kampung halamannya di Pidie, dirinya melalang buana selama 17 tahun mengadu nasib diperantauan sampai ke negeri lumbung padi, Thailand.
"Hanya membawa sehelai kain saya pergi merantau sampai ke Thailand. Hingga akhirnya nasib baik menghampiri saya dan membuka warkop Cita Rasa," cerita Nyak Hasan saat menghampiri meja penulis.
Nyak Hasan percaya semua yang dimilikinya sekarang hanyalah titipan Allah semata. Dirinya hanya berusaha untuk terus menjadi orang yang bermanfaat bagi lingkungan sekitar. Hal itu dibuktikan Nyak Hasan dengan rutin berbagi setiap hari Jumat selama setahun terakhir.
"Kopi gratis, makanan dan cemilan semua gratis setiap pagi Jum'at. Sudah berjalan selama setahun terakhir ini. Warung kopi ini milik Allah, saya hanya diberi tanggung jawab untuk menjaganya," ucap Nyak Hasan.
Berbisnis sambil beramal, tak heran warungnya selalu ramai pelanggan, pelanggan pun terlihat sangat dekat dengan Nyak Hasan. Saat ini, Nyak Hasan sudah memiliki sepuluh orang pekerja yang sudah dianggap seperti keluarganya sendiri.
Diakhir cerita, Nyak Hasan, berbagi tiga syarat sukses untuk anak muda di Aceh yang ingin merintis bisnis di perantauan berdasarkan pengalaman hidupnya. "Pertama, jangan pernah membawa orang tua ke perantauan, kedua jangan ambil hak orang lain dan terakhir jangan pernah tinggalkan salat," tutup Nyak Hasan lalu meninggalkan meja kami dan menghampiri meja pelanggan lain.
Warkop ini mulai buka pukul 05.45 pagi sesudah salat subuh sampai tengah malam.
Sayup-sayup matahari mulai menyinari Kota Bireuen. Kaum borjuis dan proletar beriringan memadati jalan mulai beraktivitas. Tukang becak yang mulai mendapatkan penumpang, pejabat yang mulai memasuki kantor bersiap menghabiskan waktu di depan layar komputer. Dari arah warkop Cita Rasa, dialog kasual berbagai isu terkini di Aceh sudah berakhir.
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.