Pastor Kepala. Pastor Kepala Gereja Katolik Hati Kudus Banda Aceh, Hironimus Radjutuga (Sumber gambar: DokPri)

Cerita Pastor Roni Aman dan Nyaman Beribadah di Banda Aceh

20 January 2022   |   12:40 WIB
Image
Kamaruddin Mengingat bersama dengan menulis

Cuaca di Ibukota Provinsi Aceh, Banda Aceh, 23 Desember 2021 sangat cerah. Matahari bersinar cukup terang menyinari perjalanan penulis menuju Gereja Katolik Hati Kudus yang berada di jantung Kota Banda Aceh. Hanya berjarak 400 meter dengan Masjid Raya Baiturrahman.

Setiba di lokasi, di depan gereja sudah disiapkan kursi, meja dan tenda untuk petugas keamanan, namun belum ada petugas yang berjaga. Biasanya, petugas keamanan dari TNI, Polri, Satpol PP dan lain sebagainya mulai bertugas sehari menjelang perayaan natal. 

Berdiri di depan pintu Gereja, perlahan melangkah masuk ke dalam. Di dalam gereja, dua wanita dan seorang pria umat Katolik terlihat sedang sibuk menghias pohon natal, gua natal dan merangkai bunga, untuk persiapan Natal 2021.

Pria bernama Kevin Leonardi, 20 tahun, menghampiri penulis. Ia mengatakan bahwa menghias gereja dilakukan secara sukarela oleh beberapa anak muda dari umat Katolik. Bagi Kevin sendiri, menghiasi gereja merupakan sebuah kebahagiaan. Terlebih, sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kevin sudah hobi dekorasi. Kevin bersama teman-temannya menghabiskan waktu berjam-jam untuk menciptakan keindahan di dalam gereja.

"Bukan hanya hari Natal, kadang mendekorasi untuk ibadah Hari Minggu juga. Kalau untuk dekorasi paling lama tiga jam," kata Kevin sembari mengarahkan penulis bertemu dengan Pastor Kepala.
Pastor Kepala Gereja Katolik Hati Kudus bernama Hironimus Radjutuga, 49 tahun.

Hironimus atau akrab disapa Pastor Roni juga terlihat sedang sibuk membereskan segala persiapan. Disela-sela kesibukannya, Pastor Roni menyempatkan diri untuk mengobrol. "Saya baru tiga tahun menjadi pastor kepala di Gereja ini," kata Pastor Roni mengawali obrolan dengan penulis di pos pengamanan depan gereja.

Pastor Roni lahir dan besar di Nusa Tenggara Timur (NTT), Flores. Selama di Flores, Pastor Roni ditugaskan sebagai staf pembinaan yang menangani calon pastor. Tentu tidak ada kendala yang berarti bagi Pastor Roni, karena mayoritas orang di Flores beragama Katolik.

Oleh pimpinan kemudian Pastor Roni dipindah tugas menjadi Pastor Kepala di Aceh. Pastor Roni selama tiga tahun ini hidup berdampingan dengan orang Aceh yang mayoritas beragama Islam. 

"Perbedaan NTT dan Aceh, di NTT emang daerah kristen keadaannya tentu kondusif karena kami disana mayoritas. Tapi selama saya di Aceh, selama tiga kali natal disini semua berjalan dengan aman. Tidak ada gangguan," tegas pria murah senyum itu dengan kacamata minus dan baju kaos yang dikenakan.

Aceh Aman Bagi Kaum Minoritas

Pastor Roni mengaku sebelum pindah ke Aceh, tersiar dan mendengar kabar dari masyarakat di luar bahwa Aceh tidak aman bagi kaum minoritas. Akan tetapi, Pastor Roni menepis semua kabar itu, menurutnya terpenting adalah memberikan yang terbaik untuk umat Katolik yang berada di Aceh. 

"Paling penting bagi saya mengetahui suatu wilayah adalah dengan berada sendiri di wilayah tersebut. Kadang, apa yang dikatakan oleh orang diluar sana, atau yang beritakan tidak selalu persis seperti keadaan realnya. Tapi kenyataannya kami disini aman," ujar Pastor Roni.

Pastor Roni memiliki banyak pengalaman menyenangkan selama tiga tahun berada di wilayah yang minoritas Kristen Katolik, salah satunya yaitu ketika bertemu dan dekat dengan tokoh-tokoh agama lainnya di Aceh. Mereka selalu memastikan keamanan dan kenyamanan umat Katolik di Aceh.

"Mereka selalu bertanya kepada saya, bapak aman disini. Saya menjawab, disini saya sangat aman," tambahnya.

Kemudian, dia bersama Komunitas Umat Basis (KUB) meresmikan gampong kerukunan. Menurutnya, peresmian gampong kerukunan di Aceh itu sangat bagus. Dua gampong yang dipilih sebagai gampong kerukunan yaitu Gampong Mulia dan Gampong Peunayong yang berada di Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh.

"Kemudian, kerja sama dengan tokoh agama. Kami merasa itulah saat-saat dimana dukungan dari berbagai pihak sungguh menjamin keamanan kami. Sangat besar jaminan dari pemerintah," ungkapnya.

Ia menyampaikan tidak pernah mendapatkan pengalaman yang tidak mengenakan di Aceh. Pemerintah Aceh dan segenap masyarakat Aceh senantiasa selalu memberikan perlindungan kepada umat beragama minoritas di Aceh. Hal itu diluar dugaan Pastor Roni sebelum bertugas di Aceh.

"Saya banyak momen menyenangkan, kalau tidak mengenakkan hampir tidak ada. Saya kemarin juga ikut serta dalam pertemuan lintas sektor untuk pengamanan Natal dan tahun baru. Disini ada jaminan pemerintah terhadap kami, memberikan keamanan dan kesempatan beribadah untuk warga kristiani disini," sebut Pastor Roni yang sudah tiga tahun meninggalkan keluarganya di NTT.

Dua Sesi Beribadah Selama Dua Tahun Terakhir

Pastor Roni menyebutkan selama pandemi Covid-19 atau dua tahun terakhir ibadah Natal dibagi dua sesi. Tahun ini sesi pertama dimulai pukul 18.00 - 20.00 WIB, dan sesi kedua dimulai pukul 20.00 WIB hingga selesai.

Sebelum pandemi Covid-19, kata Pastor Roni, rata-rata jemaat yang datang ke Gereja Katolik Hati Kudus adalah jemaat pendatang. Kebanyakan dari Medan dan warga keturunan tionghoa. Namun, selama Covid-19, hanya jemaat di Aceh. Hanya satu dua pendatang.

"Jumlah jemaat biasa mendekati 1.000, sekarang kita batasi supaya tidak terlalu berdesakan. Ibadahnya yang biasa sekali, natal kali ini kita buat dua sesi. Masa pandemi kita sangat menjaga dan mendukung niat baik pemerintah," tutur Pastor Roni.

Diakhir obrolan, Pastor Roni menyarankan penulis untuk bertemu dengan Robertus Wirjana, 57 tahun. Robertus lahir dan besar di Aceh.

Mengikuti arahan Pastor Roni, Jumat, 24 Desember 2021 sekira pukul 10.15 WIB, penulis menuju tempat tinggal Robertus. Robertus tinggal di Toko Sakti Motor yang berada di Jalan Jenderal Ahmad Yani (kiri Hotel Wisata), Peunayong, Banda Aceh. Toko Sakti Motor merupakan bisnis bengkel milik orangtua yang diteruskan oleh Robertus sejak tahun 1985. 

Setiba di lokasi, penulis bertemu dengan Istri Robertus bernama Enny dan anak semata wayangnya bernama, Fernando Wirjana. Sementara Robertus sedang keluar untuk keperluan bengkel. Hari itu, bengkel Sakti Motor tampak sepi, hanya ada dua motor yang sedang diperbaiki oleh montir. Setelah 15 menit menunggu, Robertus pun tiba.

Robertus duduk persis di samping penulis di kursi kayu panjang. Robertus mengawali obrolan, dia merupakan generasi ketiga keturunan Tionghoa yang lahir di Aceh. Bermula dari generasi pertama kakek dan ayahnya yang lahir di Lhoknga, Aceh Besar. Terakhir dirinya, lahir pada tahun 1964. Saat ini Robertus sudah memiliki seorang istri dan anak.

Bagaimana Hidup Sebagai Kaum Minoritas di Aceh?

Robertus menyampaikan dari lahir hingga kini berusia 57 tahun, hidup sebagai kaum minoritas di Aceh berjalan normal. Tidak pernah ada gesekan antar umat beragama, bahkan, kata Robertus, dirinya lebih banyak bergaul dengan teman-teman dari muslim. 

"Situasi saya kira berjalan normal seperti biasa. Tidak ada gesekan apapun atas nama agama. Saya bergaul dengan umat muslim. Saya SMA di SMA negeri jadi sangat terasa keberagamannya," kata Robertus.

Menurutnya, informasi yang beredar di luar bahwa Aceh tidak aman itu sama sekali tidak benar. Bahkan saat masa konflik sekalipun kaum minoritas di Aceh tidak mendapat gangguan.

"Mereka tidak datang langsung berkunjung ke Aceh. Saya membantah apabila ada orang yang menyebutkan Aceh tidak aman bahkan pada masa konflik pun kami tidak diganggu," tegas Robertus geram. 

Meski demikian, ada satu kejadian tidak mengenakkan yang dialami oleh Robertus saat pengurusan administrasi di kantor camat setempat. Saat itu, Robertus sedang mengurus KTP Pastor gereja. Pelayanan yang diberikan pegawai di kantor camat saat itu membuat Robertus geram. 

Robertus yang paham Bahasa Aceh mendengar percakapan pegawai yang menyudutkan dirinya sebagai kaum minoritas. "Disana dibilang pak camat tidak ada, mereka bilang pakai bahasa Aceh. Ini orang Kristen, bilang aja suruh kembali lagi besok," sebut Robertus.

"Saya paham yang mereka bicara tapi saya biarin. Mungkin mereka tidak paham akan keberagaman. Rupanya tidak lama saya tunggu camatnya keluar. Saya ditipu pegawai di kantor camat itu," tambahnya.

Robertus yang juga pengurus Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Pesparani Katolik Daerah (LP3KD) Aceh mengatakan dirinya selalu berhubungan baik dengan mereka yang beragama Islam maupun lainnya. Bahkan sering mengadakan kegiatan olahraga dan kegiatan bermanfaat lainnya.

"Kami juga buat kampung kerukunan di Gampong Mulia dan Peunayong. Gampong Mulia meski ada tiga gereja tapi tidak ada konflik, begitu juga di Peunayong. Saya kira di Peunayong, kita hidup berdampingan dengan cukup baik," ucap Robertus.

Sementara itu, secara terpisah, salah seorang jemaat pendatang Gereja Katolik Hati Kudus asal Medan, Andre Bobo mengatakan ini pertama kali dirinya merayakan Natal di Aceh. Kondisi di Aceh menurutnya sangat kondusif, setiap minggu ada ibadah yang dilaksanakan dengan baik. 

Sebagai jemaat pendatang, kata Andre, dia melihat keberagaman yang bagus. Kemudian jemaat juga semangat dan antusias meski dengan pembatasan sosial. 

"Di luar pernah mendengar di Aceh tidak aman, karena disini kita minoritas. Selama saya disini saya juga melihat orang sangat welcome. Keraguan itu kemudian terbantahkan, terbukti ibadah berjalan dengan baik. Persepsi orang berbagai macam karena tidak datang langsung ke Aceh," ujar Andre.

 

SEBELUMNYA

Jerawood, Jam Tangan Premium Dari Limbah Kayu

BERIKUTNYA

Begini Tips Meminimalkan Risiko pada Tahun Pertama Merintis Bisnis

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: