Ramai Soal Pawang Hujan, Begini Sejarahnya yang telah Ada Sejak Zaman Purba
21 March 2022 |
11:16 WIB
Ritual penangkal hujan di Indonesia
Apa yang dijelaskan dalam dua sumber sebelumnya senada dengan penelitian sebuah jurnal berjudul Objek-Objek dalam Ritual Penangkal Hujan (2017) oleh Imaniar Yordan Christy. Dalam pelaksanaan ritual panggil maupun tolak hujan dibutuhkan benda/objek ritual yang harus disiapkan. Jika benda/objek tersebut tidak lengkap, masyarakat percaya bahwa ritual tersebut tidak akan berhasil.Hal ini dilakukan agar makhluk-makhluk halus di atas kekuatan manusia tidak mengganggu. Dengan pemberian makan secara simbolik kepada roh halus, diharapkan roh tersebut akan jinak, dan mau membantu hidup manusia yaitu membantu permintaan manusia untuk memanggil atau menolak hujan.
Dalam buku berjudul Drawings of Balinese Sorcery (1980) karya J. Hooykaas, dia mengklasifikasikan penerangan tolak hujan dan pengujanan panggil hujan dalam kategori keeping watch, change and defence penjaga, pengubah, dan bela diri.
Tolak hujan dipadankan dengan the art of clearing the sky atau ilmu membersihkan langit, sedangkan panggil hujan dipadankan dengan the art of making wind and rain yakni ilmu membuat angin dan hujan. Mantra tolak dan panggil hujan merupakan gabungan antara mantra dan sarana teks. Sarana yang dimaksud mencakup sajen dan rerajahan gambar yang biasanya terdiri atas huruf atau figur.
Ada beberapa ritual penangkal hujan di Indonesia yang berasal dari berbagai daerah seperti Lombok, Jawa, dan Bali. Masyarakat Lombok telah menyelenggarakan Ritual Turun Taun atau “mohon hujan” menjelang musim tanam dengan sebuah iringan.
Begitupun di Jawa, tradisi tolak hujan juga dikenal dalam tradisi Kejawén (Jawa). Permohonan dilakukan dengan mendirikan sapu lidi yang ditusukkan cabai dan bawang merah lalu diiringi doa. Sementara di Bali, praktik nerang tolak hujan bahkan dapat ditemukan pada hampir setiap acara besar di perkotaan atau pedesaan.
Nerang dilakukan dengan sarana sajen, rerajahan simbol dan bahasa. Umumnya, ritual tolak hujan itu dapat ditemukan pada kegiatan keagamaan yang berskala kelompok, banjar, desa, hingga wilayah yang lebih luas.
Dalam perkembangannya, nerang bahkan juga dimanfaatkan sebagai proteksi acara non religi, seperti pelantikan pejabat, pergelaran seni budaya, pesta olahraga, pembukaan hotel, pembuatan tanggul hingga pengecoran bangunan bertingkat.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.