Sensasi Kopi Khop di Pesisir Pantai Barat Aceh
20 January 2022 |
15:53 WIB
Menyusuri jalan bebatuan, hembusan angin pantai mulai menusuk ubun-ubun, pertanda perjalanan menuju Warung Kopi (Warkop) Punti kian dekat. Benar saja, pada jarak 300 meter, pandangan sudah menjangkau uniknya Warkop Punti yang berdiri kokoh di pesisir pantai Suak Ribe, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh.
Warung kopi yang menghadap pesisir ke arah pesisir pantai barat Aceh ini menyajikan minuman khas Meulaboh, Aceh Barat, yakni kopi khop, kopi tubruk yang disajikan terbalik di atas piring kecil dan disedot menggunakan sedotan plastik. Dalam bahasa Indonesia, kopi khop berarti kopi telungkup atau terbalik.
Selain sensasi menyeruput kopi terbalik, arsitektur bangunan Warkop Punti memiliki ciri khas tersendiri. Pengunjung yang datang ke sana tidak duduk seperti kebanyakan warung kopi di Aceh. Tetapi, pelayan akan mempersilahkan pelanggan duduk di gazebo lingkaran terbuat dari bambu dan kayu yang tingginya sekitar 1 meter.
Terkesan lebih hidup, Warkop Punti mampu menghadirkan nuansa tradisional. Orang-orang di sekitar menyebutnya pondok rumbia atau jambo rumbia.
Tidak lupa, pelayan juga mempersilahkan kami berempat, Masyudi, penulis, Novira dan Wildansyah, duduk di gazebo lingkaran nomor 4. Menaiki tangga yang hanya berjumlah 5 anak tangga bukanlah hal sulit. Saya melakukannya dua kali melangkah, agar cepat berada di atas.
Sesampai di atas, pelayan memberikan brosur berisi menu minuman dan makanan. Kami bertiga memesan kopi khop dan satu porsi kentang goreng. Kecuali, Wildanysah, yang saat itu tengah puasa sunnah 1 Muharram.
“Ini benar-benar terbalik,” kataku dalam hati. Meski sudah dua kali datang menyeruput kopi khop, suasananya tetap saja menarik dan penuh tantangan. Butuh keterampilan dan kesabaran ketika menyeruput kopi khop yang berbeda dengan minum kopi biasa. Bahkan Novira, penduduk asli Meulaboh, masih kesusahan menyuruput si pahit dari tanah gayo itu.
Ketika dituang, bubuk hasil tubrukan kopi khop itu menggumpal di dasar. Suasana makin indah ketika segelas kopi khop dilumuri susu kental manis. Seolah menyempurnakan indahnya gulungan ombak di pantai Suak Ribe. Apalagi harganya cuma Rp10 ribu pergelas.
Hari itu hujan bersifat Childish alias labil. Hanya berhenti beberapa menit, kemudian mengguyur kota yang masyhur dengan sebutan Bumoe Teuku Umar itu selama berjam-jam. Betapa ekstrim cuaca hari itu akibat terpaan angin dan hujan.
Tapi, kopi khop makin membuat kami larut dalam obrolan. Mulai dari isu tentang kekerasan terhadap anak dan perempuan di Aceh yang angkanya masih cukup tinggi hingga bahasan tentang asupan makanan dan gizi anak yang harus seimbang seperti sayur, nasi, tahu tempe dan buah-buahan.
"Padahal aku asli di sini, tapi masih susah minum kopi khop ini. Jadi, wajar kalau kalian juga mengalami kesulitan saat menyeruput. Tapi inilah keunikan dan ciri khas dari kopi khop, ada sensasi tersendiri," sela Novira, di tengah obrolan, saat melihat saya dan Masyudi beberapa kali mengalami kesulitan menyeruput kopi khop.
Minggu, Agustus 2021, Novira menceritakan rata-rata gaya warung kopi khop di Meulaboh memiliki gazebo lingkaran. Tidak ada filosofi khusus dari gazebo lingkar itu. Menurut Novira, gazebo lingkar memudahkan interaksi antar sesama apabila sedang mengobrol. "Di sini memang rata-rata warung kopi khop itu, model-model gini, udah jadi ciri khas lah," tutur Novira.
Reza, salah seorang pelayan Warung Kopi Punti, menceritakan kopi khop adalah menu andalan yang sangat digemari pelanggan Warkop Punti. "Padahal kita juga punya menu lain, seperti halnya warkop di luar sana," ujar Reza.
Kata Reza, kopi khop ini bermula dari kebiasaan warga pesisir di Aceh Barat yang minum kopi dalam waktu yang lama. Sekali pesan kopi, diminum seteguk kemudian ditinggal untuk bekerja di laut.
“Agar kopi tetap hangat dan tidak tercemar debu dan kotoran, makanya gelasnya dibalik. Jadi, saat si pemesan kopi tadi kembali setelah memancing ikan di laut, mereka masih bisa menikmati kopinya lagi," ungkap Reza, yang sesekali mengalihkan pandangannya ke gazebo lain, memastikan pesanan pelanggan lain sudah beres.
Sebelum meninggalkan gazebo nomor 4, Reza sempat bilang, "silahkan coba kopi khop, aroma dan cita rasa robustanya pasti membuat Anda tak ingin mencicipinya hanya sekali. Bagi yang tidak suka rasa pahit kopi, bisa mencampurnya dengan susu," tutup Reza, sembari berlalu.
Hari itu, gazebo beratap daun alang-alang di Warkop Punti mulai dipenuhi remaja dari kampung setempat. Beberapa dari mereka adalah warga luar Gampong Suak Siribe yang rela datang untuk menyeruput kopi khop meski sore itu pesisir Samudera Hindia diguyur hujan.
Hari kian memudarkan awan, langit di kampung itu mulai merayap gelap. Seperti halnya burung nokturnal, dalam gelap malam kami bergegas meninggalkan Kota Tauhid Sufi menuju Kota Gemilang, Banda Aceh. Selamat tinggal sensasi kopi khop!
Warung kopi yang menghadap pesisir ke arah pesisir pantai barat Aceh ini menyajikan minuman khas Meulaboh, Aceh Barat, yakni kopi khop, kopi tubruk yang disajikan terbalik di atas piring kecil dan disedot menggunakan sedotan plastik. Dalam bahasa Indonesia, kopi khop berarti kopi telungkup atau terbalik.
Selain sensasi menyeruput kopi terbalik, arsitektur bangunan Warkop Punti memiliki ciri khas tersendiri. Pengunjung yang datang ke sana tidak duduk seperti kebanyakan warung kopi di Aceh. Tetapi, pelayan akan mempersilahkan pelanggan duduk di gazebo lingkaran terbuat dari bambu dan kayu yang tingginya sekitar 1 meter.
Terkesan lebih hidup, Warkop Punti mampu menghadirkan nuansa tradisional. Orang-orang di sekitar menyebutnya pondok rumbia atau jambo rumbia.
Tidak lupa, pelayan juga mempersilahkan kami berempat, Masyudi, penulis, Novira dan Wildansyah, duduk di gazebo lingkaran nomor 4. Menaiki tangga yang hanya berjumlah 5 anak tangga bukanlah hal sulit. Saya melakukannya dua kali melangkah, agar cepat berada di atas.
Sesampai di atas, pelayan memberikan brosur berisi menu minuman dan makanan. Kami bertiga memesan kopi khop dan satu porsi kentang goreng. Kecuali, Wildanysah, yang saat itu tengah puasa sunnah 1 Muharram.
Penulis dan sahabat sedang menikmati kopi di warung punti (Sumber gambar: DokPri)
“Ini benar-benar terbalik,” kataku dalam hati. Meski sudah dua kali datang menyeruput kopi khop, suasananya tetap saja menarik dan penuh tantangan. Butuh keterampilan dan kesabaran ketika menyeruput kopi khop yang berbeda dengan minum kopi biasa. Bahkan Novira, penduduk asli Meulaboh, masih kesusahan menyuruput si pahit dari tanah gayo itu.
Ketika dituang, bubuk hasil tubrukan kopi khop itu menggumpal di dasar. Suasana makin indah ketika segelas kopi khop dilumuri susu kental manis. Seolah menyempurnakan indahnya gulungan ombak di pantai Suak Ribe. Apalagi harganya cuma Rp10 ribu pergelas.
Hari itu hujan bersifat Childish alias labil. Hanya berhenti beberapa menit, kemudian mengguyur kota yang masyhur dengan sebutan Bumoe Teuku Umar itu selama berjam-jam. Betapa ekstrim cuaca hari itu akibat terpaan angin dan hujan.
Tapi, kopi khop makin membuat kami larut dalam obrolan. Mulai dari isu tentang kekerasan terhadap anak dan perempuan di Aceh yang angkanya masih cukup tinggi hingga bahasan tentang asupan makanan dan gizi anak yang harus seimbang seperti sayur, nasi, tahu tempe dan buah-buahan.
"Padahal aku asli di sini, tapi masih susah minum kopi khop ini. Jadi, wajar kalau kalian juga mengalami kesulitan saat menyeruput. Tapi inilah keunikan dan ciri khas dari kopi khop, ada sensasi tersendiri," sela Novira, di tengah obrolan, saat melihat saya dan Masyudi beberapa kali mengalami kesulitan menyeruput kopi khop.
Minggu, Agustus 2021, Novira menceritakan rata-rata gaya warung kopi khop di Meulaboh memiliki gazebo lingkaran. Tidak ada filosofi khusus dari gazebo lingkar itu. Menurut Novira, gazebo lingkar memudahkan interaksi antar sesama apabila sedang mengobrol. "Di sini memang rata-rata warung kopi khop itu, model-model gini, udah jadi ciri khas lah," tutur Novira.
Reza, salah seorang pelayan Warung Kopi Punti, menceritakan kopi khop adalah menu andalan yang sangat digemari pelanggan Warkop Punti. "Padahal kita juga punya menu lain, seperti halnya warkop di luar sana," ujar Reza.
Kata Reza, kopi khop ini bermula dari kebiasaan warga pesisir di Aceh Barat yang minum kopi dalam waktu yang lama. Sekali pesan kopi, diminum seteguk kemudian ditinggal untuk bekerja di laut.
“Agar kopi tetap hangat dan tidak tercemar debu dan kotoran, makanya gelasnya dibalik. Jadi, saat si pemesan kopi tadi kembali setelah memancing ikan di laut, mereka masih bisa menikmati kopinya lagi," ungkap Reza, yang sesekali mengalihkan pandangannya ke gazebo lain, memastikan pesanan pelanggan lain sudah beres.
Sebelum meninggalkan gazebo nomor 4, Reza sempat bilang, "silahkan coba kopi khop, aroma dan cita rasa robustanya pasti membuat Anda tak ingin mencicipinya hanya sekali. Bagi yang tidak suka rasa pahit kopi, bisa mencampurnya dengan susu," tutup Reza, sembari berlalu.
Hari itu, gazebo beratap daun alang-alang di Warkop Punti mulai dipenuhi remaja dari kampung setempat. Beberapa dari mereka adalah warga luar Gampong Suak Siribe yang rela datang untuk menyeruput kopi khop meski sore itu pesisir Samudera Hindia diguyur hujan.
Hari kian memudarkan awan, langit di kampung itu mulai merayap gelap. Seperti halnya burung nokturnal, dalam gelap malam kami bergegas meninggalkan Kota Tauhid Sufi menuju Kota Gemilang, Banda Aceh. Selamat tinggal sensasi kopi khop!
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.