Ini Ancaman Keamanan Siber yang Patut Diwaspadai pada 2022
24 December 2021 |
19:31 WIB
Menjelang tahun 2022, pandemi Covid-19 makin masif di Eropa dan belahan dunia lain, varian Omicron sebagai salah satu penyebabnya. Hal ini membuat bekerja dari rumah atau work from home (WFH) kembali diberlakukan dengan massif di berbagai negara.
Hal tersebut tentu saja menjadi ancaman bagi keamanan siber. Sebab, WFH yang dilakukan sepanjang pandemi Covid-19 selama nyari dua tahun menjadi penyebab tingginya peretasan dan kebocoran data.
Pakar keamanan siber sekaligus Chairman Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha, menjelaskan bahwa ancaman siber pada 2022 tidak akan jauh seperti di 2021.
Khusus untuk Indonesia, pekerjaan rumah yang menanti adalah mencegah berbagai kebocoran data, terutama di lembaga negara dan swasta yang memproses data pribadi masyarakat dalam jumlah sangat banyak.
“Pada tahun 2021 ini, Indonesia mencatatkan rekor buruk di global pada kasus kebocoran BPJS kesehatan. Karena kebocoran 279 juta data tersebut masuk pada urutan pelanggaran data terbesar yang dicatat oleh berbagai lembaga siber di seluruh dunia. Dari peristiwa tersebut, seharusnya pemerintah bisa belajar kesalahan tersebut dan tidak mengulanginnya pada tahun-tahun mendatang,” katanya melalui keterangan resmi yang diterima Hypeabis pada Jumat (24/12/2021).
(Baca juga: Begini 5 Prediksi Keamanan Siber 2022 Versi Palo Alto)
Pratama menjelaskan pencurian data masih akan menjadi tren di 2022. Data dalam jumlah masif semakin dibutuhkan oleh banyak pihak, baik untuk kegiatan legal maupun ilegal.
Memang ini terjadi secara global, namun dengan pemakai internet hingga Januari tahun ini yang menembus lebih dari 200 juta penduduk, tentunya Indonesia harus lebih serius dalam permasalahan ini.
“Pencurian data atau serangan siber memang sangat sulit dicegah. Namun itu semua bisa ditekan dengan pendekatan hukum lewat UU, juga pendekatan SDM dan teknologi. UU Perlindungan Data Pribadi menjadi pembahasan pemberitaan selama 2020-2021 karena begitu banyak kebocoran data dan masyarakat tidak bisa apa-apa karena tidak ada instrumen yang melindungi,” paparnya.
Ancaman ransomware juga akan terus tumbuh. Serangan ini diperkirakan akan meningkat di industri kritis di mana membayar penjahat siber terpaksa dilakukan untuk melindungi keamanan dan keselamatan data demi keberlangsungan institusi atau perusahaannya.
“Tahun 2022, prediksi berdasarkan tren global yang ada dengan melihat pola penyerangan dan inovasi teknologi yang terus berubah, maka serangan ransomware diproyeksikan bakal meningkat, hingga deepfake juga masalah kerentanan perangkat IoT yang kemungkinan akan menambah ancaman terhadap keamanan siber,” terang pria asal Cepu Jawa Tengah ini.
Pratama menambahkan peristiwa seperti bocornya data institusi pemerintah dari Polri, BPJS Kesehatan, e-HAC, dan banyaknya peretasan pada web pemerintah contohnya setkab, DPR, diharapkan bisa ditekan pada tahun mendatang sehingga meningkatkan kepercayaan dunia internasional pada Indonesia. Karena itu Pratama menggarisbawahi pentingnya UU Perlindungan Data Pribadi selesai segera pada 2022.
“Padahal RUU PDP sudah prolegnas pada tahun 2021, tapi hingga saat ini masih belum nampak untuk disahkan. Kendalanya yaitu karena RUU PDP saat ini adalah di Komisi PDP itu sendiri, belum ada kesepakatan antara DPR dan Kominfo. Kemenkominfo sendiri masih kekeuh untuk Komisi PDP berada dibawah Kementrian Kominfo, sedangkan Komisi 1 DPR serta elemen masyarakat termasuk CISSReC ingin Komisi PDP berdiri sendiri seperti Komisi negara lainnya,” tegas Pratama.
Belum lagi isu Metaverse, ini menjadi tantangan serius, apakah negara punya cukup regulasi untuk mengatur metaverse nantinya. Karena ini kan seperti tanah wilayah tapi di wilayah siber. Bagaimana regulasinya, apakah kita siap atau tidak, masih ada waktu 1-2 tahun untuk negara siap menghadapi ini.
"Karena bila negara tidak siap, maka masyarakat akan secara otodidiak dan otomatis masuk tanpa bekal apapun. Ini berbahaya karena bisa menyedot potensi ekonomi kita, transaksi terjadi di metaverse misalnya tanpa melewati negara," tutupnya.
Editor: Avicenna
Hal tersebut tentu saja menjadi ancaman bagi keamanan siber. Sebab, WFH yang dilakukan sepanjang pandemi Covid-19 selama nyari dua tahun menjadi penyebab tingginya peretasan dan kebocoran data.
Pakar keamanan siber sekaligus Chairman Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha, menjelaskan bahwa ancaman siber pada 2022 tidak akan jauh seperti di 2021.
Khusus untuk Indonesia, pekerjaan rumah yang menanti adalah mencegah berbagai kebocoran data, terutama di lembaga negara dan swasta yang memproses data pribadi masyarakat dalam jumlah sangat banyak.
“Pada tahun 2021 ini, Indonesia mencatatkan rekor buruk di global pada kasus kebocoran BPJS kesehatan. Karena kebocoran 279 juta data tersebut masuk pada urutan pelanggaran data terbesar yang dicatat oleh berbagai lembaga siber di seluruh dunia. Dari peristiwa tersebut, seharusnya pemerintah bisa belajar kesalahan tersebut dan tidak mengulanginnya pada tahun-tahun mendatang,” katanya melalui keterangan resmi yang diterima Hypeabis pada Jumat (24/12/2021).
(Baca juga: Begini 5 Prediksi Keamanan Siber 2022 Versi Palo Alto)
Pratama menjelaskan pencurian data masih akan menjadi tren di 2022. Data dalam jumlah masif semakin dibutuhkan oleh banyak pihak, baik untuk kegiatan legal maupun ilegal.
Memang ini terjadi secara global, namun dengan pemakai internet hingga Januari tahun ini yang menembus lebih dari 200 juta penduduk, tentunya Indonesia harus lebih serius dalam permasalahan ini.
“Pencurian data atau serangan siber memang sangat sulit dicegah. Namun itu semua bisa ditekan dengan pendekatan hukum lewat UU, juga pendekatan SDM dan teknologi. UU Perlindungan Data Pribadi menjadi pembahasan pemberitaan selama 2020-2021 karena begitu banyak kebocoran data dan masyarakat tidak bisa apa-apa karena tidak ada instrumen yang melindungi,” paparnya.
Ancaman ransomware juga akan terus tumbuh. Serangan ini diperkirakan akan meningkat di industri kritis di mana membayar penjahat siber terpaksa dilakukan untuk melindungi keamanan dan keselamatan data demi keberlangsungan institusi atau perusahaannya.
“Tahun 2022, prediksi berdasarkan tren global yang ada dengan melihat pola penyerangan dan inovasi teknologi yang terus berubah, maka serangan ransomware diproyeksikan bakal meningkat, hingga deepfake juga masalah kerentanan perangkat IoT yang kemungkinan akan menambah ancaman terhadap keamanan siber,” terang pria asal Cepu Jawa Tengah ini.
Pratama menambahkan peristiwa seperti bocornya data institusi pemerintah dari Polri, BPJS Kesehatan, e-HAC, dan banyaknya peretasan pada web pemerintah contohnya setkab, DPR, diharapkan bisa ditekan pada tahun mendatang sehingga meningkatkan kepercayaan dunia internasional pada Indonesia. Karena itu Pratama menggarisbawahi pentingnya UU Perlindungan Data Pribadi selesai segera pada 2022.
“Padahal RUU PDP sudah prolegnas pada tahun 2021, tapi hingga saat ini masih belum nampak untuk disahkan. Kendalanya yaitu karena RUU PDP saat ini adalah di Komisi PDP itu sendiri, belum ada kesepakatan antara DPR dan Kominfo. Kemenkominfo sendiri masih kekeuh untuk Komisi PDP berada dibawah Kementrian Kominfo, sedangkan Komisi 1 DPR serta elemen masyarakat termasuk CISSReC ingin Komisi PDP berdiri sendiri seperti Komisi negara lainnya,” tegas Pratama.
Belum lagi isu Metaverse, ini menjadi tantangan serius, apakah negara punya cukup regulasi untuk mengatur metaverse nantinya. Karena ini kan seperti tanah wilayah tapi di wilayah siber. Bagaimana regulasinya, apakah kita siap atau tidak, masih ada waktu 1-2 tahun untuk negara siap menghadapi ini.
"Karena bila negara tidak siap, maka masyarakat akan secara otodidiak dan otomatis masuk tanpa bekal apapun. Ini berbahaya karena bisa menyedot potensi ekonomi kita, transaksi terjadi di metaverse misalnya tanpa melewati negara," tutupnya.
Editor: Avicenna
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.