sumber gambar ilustrasi: Pixabay dari pexels

Musisi dan Pencipta Lagu Menolak Ketentuan Baru tentang Royalti

20 December 2021   |   15:24 WIB
Image
Yudi Supriyanto Jurnalis Hypeabis.id

Aliansi Musisi Pencipta Lagu Indonesia atau AMPLI menolak ketentuan-ketentuan dalam PP 56/2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik dan Permenkumham Nomor 20/2021 tentang Peraturan Pelaksanaan PP 56/2021 yang memberikan pihak swasta kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti. 

Musisi dan inisiator AMPLI Indra Lesmana, dalam pembacaan pernyataan sikap, menuturkan AMPLI meminta PP 56/2021 dan Permenkumham 20/2021 dibatalkan. 

Kemudian, AMPLI juga menolak segala kebijakan pemerintah yang membuka pintu bagi pihak swasta untuk mengambil alih peran negara dalam melaksanakan kewenangan penarikan, penghimpunan, dan pendistribusian royalti yang merupakan kewenangan Negara. 

AMPLI jug mendorong pemerintah Indonesia untuk membangun Pusat Data Lagu dan Musik (PDLM) serta Sistem Informasi Musik dan Lagu (SILM) bersama Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual selaku regulator pengelolaan hak cipta. 

Dia menambahkan AMPLI mendorong (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) LMKN untuk memperbaiki kinerja dan transparansinya untuk kembali membangun kepercayaan publik selama pengembangan PDLM dan SILM.

"Berdasarkan hal-hal tersebut, AMPLI mengajak seluruh pelaku industri musik untuk
melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah serta perkembangan dalam 
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan industri musik dan pengelolaan hak cipta demi tumbuhnya tata kelola industri musik yang sehat dan berkelanjutan," katanya membacakan pernyataan sikap. 

Dalam pembacaan pernyataan tersebut, dia menyebutkan UU 28/2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) telah memberikan landasan hukum bagi pembentukan Lembaga  Manajemen Kolektif (LMK) yang berbentuk badan usaha nirlaba dan LMKN yang berbentuk lembaga bantu  pemerintah sebagai lembaga penarik, penghimpun, dan pendistribusian royalti. 

Sebagaimana tersirat dalam UU Hak Cipta, pembentuk undang-undang telah  menyadari sepenuhnya bahwa masalah royalti sebagai amanah dari pencipta, haruslah diurus dan ditangani secara transparan oleh lembaga-lembaga non- komersial. 

Namun, lanjutnya kedua beleid tersebut telah memperkenankan pihak ketiga berbentuk perusahaan swasta (korporasi) untuk ikut mengambil alih fungsi penarikan, penghimpunan dan distribusi royalti, dengan dalih pembentukan SILM. 

Lebih jauh lagi, Permenkumham 20/2021 ternyata memberikan kewenangan yang berlebih kepada korporasi. 

Bukan hanya sebagai vendor untuk membangun SILM, tapi juga mengambil alih seluruh kewenangan dan fungsi LMKN, dengan atribut sebagai pelaksana harian, dan diberikan hak untuk memotong 20 persen dari royalti yang ditarik dan dihimpun untuk kepentingan dana operasional. 

Sehingga, potongan yang semula hanya 20 persen untuk dana operasional LMK (termasuk LMKN) bertambah 20 persen lagi. "Padahal, dalam UU Hak Cipta, potongan maksimal seharusnya hanya 20 persen. Kebijakan ini jelas bertentangan dengan UU Hak Cipta dan sangat merugikan para pencipta lagu," ujarnya.

Ketentuan dalam kedua beleid tersebut dinilai telah menyerahkan kewenangan yang sangat besar kepada korporasi, tanpa melalui uji publik dan konsultasi dengan para pencipta dan para pemangku kepentingan yang lain. 

Kemudian, lanjutnya tanpa ada pengaturan dan distribusi royalti yang transparan, akuntabel, mengutamakan penyelarasan dengan hukum, tata kelola industri musik yang menjadi penopang keberlanjutan budaya Indonesia tidak dapat berkembang dengan sebagaimana mestinya.

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Taco Bell Indonesia Jual 8 Ton Nachos dalam Setahun

BERIKUTNYA

5 Kostum Menarik di Karpet Merah Premiere The Matrix Resurrections

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: