Ini 6 Efek Negatif FOMO Bagi Kehidupan, Simak Yuk Sebelum Kalian Terpapar
31 May 2021 |
16:44 WIB
Kalian pernah enggak sih membeli barang karena lagi tren? Itu tandanya kamu lagi kena sindrom Fear of Missing Out (FOMO).
Kalau kata Co Founder OneShildt Financial Planning Budi Raharjo nih, FOMO itu sebuah rasa emosional dari kita yang khawatir kalau ketinggalan suatu acara, kejadian, partisipasi, atau barang yang lagi ngetren atau hype.
Fenomena FOMO pun sejatinya teridentifikasi sejak 1996. Ketika itu, seorang doktor di bidang strategi marketing, Dan Herman melakukan riset yang menemukan, ternyata kalau memancing rasa takut seseorang akan ketinggalan tren, produk atau jasa yang dipasarkan akan laris manis.
Istilah FOMO pun kemudian dipopulerkan oleh Patrick J. McGinnis. FOMO kemudian menjadi strategi bisnis dengan melesatnya teknologi dan banyaknya orang yang menggunakan media sosial.
"FOMO berdampak positif untuk bisnis tapi berdampak negatif untuk kantong kita," tegas Budi dalam acara diskusi yang digelar Bisnis Muda, Senin (31/5/2021).
Ya, di masa sekarang ini, media sosial menjadi kendaraan untuk membangkitkan FOMO. Begitu sisi emosi kita terdorong, efeknya pertimbangan logika kita menurun, di saat itu kita membeli sesuatu yang tidak rasional. Akibatnya kita menjadi impulsive buying atau pembelian sesuatu yang sejatinya sedang tidak kita perlukan. Jika ini diteruskan, keuangan atau tabungan kita bisa jebol!
Berikut ini efek negatif dari FOMO :
1. Besar pasak daripada tiang
FOMO membuat kita ingin mengikuti suatu hal hanya untuk dianggap oleh komunitas atau tidak ketinggalan zaman. Kita memaksakan diri sendiri padahal keuangan kita belum tentu bagus. Akhirnya kita memakai post anggaran lain seperti tabungan hingga pinjaman online hanya untuk memenuhi hasrat FOMO tersebut.
2. Perilaku investasi irasional
Jelas, efek FOMO bikin kita emosional. Misalnya mengikuti tren investasi. Ingat, setiap instrumen investasi ada potensi keuntungan dan risiko. Semakin tinggi keuntungan, semakin tinggi juga risikonya.
Sifat yang ikut-ikutan ini bahaya. Apalagi kalau kita tidak paham dengan instrumen dan cara kerja investasi yang kita pilih. Oleh karena itu, jangan ikuti investasi yang sedang tren, apalagi kalau kamu belum punya dana darurat. Kenali dulu instrumen investasi yang ingin kamu pilih ya!
3. Kontrol keuangan buruk
FOMO memaksa kita harus membeli saat itu juga. Kita dikuasai hasrat untuk tidak ketinggalan zaman, namun akhirnya kita kehilangan keuangan.
Tak sedikit orang yang terkena sindrom FOMO hingga harus berhutang untuk memenuhi hasratnya. Akibatnya kondisi keuangan mereka terpengaruh.
4. Pondasi keuangan tidak sehat
Utang berlebih akibat FOMO membuat problem cash flow atau arus kas kita. Akhirnya tiap bulan cashflow kita selalu defisit.
Lagi-lagi, FOMO tidak hanya menyita penghasilan biasa bahkan luar biasa besar. Ujung-ujungnya penghasilan yang kita dapat hanya untuk bayar cicilan utang atau memperbaiki keuangan yang ambyar.
Kata Budi, memperbaiki keuangan supaya sehat lagi butuh waktu 3-5 tahun lho. Bahkan jika ingin cepat, aset yang ada harus dijual.
5. Stres keuangan
Stres keuangan ternyata bikin kita nggak produktif nih. Hal ini karena fokus kita setiap hari berpikir bagaimana cara menggantikan uang yang habis karena FOMO. Apalagi kalau ditagih penyedia pinjaman online (pinjol) atau debt collector.
"Dari riset, FOMO bisa memicu stres keuangan, memicu tindakan kriminal bisa korupsi, mencuri, atau kalau orang jujur saking kepikiran terhadap cicilan, akhirnya bisa sakit maag, nanti jatuh ke kepala, sehingga kehadiran dalam pekerjaan jadi rendah," jelas Budi.
6. Bubble investasi
Ini terjadi ketika suatu aset, harganya sudah di atas batas kewajaran. Sebagai contoh masker pada awal pandemi. Harganya melambung tinggi ketika permintaan naik karena orang khawatir terkena Covid-19 dan kehabisan stok masker. "Demand lebih besar dari suplai," sebut Budi.
Bubble investasi bisa terjadi pada semua hal, termasuk properti dan saham. "Ada saham secara fundamental nggak layak koleksi, tapi ketika ngetren, harga saham naik luar biasa. Itu yang disebut FOMO akibat bubble investasi," pungkas Budi.
Editor: Dika Irawan
Kalau kata Co Founder OneShildt Financial Planning Budi Raharjo nih, FOMO itu sebuah rasa emosional dari kita yang khawatir kalau ketinggalan suatu acara, kejadian, partisipasi, atau barang yang lagi ngetren atau hype.
Fenomena FOMO pun sejatinya teridentifikasi sejak 1996. Ketika itu, seorang doktor di bidang strategi marketing, Dan Herman melakukan riset yang menemukan, ternyata kalau memancing rasa takut seseorang akan ketinggalan tren, produk atau jasa yang dipasarkan akan laris manis.
Istilah FOMO pun kemudian dipopulerkan oleh Patrick J. McGinnis. FOMO kemudian menjadi strategi bisnis dengan melesatnya teknologi dan banyaknya orang yang menggunakan media sosial.
"FOMO berdampak positif untuk bisnis tapi berdampak negatif untuk kantong kita," tegas Budi dalam acara diskusi yang digelar Bisnis Muda, Senin (31/5/2021).
Ya, di masa sekarang ini, media sosial menjadi kendaraan untuk membangkitkan FOMO. Begitu sisi emosi kita terdorong, efeknya pertimbangan logika kita menurun, di saat itu kita membeli sesuatu yang tidak rasional. Akibatnya kita menjadi impulsive buying atau pembelian sesuatu yang sejatinya sedang tidak kita perlukan. Jika ini diteruskan, keuangan atau tabungan kita bisa jebol!
Berikut ini efek negatif dari FOMO :
1. Besar pasak daripada tiang
FOMO membuat kita ingin mengikuti suatu hal hanya untuk dianggap oleh komunitas atau tidak ketinggalan zaman. Kita memaksakan diri sendiri padahal keuangan kita belum tentu bagus. Akhirnya kita memakai post anggaran lain seperti tabungan hingga pinjaman online hanya untuk memenuhi hasrat FOMO tersebut.
2. Perilaku investasi irasional
Jelas, efek FOMO bikin kita emosional. Misalnya mengikuti tren investasi. Ingat, setiap instrumen investasi ada potensi keuntungan dan risiko. Semakin tinggi keuntungan, semakin tinggi juga risikonya.
Sifat yang ikut-ikutan ini bahaya. Apalagi kalau kita tidak paham dengan instrumen dan cara kerja investasi yang kita pilih. Oleh karena itu, jangan ikuti investasi yang sedang tren, apalagi kalau kamu belum punya dana darurat. Kenali dulu instrumen investasi yang ingin kamu pilih ya!
3. Kontrol keuangan buruk
FOMO memaksa kita harus membeli saat itu juga. Kita dikuasai hasrat untuk tidak ketinggalan zaman, namun akhirnya kita kehilangan keuangan.
Tak sedikit orang yang terkena sindrom FOMO hingga harus berhutang untuk memenuhi hasratnya. Akibatnya kondisi keuangan mereka terpengaruh.
4. Pondasi keuangan tidak sehat
Utang berlebih akibat FOMO membuat problem cash flow atau arus kas kita. Akhirnya tiap bulan cashflow kita selalu defisit.
Lagi-lagi, FOMO tidak hanya menyita penghasilan biasa bahkan luar biasa besar. Ujung-ujungnya penghasilan yang kita dapat hanya untuk bayar cicilan utang atau memperbaiki keuangan yang ambyar.
Kata Budi, memperbaiki keuangan supaya sehat lagi butuh waktu 3-5 tahun lho. Bahkan jika ingin cepat, aset yang ada harus dijual.
5. Stres keuangan
Stres keuangan ternyata bikin kita nggak produktif nih. Hal ini karena fokus kita setiap hari berpikir bagaimana cara menggantikan uang yang habis karena FOMO. Apalagi kalau ditagih penyedia pinjaman online (pinjol) atau debt collector.
"Dari riset, FOMO bisa memicu stres keuangan, memicu tindakan kriminal bisa korupsi, mencuri, atau kalau orang jujur saking kepikiran terhadap cicilan, akhirnya bisa sakit maag, nanti jatuh ke kepala, sehingga kehadiran dalam pekerjaan jadi rendah," jelas Budi.
6. Bubble investasi
Ini terjadi ketika suatu aset, harganya sudah di atas batas kewajaran. Sebagai contoh masker pada awal pandemi. Harganya melambung tinggi ketika permintaan naik karena orang khawatir terkena Covid-19 dan kehabisan stok masker. "Demand lebih besar dari suplai," sebut Budi.
Bubble investasi bisa terjadi pada semua hal, termasuk properti dan saham. "Ada saham secara fundamental nggak layak koleksi, tapi ketika ngetren, harga saham naik luar biasa. Itu yang disebut FOMO akibat bubble investasi," pungkas Budi.
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.