Ilustrasi Red Flag (Dok. Unsplash)

Red Flag, Kriteria Personal atau Universal? Ini Kata Psikolog

30 November 2021   |   22:33 WIB

Belakangan red flag kian marak dibicarakan di jagat maya terutama Twitter. Berseliweran berbagai karakteristik dan perilaku ‘buruk’ yang ditambahkan dengan emoji red flag. Meski beberapa kicauan ada yang sekadar bercanda, permasalahan red flag ini sendiri menarik untuk dibahas lebih jauh.

Red flag adalah istilah populer yang mewakili alasan seseorang ‘menghentikan’ hubungan. Fungsinya kurang lebih seperti lampu merah di jalan raya. Dengan munculnya red flag ini, seseorang akan menghentikan hubungannya demi kebaikan dirinya.

Beberapa red flag ada yang disepakati orang-orang, misalnya perilaku abusive, kebohongan, perselingkuhan, gaya hidup destruktif, dan semacamnya. 

Meski demikian, seperti yang tampak di media sosial, ada juga sejumlah red flag yang sekilas terasa terlalu sepele. Ada yang memberi red flag untuk zodiak tertentu; ada juga yang memberi red flag untuk seseorang yang tidak menyukai film tertentu.
 
Terkait berbagai macam red flag tersebut, Inez Kristanti, Psikolog Klinis, menyebut bahwa red flag sifatnya bisa personal, tapi juga bisa universal. Menurutnya, sangat mungkin ada sikap atau perilaku yang menjadi red flag bagi seseorang tapi tidak bagi orang lain.

“Misalkan selera musik atau selera film. Mungkin ada orang yang menganggap itu penting banget. Let’s say dia kerjanya memang di bidang itu, atau memiliki history yang sangat personal soal itu. Ya mungkin boleh-boleh aja dia menjadikan itu kriteria,” ucapnya kepada Hypeabis.id.

Meski demikian, Inez memberi catatan bahwa ketika seseorang mempunyai begitu banyak kriteria yang sifatnya preferensi, calon pasangan yang cocok kemungkinan akan terbatas. 

Nantinya, pada satu titik, jika tak kunjung menemukan yang benar-benar perfect, seseorang dapat merefleksikan lagi kriterianya. Bukan tidak mungkin juga ia berkompromi, mengingat perbedaan selera dalam hubungan itu sendiri adalah hal yang wajar.

“Orang yang dewasa secara psikologis harusnya bisa menempatkan dirinya. Mana nilai-nilai yang penting, dan mana yang bisa kompromikan,” ucapnya.

Inez kemudian memberi contoh soal pasangan yang memiliki perbedaan pandangan soal memiliki anak. 

Meski bukan kekerasan, perbedaan soal keinginan mempunyai anak bisa menjadi masalah. Sangat bisa dipahami jika seseorang tidak melanjutkan hubungan gara-gara hal ini.

“Jadi, ada derajatnya masing-masing untuk berbagai preferensi tersebut. Ada yang memang punya value yang begitu penting, ada juga yang mungkin enggak terlalu. Nah, di situ kita perlu bijak juga sih menurut saya,” ucapnya.

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Yook Sung-jae BTOB Bakal Bintangi Drakor Adaptasi Webtoon

BERIKUTNYA

Lengkapi Layanan Keuangan, OVO Sediakan Fitur-Fitur Baru

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: