Kenapa Seorang Founder Resign dari Perusahaannya?
30 November 2021 |
22:06 WIB
Orang bilang, tidak ada yang lebih mengetahui sesuatu melebihi penciptanya. Hal ini tentu berlaku juga untuk dunia korporasi. Oleh karenanya, kabar Jack Dorsey mundur dari posisi CEO Twitter menjadi buah bibir. Tak sedikit yang bertanya-tanya, mengapa seorang founder meninggalkan perusahaan yang dibuatnya?
Dalam email yang ditulisnya, Jack Dorsey menyebut bahwa dia memahami pentingnya perusahaan dipimpin oleh pendirinya (founder-led). Meski demikian, dia juga merasa bahwa pandangan itu tidak sepenuhnya tepat.
Jack Dorsey menyebut bahwa dia sudah mempersiapkan Twitter agar menjadi perusahaan yang bisa lepas dari pendirinya. Dia pun telah yakin dengan suksesornya, Parag Agrawal, yang sebelumnya menjabat sebagai CTO.
Tepat tidaknya keputusan Jack Dorsey tentu hanya bisa dijawab oleh waktu. Akan tetapi, terlepas dari apa yang terjadi di Twitter, fenomena founder meninggalkan perusahaan yang dibuatnya sesungguhnya bukan hal yang baru.
Derek Lidow, pengusaha dan peneliti dari Princeton University, menyebut bahwa transisi dari founder ke suksesor yang kompeten dapat membawa perusahaan menuju ke kesuksesan yang lebih besar.
Dalam artikelnya di Forbes, Derek Lidow memberi contoh Intel. Intel yang didirikan oleh Robert Noyce dan Gordon Moore pada 1968 ‘dilepas’ untuk dipimpin oleh Andy Grove pada 1987.
Hasilnya, Intel mengalami pertumbuhan fantastis pada 1991 hingga 1996, dengan pertumbuhan revenue hingga 336%. Berkat kesuksesannya itu, Andy Grove bahkan didapuk sebagai Man of the Year oleh Time pada 1997.
(Baca juga: Jack Dorsey Mundur dari Posisi CEO Twitter, Ini Alasannya)
Kesuksesan demikian tentunya tidak selalu terjadi. Ada beberapa perusahaan yang hilang arah ketika founder-nya yang karismatik pergi atau meninggal. Salah satu perusahaan yang disebut Lidow mengalami ini adalah Apple yang ditinggal Steve Jobs.
“Kadang, sebagaimana yang terjadi pada Steve Jobs, perusahaan menyadari bahwa mereka perlu meminta founder untuk memimpin lagi, seperti halnya yang Starbucks lakukan pada Howard Schultz, Nike pada Phil Knight, dan Dell pada Michael Dell,” tulis Lidow.
Adapun pada hari ini ada beberapa founder yang masih memimpin, tapi disebut mulai tidak kompeten dalam memimpin perusahaannya. Dua di antaranya adalah Elon Musk dan Larry Page.
“Elon Musk belum mempersiapkan Tesla untuk bersaing dengan pendatang baru di pasar mobil listrik, sebuah kesalahan besar. Sementara Larry Page, menurut laporan Bloomberg, makin tidak fokus menghadapi masalah-masalah di Google, dan lebih banyak menghabiskan waktunya di pulau pribadinya di Karibia,” tulisnya.
Bisa dibilang memang tidak ada ketentuan pasti tentang apa yang terbaik untuk sebuah perusahaan, karena kasus di setiap perusahan pasti beda-beda. Namun, kembali lagi, skenario founder meninggalkan perusahaannya adalah hal yang lumrah.
Jeff Lynn, co-founder Seedrs, bahkan menulis di website-nya bahwa seorang founder memang punya masa berlakunya.
CEO sekaligus founder dibutuhkan pada awal-awal bisnis untuk menunjukkan apa yang perlu dilakukan. Sementara ketika bisnis sudah besar, yang lebih dibutuhkan adalah cara menjalankannya.
Dengan kata lain, saat memulai bisnis, yang dibutuhkan memang adalah inovasi dan ide gila seorang founder. Namun, ketika perusahaan sudah besar, dibutuhkan kepemimpinan yang lebih terencana dan disiplin.
“Hanya sedikit orang yang bisa melakukannya keduanya, karena menurut saya, keduanya merupakan dua tipe kepribadian dan skill yang berbeda,” ucapnya.
Editor: Fajar Sidik
Dalam email yang ditulisnya, Jack Dorsey menyebut bahwa dia memahami pentingnya perusahaan dipimpin oleh pendirinya (founder-led). Meski demikian, dia juga merasa bahwa pandangan itu tidak sepenuhnya tepat.
Jack Dorsey menyebut bahwa dia sudah mempersiapkan Twitter agar menjadi perusahaan yang bisa lepas dari pendirinya. Dia pun telah yakin dengan suksesornya, Parag Agrawal, yang sebelumnya menjabat sebagai CTO.
not sure anyone has heard but,
— jack?? (@jack) November 29, 2021
I resigned from Twitter pic.twitter.com/G5tUkSSxkl
Tepat tidaknya keputusan Jack Dorsey tentu hanya bisa dijawab oleh waktu. Akan tetapi, terlepas dari apa yang terjadi di Twitter, fenomena founder meninggalkan perusahaan yang dibuatnya sesungguhnya bukan hal yang baru.
Derek Lidow, pengusaha dan peneliti dari Princeton University, menyebut bahwa transisi dari founder ke suksesor yang kompeten dapat membawa perusahaan menuju ke kesuksesan yang lebih besar.
Dalam artikelnya di Forbes, Derek Lidow memberi contoh Intel. Intel yang didirikan oleh Robert Noyce dan Gordon Moore pada 1968 ‘dilepas’ untuk dipimpin oleh Andy Grove pada 1987.
Hasilnya, Intel mengalami pertumbuhan fantastis pada 1991 hingga 1996, dengan pertumbuhan revenue hingga 336%. Berkat kesuksesannya itu, Andy Grove bahkan didapuk sebagai Man of the Year oleh Time pada 1997.
(Baca juga: Jack Dorsey Mundur dari Posisi CEO Twitter, Ini Alasannya)
Kesuksesan demikian tentunya tidak selalu terjadi. Ada beberapa perusahaan yang hilang arah ketika founder-nya yang karismatik pergi atau meninggal. Salah satu perusahaan yang disebut Lidow mengalami ini adalah Apple yang ditinggal Steve Jobs.
“Kadang, sebagaimana yang terjadi pada Steve Jobs, perusahaan menyadari bahwa mereka perlu meminta founder untuk memimpin lagi, seperti halnya yang Starbucks lakukan pada Howard Schultz, Nike pada Phil Knight, dan Dell pada Michael Dell,” tulis Lidow.
Adapun pada hari ini ada beberapa founder yang masih memimpin, tapi disebut mulai tidak kompeten dalam memimpin perusahaannya. Dua di antaranya adalah Elon Musk dan Larry Page.
“Elon Musk belum mempersiapkan Tesla untuk bersaing dengan pendatang baru di pasar mobil listrik, sebuah kesalahan besar. Sementara Larry Page, menurut laporan Bloomberg, makin tidak fokus menghadapi masalah-masalah di Google, dan lebih banyak menghabiskan waktunya di pulau pribadinya di Karibia,” tulisnya.
Bisa dibilang memang tidak ada ketentuan pasti tentang apa yang terbaik untuk sebuah perusahaan, karena kasus di setiap perusahan pasti beda-beda. Namun, kembali lagi, skenario founder meninggalkan perusahaannya adalah hal yang lumrah.
Jeff Lynn, co-founder Seedrs, bahkan menulis di website-nya bahwa seorang founder memang punya masa berlakunya.
CEO sekaligus founder dibutuhkan pada awal-awal bisnis untuk menunjukkan apa yang perlu dilakukan. Sementara ketika bisnis sudah besar, yang lebih dibutuhkan adalah cara menjalankannya.
Dengan kata lain, saat memulai bisnis, yang dibutuhkan memang adalah inovasi dan ide gila seorang founder. Namun, ketika perusahaan sudah besar, dibutuhkan kepemimpinan yang lebih terencana dan disiplin.
“Hanya sedikit orang yang bisa melakukannya keduanya, karena menurut saya, keduanya merupakan dua tipe kepribadian dan skill yang berbeda,” ucapnya.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.