Angka Kekerasan Seksual di Kampus Masih Tinggi, Ini Penyebabnya
11 November 2021 |
13:35 WIB
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI No. 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi, tengah menjadi sorotan. Ada yang pro, ada juga yang kontra dengan terbitnya Permendikbudristek 30/2021 ini.
Akan tetapi, terlepas dari pro dan kontra tersebut, kekerasan seksual di lingkungan pendidikan hingga saat ini menjadi isu serius yang harus dituntaskan. Sebab, tindakan tersebut sangat berpengaruh pada kualitas hidup para korban.
Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan sepanjang 2015-2020, pihaknya menerima 27 persen aduan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi dari keseluruhan pengaduan yang terjadi di lembaga pendidikan.
Data ini diperkuat dengan temuan survei Mendikbud Ristek pada 2019 bahwa kampus menempati urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual yakni sebesar 15 persen, setelah jalanan 33 persen, dan transportasi umum 19 persen.
Penelitian lain menyebutkan bahwa 40 persen dari 304 mahasiswi pernah mengalami kekerasan seksual, 92 persen dari 162 reponden mengalami kekerasan di dunia siber, 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus, dan 63 persen tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus. “Kebanyakan korban kekerasan seksual adalah perempuan,” ujar Andy kepada Hypeabis.id, Kamis (11/11/2021).
Lemahnya penanganan kasus kekerasan seksual di kampus katanya karena pelakunya adalah orang terdekat di lingkungan kampus seperti dosen, mahasiswa ataupun karyawan kampus sehingga turut menyebabkan keengganan korban untuk melapor.
(Baca juga: Efek Traumatis Berkepanjangan, Begini Cara Mencegah Kekerasan Seksual)
Akibat lebih jauh dari situasi ini adalah minimnya akses korban terhadap pemulihan terutama penanganan psikologis korban agar dapat mengikuti kembali proses belajar yang menjadi hak pendidikannya.
Andy menuturkan minimnya pengaduan kekerasan seksual di perguruan tinggi, menunjukkan bahwa tidak semua lingkup pendidikan ini mempunyai aturan yang jelas, implementatif, dan efektif terkait dengan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) termasuk pemulihan korban.
Penanganan kasus kekerasan seksual masih sering disamakan dengan pelanggaran etik lainnya, padahal kekerasan seksual bersifat khas dan mengalami kerentanan berlapis.
“Dalam konteks kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, terjadi karena relasi kuasa yang menimbulkan ketidakberdayaan korban. Umumnya pelaku memanfaatkan kerentanan, ketergantungan dan kepercayaan korban kepadanya,” jelas Andy.
Selain itu, belum semua pimpinan punya perspektif korban sehingga terjadi pengabaian dan penyangkalan terjadinya kekerasan seksual dan mengkhawatirkan reputasi nama baik kampus.
(Baca juga: Penyalin Cahaya, Menyuarakan Darurat Kekerasan & Pelecehan Seksual)
Dia menilai budaya misoginis, seksis dan tidak ramah terhadap perempuan juga masih terjadi di lembaga pendidikan yang menyebabkan korban tidak mendapatkan keadilan dan pemulihan yang menyebabkan berkurang atau terlanggarnya hak asasinya sebagai perempuan maupun peserta didik.
Oleh karena itu, Komnas Perempuan berpandangan lahirnya Permendikbudristek 30/2021 tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi harus dipandang sebagai upaya untuk pemenuhan hak pendidikan setiap warga negara atas pendidikan tinggi yang aman.
Aturan ini juga harus dianggap sebagai solusi dalam penanggulangan kekerasan seksual dengan pendekatan institusional dan berkelanjutan serta memberikan kepastian hukum bagi pemimpin perguruan tinggi untuk mengambil langkah tegas terhadap kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus.
Editor: Dika Irawan
Akan tetapi, terlepas dari pro dan kontra tersebut, kekerasan seksual di lingkungan pendidikan hingga saat ini menjadi isu serius yang harus dituntaskan. Sebab, tindakan tersebut sangat berpengaruh pada kualitas hidup para korban.
Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan sepanjang 2015-2020, pihaknya menerima 27 persen aduan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi dari keseluruhan pengaduan yang terjadi di lembaga pendidikan.
Data ini diperkuat dengan temuan survei Mendikbud Ristek pada 2019 bahwa kampus menempati urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual yakni sebesar 15 persen, setelah jalanan 33 persen, dan transportasi umum 19 persen.
Penelitian lain menyebutkan bahwa 40 persen dari 304 mahasiswi pernah mengalami kekerasan seksual, 92 persen dari 162 reponden mengalami kekerasan di dunia siber, 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus, dan 63 persen tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus. “Kebanyakan korban kekerasan seksual adalah perempuan,” ujar Andy kepada Hypeabis.id, Kamis (11/11/2021).
Lemahnya penanganan kasus kekerasan seksual di kampus katanya karena pelakunya adalah orang terdekat di lingkungan kampus seperti dosen, mahasiswa ataupun karyawan kampus sehingga turut menyebabkan keengganan korban untuk melapor.
(Baca juga: Efek Traumatis Berkepanjangan, Begini Cara Mencegah Kekerasan Seksual)
Akibat lebih jauh dari situasi ini adalah minimnya akses korban terhadap pemulihan terutama penanganan psikologis korban agar dapat mengikuti kembali proses belajar yang menjadi hak pendidikannya.
Andy menuturkan minimnya pengaduan kekerasan seksual di perguruan tinggi, menunjukkan bahwa tidak semua lingkup pendidikan ini mempunyai aturan yang jelas, implementatif, dan efektif terkait dengan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) termasuk pemulihan korban.
Penanganan kasus kekerasan seksual masih sering disamakan dengan pelanggaran etik lainnya, padahal kekerasan seksual bersifat khas dan mengalami kerentanan berlapis.
“Dalam konteks kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, terjadi karena relasi kuasa yang menimbulkan ketidakberdayaan korban. Umumnya pelaku memanfaatkan kerentanan, ketergantungan dan kepercayaan korban kepadanya,” jelas Andy.
Selain itu, belum semua pimpinan punya perspektif korban sehingga terjadi pengabaian dan penyangkalan terjadinya kekerasan seksual dan mengkhawatirkan reputasi nama baik kampus.
(Baca juga: Penyalin Cahaya, Menyuarakan Darurat Kekerasan & Pelecehan Seksual)
Dia menilai budaya misoginis, seksis dan tidak ramah terhadap perempuan juga masih terjadi di lembaga pendidikan yang menyebabkan korban tidak mendapatkan keadilan dan pemulihan yang menyebabkan berkurang atau terlanggarnya hak asasinya sebagai perempuan maupun peserta didik.
Oleh karena itu, Komnas Perempuan berpandangan lahirnya Permendikbudristek 30/2021 tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi harus dipandang sebagai upaya untuk pemenuhan hak pendidikan setiap warga negara atas pendidikan tinggi yang aman.
Aturan ini juga harus dianggap sebagai solusi dalam penanggulangan kekerasan seksual dengan pendekatan institusional dan berkelanjutan serta memberikan kepastian hukum bagi pemimpin perguruan tinggi untuk mengambil langkah tegas terhadap kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus.
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.