Ethnicmine, Melestarikan Tenun Jadi Produk Fesyen Kekinian
02 October 2021 |
19:51 WIB
Dalam beberapa tahun terakhir, wastra tenun yang sarat akan makna budaya dengan ciri khas masing-masing daerah pembuatnya makin diminati masyarakat. Tidak lepas dari perkembangan mode, kain tenun yang dahulu hanya dipakai untuk acara formal adat dan keagamaan, kini menjadi pakaian kasual yang lebih santai.
Ide menjadikan kain tenun sebagai produk fesyen kekinian salah satunya dilakukan Sema Chintyadeni. Dia mendirikan brand fashion Ethnicmine, pada 2012.
Sema mengaku pada awalnya hanya menggunakan bahan dengan motif tribal yang mempunyai ciri garis-garis lurus, melengkung, melingkar, simetris atau asimetris dan membentuk pola tertentu, juga biasanya penuh warna. Namun setahun kemudian, Sema tertarik untuk menggunakan tenun Nusantara sebagai bahan dasar maupun pelengkap produk pakaiannya.
Selain karena memiliki beragam corak, motif, dan warna yang menarik, tenun penuh dengan simbol dan makna yang unik. “2013 terjun ke tenun. Mulai kurasi pattern, kenal sama pengrajin,” ujarnya.
Sema bekerja sama dengan para perajin tenun Jepara. Namun tidak terbatas pada motif dan corak dari daerah di Jawa Tengah itu saja, dia juga bisa memesan motif dari suku atau daerah lain seperti Bali, NTB, NTT maupun Toraja. “Kalau langsung ambil dari NTT, NTB over price, nggak masuk ke bujet. Pakai tenun Jepara karena affordable dibuat pakaian dan nyaman,” ungkapnya.
Dalam pembuatan kain tenun, Sema selalu mengirimkan sampel motif dan memesan sesuai keinginannya kepada para pengrajin, termasuk dalam hal warna. Biasanya bahan baku kain tersebut selesai dikerjakan dalam waktu 2-3 bulan. “Saya ketat dalam kurasi pattern yang lolos untuk Ethnicmine,’ tegasnya.
Untuk model fashionnya sendiri, Sema tidak membuat size, artinya pakaian etnik miliknya bisa dipakai untuk semua ukuran badan, entah itu kurus maupun gemuk. Namun yang pasti, dia selalu melihat tren untuk menarik pelanggan.
Sema memulai usaha fesyen etnik ini memang dari bawah. Kala itu dia hanya punya satu penjahit dan dirinya sebagai admin untuk pemasaran produk secara daring. Kini, usaha mikro kecil menengah (UMKM) miliknya telah memiliki 6 penjahit, beberapa penjahit lepas, dibantu tim pemasaran untuk jualan online.
Dia menilai sebagai pemilik produk fashion etnik seperti tenun ini, pemilik bukan hanya tahu tentang produk namun harus pintar melakukan pemasaran digital dan membaca data. “Karena untuk menggaet orang baru, kita harus pintar utak atik data yang ada, bikin konten yang menarik orang,” sebutnya.
Ya, sejak berdiri pada 2012 lalu, Ethnicmine fokus memanfaatkan platform digital untuk berjualan. Sebelum adanya pandemi, Sema mengaku rajin mengikuti bazar di event-event wastra nusantara maupun yang ada di pusat perbelanjaan. “Selama dua tahun ini full online,” imbuhnya.
Adapun pada saat pandemi Covid-19 ini, Sema mengaku omsetnya naik sekitar 10% namun produk yang dijual semakin banyak karena dia sering mengadakan diskon. “Omsetnya ratusan juta. Di bawah Rp500 juta. Penjualannya 1500-2000 potong/bulan,” ungkap Sema.
Tidak dipungkiri Sema, mengadakan diskon menjadi salah satu strateginya untuk menghabiskan stok produk. Sebab bisnisnya cukup terdampak ketika pemerintah melakukan pembatasan sosial menjelang dan sesudah hari besar keagamaan dan libur panjang.
Dia menuturkan sempat menyimpan stok kain cukup banyak dengan ekspektasi banyak orang yang menghadapi acara pernikahan setelah lebaran, namun nyatanya zonk. Alhasil kain menumpuk dan pemasukan pun turun.
Dia pun mencoba strategi lain dengan menghadirkan seri batik selama dua tahun terakhir ini. Peminatnya pun cukup besar namun dia tetap memproduksi fashion berbahan kain tenun. Untuk sisa-sisa bahan, dia pun sering mengolahnya menjadi tas pembungkus produk yang gratis diberikan kepada konsumen.
Kendati demikian, ke depannya, Sema ingin mengembangkan produk aksesoris berbasis tenun seperti tas dan syal. Sema mengaku ingin terus melestarikan tenun agar para pengrajin tetap bisa produktif dan mendapatkan penghasilan.
Editor: M R Purboyo
Ide menjadikan kain tenun sebagai produk fesyen kekinian salah satunya dilakukan Sema Chintyadeni. Dia mendirikan brand fashion Ethnicmine, pada 2012.
Sema mengaku pada awalnya hanya menggunakan bahan dengan motif tribal yang mempunyai ciri garis-garis lurus, melengkung, melingkar, simetris atau asimetris dan membentuk pola tertentu, juga biasanya penuh warna. Namun setahun kemudian, Sema tertarik untuk menggunakan tenun Nusantara sebagai bahan dasar maupun pelengkap produk pakaiannya.
Selain karena memiliki beragam corak, motif, dan warna yang menarik, tenun penuh dengan simbol dan makna yang unik. “2013 terjun ke tenun. Mulai kurasi pattern, kenal sama pengrajin,” ujarnya.
Sema bekerja sama dengan para perajin tenun Jepara. Namun tidak terbatas pada motif dan corak dari daerah di Jawa Tengah itu saja, dia juga bisa memesan motif dari suku atau daerah lain seperti Bali, NTB, NTT maupun Toraja. “Kalau langsung ambil dari NTT, NTB over price, nggak masuk ke bujet. Pakai tenun Jepara karena affordable dibuat pakaian dan nyaman,” ungkapnya.
Dalam pembuatan kain tenun, Sema selalu mengirimkan sampel motif dan memesan sesuai keinginannya kepada para pengrajin, termasuk dalam hal warna. Biasanya bahan baku kain tersebut selesai dikerjakan dalam waktu 2-3 bulan. “Saya ketat dalam kurasi pattern yang lolos untuk Ethnicmine,’ tegasnya.
Untuk model fashionnya sendiri, Sema tidak membuat size, artinya pakaian etnik miliknya bisa dipakai untuk semua ukuran badan, entah itu kurus maupun gemuk. Namun yang pasti, dia selalu melihat tren untuk menarik pelanggan.
Sema memulai usaha fesyen etnik ini memang dari bawah. Kala itu dia hanya punya satu penjahit dan dirinya sebagai admin untuk pemasaran produk secara daring. Kini, usaha mikro kecil menengah (UMKM) miliknya telah memiliki 6 penjahit, beberapa penjahit lepas, dibantu tim pemasaran untuk jualan online.
Produk tenun kekinian/Ethnicmine
Dia menilai sebagai pemilik produk fashion etnik seperti tenun ini, pemilik bukan hanya tahu tentang produk namun harus pintar melakukan pemasaran digital dan membaca data. “Karena untuk menggaet orang baru, kita harus pintar utak atik data yang ada, bikin konten yang menarik orang,” sebutnya.
Ya, sejak berdiri pada 2012 lalu, Ethnicmine fokus memanfaatkan platform digital untuk berjualan. Sebelum adanya pandemi, Sema mengaku rajin mengikuti bazar di event-event wastra nusantara maupun yang ada di pusat perbelanjaan. “Selama dua tahun ini full online,” imbuhnya.
Adapun pada saat pandemi Covid-19 ini, Sema mengaku omsetnya naik sekitar 10% namun produk yang dijual semakin banyak karena dia sering mengadakan diskon. “Omsetnya ratusan juta. Di bawah Rp500 juta. Penjualannya 1500-2000 potong/bulan,” ungkap Sema.
Tidak dipungkiri Sema, mengadakan diskon menjadi salah satu strateginya untuk menghabiskan stok produk. Sebab bisnisnya cukup terdampak ketika pemerintah melakukan pembatasan sosial menjelang dan sesudah hari besar keagamaan dan libur panjang.
Dia menuturkan sempat menyimpan stok kain cukup banyak dengan ekspektasi banyak orang yang menghadapi acara pernikahan setelah lebaran, namun nyatanya zonk. Alhasil kain menumpuk dan pemasukan pun turun.
Dia pun mencoba strategi lain dengan menghadirkan seri batik selama dua tahun terakhir ini. Peminatnya pun cukup besar namun dia tetap memproduksi fashion berbahan kain tenun. Untuk sisa-sisa bahan, dia pun sering mengolahnya menjadi tas pembungkus produk yang gratis diberikan kepada konsumen.
Kendati demikian, ke depannya, Sema ingin mengembangkan produk aksesoris berbasis tenun seperti tas dan syal. Sema mengaku ingin terus melestarikan tenun agar para pengrajin tetap bisa produktif dan mendapatkan penghasilan.
Editor: M R Purboyo
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.