Melestarikan Tradisi Kain Tenun Tanimbar Lewat Lamerenan
30 September 2021 |
08:19 WIB
Berbicara mengenai pelestarian kain tenun sebagai warisan budaya, tidak hanya soal melestarikan motifnya. Lebih dari itu, tradisi menenun yang berbasis pada kearifan lokal setempat diharapkan bisa tetap lestari di tengah gempuran modernisasi.
Semangat itu yang akhirnya mendorong Hiyashinta Klise mendirikan bisnis sosial (sosiopreneur) Lamerenan untuk melestarikan kain tenun ikat Tanimbar asal Maluku. Lamarenan yang berdiri pada 2014 telah membantu banyak penenun Tanimbar memasarkan produknya dan melestarikan tradisi setempat.
Selain melestarikan tradisi, menurut Shinta, demikian sapaan akrabnya, tujuan lain dari pendirian bisnis sosial itu adalah mendorong masyarakat, terutama para penenun di Tanimbar untuk hidup selaras dengan alam seperti para leluhur.
“Tantangannya di situ, bagaimana mendorong para penenun ini untuk melestarikan tradisi leluhur. Bukan hanya melestarikan motifnya. Kembali menenun dengan cara seperti leluhur terdahulu, mendorong kembali penggunaan pewarna-pewarna alami. Kembali menenun yang mengacu pada budaya,” katanya kepada Hypeabis belum lama ini.
Shinta mengaku bukan hal mudah mengajak penenun di Tanimbar untuk kembali mempraktikkan apa yang dilakukan oleh para leluhur. Proses yang sedemikian panjang dan tuntutan kebutuhan hidup membuat banyak penenun, terutama yang usianya tergolong muda memilih jalan pintas dengan mempraktikkan cara-cara modern.
“Mereka butuh [uang] cepat, tentu saja cara modern jadi jawabannya. Tetapi itu tidak berkelanjutan dan sebenarnya nilai yang dihasilkan juga jauh lebih kecil. Dengan cara-cara leluhur ini kami ingin tradisi menenun tradisional terangkat, menjadi cerita yang menambah nilai produk, bukan sebagai hasil kerajinan saja, tetapi sebagai sebuah karya seni bernilai tinggi,” paparnya.
Lebih lanjut, menurut Shinta waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan selembar kain tenun ikat khas Tanimbar dengan cara tradisional bisa mencapai enam bulan. Pasalnya, menenun secara tradisional menggunakan alat yang disebut sebagai gedog tidak bisa dimaknai sekadar menciptakan sebuah produk.
Selain itu, dalam kesempatan tertentu proses menenun harus dihentikan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan menurut budaya masyarakat setempat.
“Waktunya ini lama, berbulan-bulan. Kain dari penenun bisa sampai ke kami sebelum dipasarkan terkadang enam bulan. Karena prosesnya panjang dan ada waktu di mana penenun tidak bisa menenun. Seperti saat ada orang meninggal dunia di sekitarnya, menenun harus dihentikan dahulu,” ungkapnya.
Permasalahan lain yang menghantui pelestarian tradisi tenun ikat khas Tanimbar adalah lunturnya pemahaman para penenun, khususnya yang berusia muda mengenai filosofi motif. Shinta mengungkapkan tak sedikit para penenun yang sekarang ada di Tanimbar lupa dengan motif dan pakem-pakem apa saja yang harus diterapkan dalam membuat kain tenun terutama dalam bentuk sarung adat yang memiliki motif dan hasil akhir tertentu.
“Pemahaman ini padahal sangat penting untuk menghadirkan sebuah cerita dari motif kain. Tentunya untuk menambah nilai dari kain itu juga sebagai sebuah karya seni. Tenun ikat khas Tanimbar ini dikenal lewat motifnya yang terbilang sederhana, ada motif-motif hewan kecil seperti lipan, ulat kecil, atau hewan-hewan yang ada di sekitar masyarakat,” ujarnya.
Adapun, terkait dengan pemasaran kain tenun ikat khas Tanimbar lewat Lamerenan sejauh ini menurut Shinta masih terbatas di dalam negeri saja. Hal itu tak terlepas dari terbatasnya kemampuan dan panjangnya proses pembuatan secara tradisional.
“Masih di dalam negeri saja, karena produksinya sendiri kan terbatas sekali. Dibawa ke luar negeri mungkin pernah, oleh desainer atau mungkin pembeli di dalam negeri. Tetapi kalau kami langsung belum pernah. Untuk harganya sendiri yang memakai pewarna alami mulai dari Rp3 juta,” pungkasnya.
Editor: Indyah Sutriningrum
Semangat itu yang akhirnya mendorong Hiyashinta Klise mendirikan bisnis sosial (sosiopreneur) Lamerenan untuk melestarikan kain tenun ikat Tanimbar asal Maluku. Lamarenan yang berdiri pada 2014 telah membantu banyak penenun Tanimbar memasarkan produknya dan melestarikan tradisi setempat.
Hiyashinta Klise dan penenun ikat Tanimbar (dok: Instagram/Hiyashinta Klise)
“Tantangannya di situ, bagaimana mendorong para penenun ini untuk melestarikan tradisi leluhur. Bukan hanya melestarikan motifnya. Kembali menenun dengan cara seperti leluhur terdahulu, mendorong kembali penggunaan pewarna-pewarna alami. Kembali menenun yang mengacu pada budaya,” katanya kepada Hypeabis belum lama ini.
Tenun ikat Tanimbar (dok: Lamerenan)
“Mereka butuh [uang] cepat, tentu saja cara modern jadi jawabannya. Tetapi itu tidak berkelanjutan dan sebenarnya nilai yang dihasilkan juga jauh lebih kecil. Dengan cara-cara leluhur ini kami ingin tradisi menenun tradisional terangkat, menjadi cerita yang menambah nilai produk, bukan sebagai hasil kerajinan saja, tetapi sebagai sebuah karya seni bernilai tinggi,” paparnya.
Lebih lanjut, menurut Shinta waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan selembar kain tenun ikat khas Tanimbar dengan cara tradisional bisa mencapai enam bulan. Pasalnya, menenun secara tradisional menggunakan alat yang disebut sebagai gedog tidak bisa dimaknai sekadar menciptakan sebuah produk.
Hiyashinta Klise dan tenun ikat Tanimbar di World Ikat Textile Symposium's bazaar 23-25 Agustus 2019 (dok: Lamerenan)
“Waktunya ini lama, berbulan-bulan. Kain dari penenun bisa sampai ke kami sebelum dipasarkan terkadang enam bulan. Karena prosesnya panjang dan ada waktu di mana penenun tidak bisa menenun. Seperti saat ada orang meninggal dunia di sekitarnya, menenun harus dihentikan dahulu,” ungkapnya.
Permasalahan lain yang menghantui pelestarian tradisi tenun ikat khas Tanimbar adalah lunturnya pemahaman para penenun, khususnya yang berusia muda mengenai filosofi motif. Shinta mengungkapkan tak sedikit para penenun yang sekarang ada di Tanimbar lupa dengan motif dan pakem-pakem apa saja yang harus diterapkan dalam membuat kain tenun terutama dalam bentuk sarung adat yang memiliki motif dan hasil akhir tertentu.
“Pemahaman ini padahal sangat penting untuk menghadirkan sebuah cerita dari motif kain. Tentunya untuk menambah nilai dari kain itu juga sebagai sebuah karya seni. Tenun ikat khas Tanimbar ini dikenal lewat motifnya yang terbilang sederhana, ada motif-motif hewan kecil seperti lipan, ulat kecil, atau hewan-hewan yang ada di sekitar masyarakat,” ujarnya.
Adapun, terkait dengan pemasaran kain tenun ikat khas Tanimbar lewat Lamerenan sejauh ini menurut Shinta masih terbatas di dalam negeri saja. Hal itu tak terlepas dari terbatasnya kemampuan dan panjangnya proses pembuatan secara tradisional.
“Masih di dalam negeri saja, karena produksinya sendiri kan terbatas sekali. Dibawa ke luar negeri mungkin pernah, oleh desainer atau mungkin pembeli di dalam negeri. Tetapi kalau kami langsung belum pernah. Untuk harganya sendiri yang memakai pewarna alami mulai dari Rp3 juta,” pungkasnya.
Editor: Indyah Sutriningrum
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.