Memaknai Simbol dalam Selembar Kain Tenun Sumba
30 September 2021 |
16:45 WIB
Bicara mengenai kain tenun, ternyata tak sekadar tentang produk kerajinan yang dibuat dengan cara menggabungkan benang secara memanjang dan melintang saja. Lebih dari itu, kain tenun menceritakan bagaimana perkembangan budaya dan adat istiadat yang ada di daerah tempatnya berasal.
Salah satu contohnya adalah kain tenun pahikung yang tak lain adalah salah satu dari sekian warisan budaya Sumba, Nusa Tenggara Timur. Kain tenun dari Sumba Timur ini terbilang istimewa lantaran motifnya terdiri dari simbol-simbol dalam budaya Sumba yang punya makna khusus.
Selain itu, proses pembuatannya yang sangat panjang, mencapai 42 tahap juga membuat kain tenun pahikung tak bisa dianggap hanya sebagai produk kerajinan dari Negeri Seribu Bukit. Pembuatannya sendiri dimulai dimulai dari pencarian bahan-bahan dari tumbuhan dan hewan untuk bahan pewarna.
Menurut Pendiri Sanggar Sekar Kawung Chandra Kirana Prijosusilo, kain tenun pahikung pada dasarnya tidak memiliki pakem motif atau ragam hias selayaknya kain tenun Nusantara lainnya. Masing-masing pengrajin bebas menciptakan motif sesuai dengan apa yang ada di pikiran mereka dan tujuan mengapa kain tersebut dibuat.
Sebagai catatan, Sanggar Sekar Kawung merupakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus melestarikan dan memberdayagunakan tradisi serta budaya masyarakat di sejumlah daerah untuk mendorong pembangunan ekonomi lokal. LSM yang berdiri pada 2015 itu sudah bermitra dengan pengrajin kain tenun dari beberapa daerah, antara lain Jambi, Kalimantan Barat, Jawa Timur, dan NTT.
“Di sana enggak ada motif, semua lembar kain itu unik, tergantung si pembuat ingin membuatnya bagaimana. Ada kombinasi simbol-simbol dalam motif itu dan setiap simbol punya makna. Kain itu bisa saja dimuati doa-doa, harapan baik, nasihat, atau cerita yang bisa diketahui dari simbol-simbol yang ada,” katanya.
Salah satu simbol yang banyak ditemukan dalam kain tenun pahikung adalah kuda dan burung kakaktua. Kuda dalam budaya Sumba melambangkan harga diri sementara burung kakaktua menjadi simbol persatuan.
Lebih lanjut, Chandra menyebut pihaknya telah menyusun kamus untuk membantu siapa saja mengetahui makna dari simbol-simbol yang ada di kain tenun pahikung. Upaya tersebut dilakukan semata-mata untuk meningkatkan nilai dari sebuah kain tenun pahikung sebagai sebuah karya seni, alih-alih sebagai produk kerajinan berharga tinggi.
Kamus tersebut berhasil dibuat melalui sebuah riset yang melibatkan sejumlah pengrajin di satu desa dan mempelajari 50 lembar.
“Semoga bisa meraih harga yang bagus sebagai karya seni, Seperti diketahui karya seni tekstil Indonesia yang mendunia ini sedikit sekali. Harapannya apabila anak atau cucu penenun ini dibantu, difasilitasi untuk mendalami tradisi kain yang mereka miliki. Kelak mereka akan menjadi seniman tekstil dunia,” ujar Chandra.
Harapan lainnya, dengan adanya kamus tersebut pengrajin bisa mengetahui sepenuhnya makna dari kain tenun yang mereka kerjakan. Karena tidak bisa dipungkiri jika para pengrajin, terutama pengrajin-pengrajin generasi muda yang belum mengetahui sepenuhnya makna dari simbol-simbol dalam kain tenun pahikung.
“Mereka bisa mencipta [motif] apa yang dimau pasar. Tetapi mereka bisa membuat kain menjadi lebih berharga ketika dilempar ke pasar. Karena mereka enggak bisa bikin banyak. Bagaimana yang sedikit itu dibuat sesempurna mungkin,” tuturnya.
Terakhir, bicara mengenai kain tenun Nusantara secara keseluruhan Chandra berharap bahan baku berupa benang bisa dipenuhi dari dalam negeri, khususnya dari daerah tempat kain tersebut berasal. Karena selama ini nyaris seluruh benang yang digunakan untuk menghasilkan kain tenun Nusantara masih diimpor.
“Kegelisahan lainnya adalah 99?han, berupa benang ini masih impor. Padahal nenek moyang kita ini adalah penenun dan sudah mengekspor tenun, bahan pewarna tekstil sejak abad ke-10. Yang ingin diwujudkan adalah kemandirian kelompok penenun, kapasnya dihasilkan dari desa mereka sendiri. Tentu saja ini juga akan menambah nilai dari kain tenun yang mereka buat apabila diwujudkan,” paparnya.
Editor: Indyah Sutriningrum
Salah satu contohnya adalah kain tenun pahikung yang tak lain adalah salah satu dari sekian warisan budaya Sumba, Nusa Tenggara Timur. Kain tenun dari Sumba Timur ini terbilang istimewa lantaran motifnya terdiri dari simbol-simbol dalam budaya Sumba yang punya makna khusus.
Selain itu, proses pembuatannya yang sangat panjang, mencapai 42 tahap juga membuat kain tenun pahikung tak bisa dianggap hanya sebagai produk kerajinan dari Negeri Seribu Bukit. Pembuatannya sendiri dimulai dimulai dari pencarian bahan-bahan dari tumbuhan dan hewan untuk bahan pewarna.
Menurut Pendiri Sanggar Sekar Kawung Chandra Kirana Prijosusilo, kain tenun pahikung pada dasarnya tidak memiliki pakem motif atau ragam hias selayaknya kain tenun Nusantara lainnya. Masing-masing pengrajin bebas menciptakan motif sesuai dengan apa yang ada di pikiran mereka dan tujuan mengapa kain tersebut dibuat.
Sebagai catatan, Sanggar Sekar Kawung merupakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus melestarikan dan memberdayagunakan tradisi serta budaya masyarakat di sejumlah daerah untuk mendorong pembangunan ekonomi lokal. LSM yang berdiri pada 2015 itu sudah bermitra dengan pengrajin kain tenun dari beberapa daerah, antara lain Jambi, Kalimantan Barat, Jawa Timur, dan NTT.
“Di sana enggak ada motif, semua lembar kain itu unik, tergantung si pembuat ingin membuatnya bagaimana. Ada kombinasi simbol-simbol dalam motif itu dan setiap simbol punya makna. Kain itu bisa saja dimuati doa-doa, harapan baik, nasihat, atau cerita yang bisa diketahui dari simbol-simbol yang ada,” katanya.
Salah satu simbol yang banyak ditemukan dalam kain tenun pahikung adalah kuda dan burung kakaktua. Kuda dalam budaya Sumba melambangkan harga diri sementara burung kakaktua menjadi simbol persatuan.
Lebih lanjut, Chandra menyebut pihaknya telah menyusun kamus untuk membantu siapa saja mengetahui makna dari simbol-simbol yang ada di kain tenun pahikung. Upaya tersebut dilakukan semata-mata untuk meningkatkan nilai dari sebuah kain tenun pahikung sebagai sebuah karya seni, alih-alih sebagai produk kerajinan berharga tinggi.
Kamus tersebut berhasil dibuat melalui sebuah riset yang melibatkan sejumlah pengrajin di satu desa dan mempelajari 50 lembar.
“Semoga bisa meraih harga yang bagus sebagai karya seni, Seperti diketahui karya seni tekstil Indonesia yang mendunia ini sedikit sekali. Harapannya apabila anak atau cucu penenun ini dibantu, difasilitasi untuk mendalami tradisi kain yang mereka miliki. Kelak mereka akan menjadi seniman tekstil dunia,” ujar Chandra.
Harapan lainnya, dengan adanya kamus tersebut pengrajin bisa mengetahui sepenuhnya makna dari kain tenun yang mereka kerjakan. Karena tidak bisa dipungkiri jika para pengrajin, terutama pengrajin-pengrajin generasi muda yang belum mengetahui sepenuhnya makna dari simbol-simbol dalam kain tenun pahikung.
“Mereka bisa mencipta [motif] apa yang dimau pasar. Tetapi mereka bisa membuat kain menjadi lebih berharga ketika dilempar ke pasar. Karena mereka enggak bisa bikin banyak. Bagaimana yang sedikit itu dibuat sesempurna mungkin,” tuturnya.
Terakhir, bicara mengenai kain tenun Nusantara secara keseluruhan Chandra berharap bahan baku berupa benang bisa dipenuhi dari dalam negeri, khususnya dari daerah tempat kain tersebut berasal. Karena selama ini nyaris seluruh benang yang digunakan untuk menghasilkan kain tenun Nusantara masih diimpor.
“Kegelisahan lainnya adalah 99?han, berupa benang ini masih impor. Padahal nenek moyang kita ini adalah penenun dan sudah mengekspor tenun, bahan pewarna tekstil sejak abad ke-10. Yang ingin diwujudkan adalah kemandirian kelompok penenun, kapasnya dihasilkan dari desa mereka sendiri. Tentu saja ini juga akan menambah nilai dari kain tenun yang mereka buat apabila diwujudkan,” paparnya.
Editor: Indyah Sutriningrum
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.