Awal Mula Kopi Masuk Indonesia
16 September 2021 |
03:12 WIB
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil biji kopi terbesar di dunia. Varian kopi yang dihasilkan pun bermacam-macam mulai dari Gayo, Toraja, Kintamani, Flores Bajawa, dan lain sebagainya. Kenikmatannya pun sudah dikenal di berbagai belahan dunia.
Namun, kopi itu sendiri sebetulnya bukan tanaman asli dari Indonesia, melainkan tanaman yang berasal dari daratan Afrika tepatnya di dataran tinggi Ethiopia, Benua Afrika, yang mulai ditemukan pada abad ke-9.
Oleh pedagang Arab, biji kopi dari Afrika tersebut dibawa ke Yaman untuk dibudidayakan dan ditanam secara massal. Dari situ, biji kopi diolah menjadi minuman dan komoditas komersial yang mulai dipasarkan ke berbagai belahan dunia dari Asia sampai ke Eropa melalui pelabuhan Mocha yang terletak di Yaman.
Pada abad ke-17, orang Eropa mulai mengembangkan perkebunan kopi sendiri. Sayangnya, karena iklim di Eropa yang tidak cocok maka mereka pun mencoba membudidayakannya ke berbagai negara jajahan, termasuk ke Indonesia.
Bibit kopi tersebut pertama kali dibawa ke Indonesia oleh Gubernur Belanda di Malabar (India) kepada Gubernur Belanda di Batavia pada tahun 1696, dengan jenis bibit kopi Yaman atau yang lebih dikenal dengan nama kopi Arabika.
Kopi tersebut kemudian ditanam dan dibudidayakan di Kedawung, yaitu perkebunan yang terletak di dekat Batavia. Sayangnya usaha tersebut awalnya gagal akibat bencana alam. Namun, Belanda melakukan usaha kedua dengan mendatangkan stek pohon kopi ke Indonesia pada tahun 1699.
Usaha tersebut berbuah positif sehingga sample kopi itu pun dikirim ke Amsterdam, Belanda, sekitar tahun 1706 untuk diteliti. Ternyata, hasil kopi yang dihasilkan di Pulau Jawa memiliki kualitas yang sangat baik.
Dari situ, akhirnya tanaman tersebut pun dijadikan sebagai bibit bagi seluruh perkebunan di Pulau Jawa dan kemudian mulai diekspor ke Eropa melalui perusahaan dagang Belanda, VOC, pada tahun 1711. Kopi Jawa ini rupanya cukup terkenal di pasaran dunia, bangsa Eropa bahkan kerap menyebut secangkir kopi dari Jawa ini dengan istilah a Cup of Java.
Sukses mengembangkan kopi di Pulau Jawa, Belanda lantas memperluas areal budidaya kopi ke beberapa daerah di Sumatera, Sulawesi, Bali, dan pulau lainnya di Indonesia. Hampir semua kopi ditanam di dataran tinggi dengan tingkat kesuburan tanah dan cuaca yang baik. Namun tidak sedikit pula yang ditanam di dataran rendah.
Pada tahun 1878, seluruh perkebunan kopi yang berada dataran rendah terserang penyakit karat daun (Hemileia Vastatrix) sehingga menyebabkan tanaman kopi jenis Arabika tersebut rusak.
Dengan demikian, hanya kopi yang ditanam di dataran tinggi saja yang bisa bertahan, seperti dataran tinggi Ijen (Jawa Timur), Tanah Tinggi Toraja (Sulawesi Selatan), lereng bagian atas Bukit Barisan (Sumatera) seperti Mandheling, Lintong, dan Sidikalang di Sumatera Utara dan dataran tinggi Gayo di Nanggroe Aceh Darussalam.
Untuk mengatasi hal tersebut, Belanda kemudian membawa spesies jenis kopi liberika yang diperkirakan lebih tahan terhadap penyakit karat daun. Kopi Liberika tersebut ditanam secara luas di perkebunan dataran rendah selama beberapa tahun lamanya, menggantikan posisi kopi Arabika.
Namun rupanya tanaman liberika juga mengalami hal yang sama, terserang karat daun sehingga pada 1907 Belanda mendatangkan spesies lain yaitu Kopi Robusta. Usaha kali ini berhasil, hingga saat ini perkebunan-perkebunan kopi robusta yang ada di dataran rendah bisa bertahan dari penyakit karat daun.
Menjelang kemerdekaan Indonesia pada 1945, seluruh perkebunan kopi milik Belanda yang ada di Indonesia dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia. Sejak saat itu Belanda tak lagi menjadi pemasok kopi dunia, sebagai gantinya Indonesia memiliki kendali penuh untuk menghasilkan dan mengekspor kopi ke berbagai Negara di dunia.
Editor: Avicenna
Namun, kopi itu sendiri sebetulnya bukan tanaman asli dari Indonesia, melainkan tanaman yang berasal dari daratan Afrika tepatnya di dataran tinggi Ethiopia, Benua Afrika, yang mulai ditemukan pada abad ke-9.
Oleh pedagang Arab, biji kopi dari Afrika tersebut dibawa ke Yaman untuk dibudidayakan dan ditanam secara massal. Dari situ, biji kopi diolah menjadi minuman dan komoditas komersial yang mulai dipasarkan ke berbagai belahan dunia dari Asia sampai ke Eropa melalui pelabuhan Mocha yang terletak di Yaman.
Pada abad ke-17, orang Eropa mulai mengembangkan perkebunan kopi sendiri. Sayangnya, karena iklim di Eropa yang tidak cocok maka mereka pun mencoba membudidayakannya ke berbagai negara jajahan, termasuk ke Indonesia.
Bibit kopi tersebut pertama kali dibawa ke Indonesia oleh Gubernur Belanda di Malabar (India) kepada Gubernur Belanda di Batavia pada tahun 1696, dengan jenis bibit kopi Yaman atau yang lebih dikenal dengan nama kopi Arabika.
Kopi tersebut kemudian ditanam dan dibudidayakan di Kedawung, yaitu perkebunan yang terletak di dekat Batavia. Sayangnya usaha tersebut awalnya gagal akibat bencana alam. Namun, Belanda melakukan usaha kedua dengan mendatangkan stek pohon kopi ke Indonesia pada tahun 1699.
Usaha tersebut berbuah positif sehingga sample kopi itu pun dikirim ke Amsterdam, Belanda, sekitar tahun 1706 untuk diteliti. Ternyata, hasil kopi yang dihasilkan di Pulau Jawa memiliki kualitas yang sangat baik.
Dari situ, akhirnya tanaman tersebut pun dijadikan sebagai bibit bagi seluruh perkebunan di Pulau Jawa dan kemudian mulai diekspor ke Eropa melalui perusahaan dagang Belanda, VOC, pada tahun 1711. Kopi Jawa ini rupanya cukup terkenal di pasaran dunia, bangsa Eropa bahkan kerap menyebut secangkir kopi dari Jawa ini dengan istilah a Cup of Java.
Sukses mengembangkan kopi di Pulau Jawa, Belanda lantas memperluas areal budidaya kopi ke beberapa daerah di Sumatera, Sulawesi, Bali, dan pulau lainnya di Indonesia. Hampir semua kopi ditanam di dataran tinggi dengan tingkat kesuburan tanah dan cuaca yang baik. Namun tidak sedikit pula yang ditanam di dataran rendah.
Pada tahun 1878, seluruh perkebunan kopi yang berada dataran rendah terserang penyakit karat daun (Hemileia Vastatrix) sehingga menyebabkan tanaman kopi jenis Arabika tersebut rusak.
Dengan demikian, hanya kopi yang ditanam di dataran tinggi saja yang bisa bertahan, seperti dataran tinggi Ijen (Jawa Timur), Tanah Tinggi Toraja (Sulawesi Selatan), lereng bagian atas Bukit Barisan (Sumatera) seperti Mandheling, Lintong, dan Sidikalang di Sumatera Utara dan dataran tinggi Gayo di Nanggroe Aceh Darussalam.
Untuk mengatasi hal tersebut, Belanda kemudian membawa spesies jenis kopi liberika yang diperkirakan lebih tahan terhadap penyakit karat daun. Kopi Liberika tersebut ditanam secara luas di perkebunan dataran rendah selama beberapa tahun lamanya, menggantikan posisi kopi Arabika.
Namun rupanya tanaman liberika juga mengalami hal yang sama, terserang karat daun sehingga pada 1907 Belanda mendatangkan spesies lain yaitu Kopi Robusta. Usaha kali ini berhasil, hingga saat ini perkebunan-perkebunan kopi robusta yang ada di dataran rendah bisa bertahan dari penyakit karat daun.
Menjelang kemerdekaan Indonesia pada 1945, seluruh perkebunan kopi milik Belanda yang ada di Indonesia dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia. Sejak saat itu Belanda tak lagi menjadi pemasok kopi dunia, sebagai gantinya Indonesia memiliki kendali penuh untuk menghasilkan dan mengekspor kopi ke berbagai Negara di dunia.
Editor: Avicenna
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.