Persiapan Sebelum Marathon untuk Hindari Risiko Cedera sampai Kematian Mendadak
23 June 2025 |
20:52 WIB
Seorang pelari yang juga merupakan pendiri komunitas running di Sulawesi Utara, meninggal dunia saat mengikuti event marathon di Candi Prambanan, Yogyakarta pada Minggu (22/6/2025). Salah satu peserta bernama Nandar Marwan meninggal dunia saat mengikuti kategori lari Full Marathon sejauh 42,195 km.
Nandar diketahui berhasil mencapai titik 40 km, lalu di tengah jalan ditemukan terjatuh tak sadarkan diri. Kabar meninggalnya, Nandar Marwan juga dikonfirmasi oleh penyelenggara Mandiri Jogja Marathon melalui akun Instagram resminya.
Baca juga: Pelari Jarak Jauh Robi Syianturi Pecahkan Rekor Nasional Maraton Setelah 31 Tahun
"Kami segenap keluarga besar Mandiri Jogja Marathon menyampaikan rasa duka yang mendalam atas berpulangnya Nandar Marwan. Semoga almarhum diberikan tempat terbaik di sisi-Nya dan keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan serta ketabahan," tulisnya dikutip Senin (23/6/2025).
Mengutip Healthline, cedera adalah risiko paling umum yang dialami pelari marathon. Beberapa cedera yang paling banyak terjadi antara lain runner’s knee (nyeri lutut), shin splints (nyeri tulang kering), achilles tendinitis (peradangan pada tendon), plantar fasciitis (peradangan di telapak kaki), stress fracture (keretakan tulang), dan lainnya.
Risiko cedera meningkat bila pelari overtraining alias meningkatkan intensitas latihan dengan ekstrem. Tubuh tidak punya cukup waktu untuk beradaptasi, akibatnya, otot, tulang, sendi, dan jaringan lainnya bisa mengalami stres berlebihan, yang berujung pada cedera.
Pelari juga rentan cedera jika menggunakan sepatu lari yang tidak sesuai sehingga menyebabkan beban berlebih ke kaki dan sendi, atau memiliki teknik lari yang kurang baik.
Riwayat cedera sebelumnya terutama di otot betis, paha, dan lutut juga menjadi faktor risiko, dengan kemungkinan kambuh mencapai 3-4 kali lipat. Dehidrasi dan kurangnya asupan nutrisi dari makanan juga dapat memperburuk kondisi.
Selain itu, kematian mendadak saat marathon juga menjadi perhatian dari tahun ke tahun. Data terbaru dari berbagai studi menunjukkan bahwa insiden serangan jantung mendadak (sudden cardiac arrest/SCA) dan kematian saat marathon memang jarang, tetapi tetap bisa terjadi, terutama pada pelari dengan faktor risiko tertentu.
Sebuah studi dari Race Associated Cardiac Event Registry (RACER) yang mencakup lebih dari 29 juta pelari di Amerika Serikat antara tahun 2010 hingga 2023 mencatat 176 kasus SCA dengan 59 kematian. Dari temuan ini, insiden SCA tercatat sekitar 0,60 per 100.000 pelari, sedangkan angka kematiannya turun menjadi 0,20 per 100.000.
Ini menunjukkan penurunan signifikan dibandingkan periode 2000–2009, yang mencatat angka kematian sekitar 0,39 per 100.000. Penurunan ini dikaitkan dengan peningkatan penanganan darurat seperti CPR oleh penonton dan penggunaan defibrillator otomatis (AED) di lokasi lomba.
Sebagian besar kasus kematian mendaak saat lari, umumnya terjadi saat peserta berada di beberapa kilometer menjelang garis finis. Saat itulah tekanan fisik dan mental pelari berada pada puncaknya.
Penyebab utama dari kematian mendadak ini masih didominasi oleh gangguan jantung, terutama penyakit arteri koroner yang banyak ditemukan pada pelari berusia paruh baya ke atas. Sementara pada pelari muda, kematian seringkali disebabkan oleh kelainan jantung bawaan seperti hypertrophic cardiomyopathy atau gangguan irama jantung turunan seperti Long QT syndrome.
Selain itu, kasus hyponatremia akut atau keracunan air juga menjadi salah satu penyebab fatal. Kondisi ini terjadi saat pelari minum air terlalu banyak tanpa mengimbangi asupan natrium, yang menyebabkan pembengkakan otak. Heat stroke atau sengatan panas juga menjadi penyebab lain, terutama saat marathon digelar di cuaca ekstrem.
Strategi nutrisi dan hidrasi juga menjadi salah satu faktor penentu performa saat marathon. Selama masa latihan, pelari disarankan untuk memprioritaskan konsumsi karbohidrat kompleks seperti nasi, pasta, kentang, dan buah, dengan porsi mencapai 60–70 persen dari total asupan harian. Jenis karbohidrat ini membantu membangun cadangan energi yang stabil dan tahan lama.
Sementara, hidrasi harus dilakukan secara konsisten sepanjang hari, bukan hanya saat berlari. Untuk sesi latihan berdurasi lebih dari 90 menit, cairan yang mengandung elektrolit sangat disarankan guna menggantikan mineral tubuh yang hilang lewat keringat.
Saat hari perlombaan makin dekat, pola makan juga perlu disesuaikan. Dalam tiga hari terakhir sebelum race, pelari dianjurkan meningkatkan porsi karbohidrat sampai sekitar 70 persen dari total energi harian.
Namun, ini bukan berarti menambah kalori secara keseluruhan, melainkan mengatur komposisi makanan dengan mengganti sebagian lemak dan protein menjadi karbohidrat, agar tubuh dapat menyimpan glikogen dalam jumlah maksimal.
Pada hari-H perlombaan, strategi makan dan minum juga harus diperhitungkan dengan cermat. Pelari sebaiknya mengonsumsi dua gelas air atau minuman olahraga sekitar dua jam sebelum start, dan makan ringan sekitar satu jam sebelumnya dengan total energi sekitar 300 kalori.
Selama lomba berlangsung, konsumsi karbohidrat sebanyak 15-22 gram setiap 15 menit, atau total 60-90 gram per jam, dianjurkan agar tubuh tidak mengalami kehabisan energi atau hitting the wall, yakni saat kondisi saat tubuh kehabisan glikogen dan pelari merasa lemas ekstrem.
Baca juga: Hypereport: Komitmen Penyelenggara Maraton Bangun Ekosistem Lari hingga Sport Tourism
Penting juga untuk melakukan pemanasan sebelum lari, menggunakan sepatu yang tepat, dan tidur cukup sekitar 7-8 jam setiap malam, dan menjalani taper alias pengurangan intensitas latihan menjelang lomba.
Meskipun risiko kesehatan tidak dapat dihilangkan sepenuhnya, dengan persiapan matang dan pemahaman yang baik terhadap tubuh, marathon tetap bisa dilakukan dengan aman.
Nandar diketahui berhasil mencapai titik 40 km, lalu di tengah jalan ditemukan terjatuh tak sadarkan diri. Kabar meninggalnya, Nandar Marwan juga dikonfirmasi oleh penyelenggara Mandiri Jogja Marathon melalui akun Instagram resminya.
Baca juga: Pelari Jarak Jauh Robi Syianturi Pecahkan Rekor Nasional Maraton Setelah 31 Tahun
"Kami segenap keluarga besar Mandiri Jogja Marathon menyampaikan rasa duka yang mendalam atas berpulangnya Nandar Marwan. Semoga almarhum diberikan tempat terbaik di sisi-Nya dan keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan serta ketabahan," tulisnya dikutip Senin (23/6/2025).
Risiko Cedera hingga Kematian Mendadak saat Marathon
Marathon dikenal sebagai ajang olahraga yang penuh tantangan. Pelari perlu menyadari risiko kesehatan yang bisa muncul, baik saat persiapan maupun ketika berlomba, mulai dari cedera otot sampai kasus kematian mendadak. Penting sekali persiapan menyeluruh agar tubuh siap menghadapi tekanan fisik saat marathon.Mengutip Healthline, cedera adalah risiko paling umum yang dialami pelari marathon. Beberapa cedera yang paling banyak terjadi antara lain runner’s knee (nyeri lutut), shin splints (nyeri tulang kering), achilles tendinitis (peradangan pada tendon), plantar fasciitis (peradangan di telapak kaki), stress fracture (keretakan tulang), dan lainnya.
Risiko cedera meningkat bila pelari overtraining alias meningkatkan intensitas latihan dengan ekstrem. Tubuh tidak punya cukup waktu untuk beradaptasi, akibatnya, otot, tulang, sendi, dan jaringan lainnya bisa mengalami stres berlebihan, yang berujung pada cedera.
Pelari juga rentan cedera jika menggunakan sepatu lari yang tidak sesuai sehingga menyebabkan beban berlebih ke kaki dan sendi, atau memiliki teknik lari yang kurang baik.
Riwayat cedera sebelumnya terutama di otot betis, paha, dan lutut juga menjadi faktor risiko, dengan kemungkinan kambuh mencapai 3-4 kali lipat. Dehidrasi dan kurangnya asupan nutrisi dari makanan juga dapat memperburuk kondisi.
Selain itu, kematian mendadak saat marathon juga menjadi perhatian dari tahun ke tahun. Data terbaru dari berbagai studi menunjukkan bahwa insiden serangan jantung mendadak (sudden cardiac arrest/SCA) dan kematian saat marathon memang jarang, tetapi tetap bisa terjadi, terutama pada pelari dengan faktor risiko tertentu.
Sebuah studi dari Race Associated Cardiac Event Registry (RACER) yang mencakup lebih dari 29 juta pelari di Amerika Serikat antara tahun 2010 hingga 2023 mencatat 176 kasus SCA dengan 59 kematian. Dari temuan ini, insiden SCA tercatat sekitar 0,60 per 100.000 pelari, sedangkan angka kematiannya turun menjadi 0,20 per 100.000.
Ini menunjukkan penurunan signifikan dibandingkan periode 2000–2009, yang mencatat angka kematian sekitar 0,39 per 100.000. Penurunan ini dikaitkan dengan peningkatan penanganan darurat seperti CPR oleh penonton dan penggunaan defibrillator otomatis (AED) di lokasi lomba.
Sebagian besar kasus kematian mendaak saat lari, umumnya terjadi saat peserta berada di beberapa kilometer menjelang garis finis. Saat itulah tekanan fisik dan mental pelari berada pada puncaknya.
Penyebab utama dari kematian mendadak ini masih didominasi oleh gangguan jantung, terutama penyakit arteri koroner yang banyak ditemukan pada pelari berusia paruh baya ke atas. Sementara pada pelari muda, kematian seringkali disebabkan oleh kelainan jantung bawaan seperti hypertrophic cardiomyopathy atau gangguan irama jantung turunan seperti Long QT syndrome.
Selain itu, kasus hyponatremia akut atau keracunan air juga menjadi salah satu penyebab fatal. Kondisi ini terjadi saat pelari minum air terlalu banyak tanpa mengimbangi asupan natrium, yang menyebabkan pembengkakan otak. Heat stroke atau sengatan panas juga menjadi penyebab lain, terutama saat marathon digelar di cuaca ekstrem.
Persiapan Sebelum Marathon
Sebelum mengikuti marathon, pelari disarankan untuk melakukan skrining jantung, terutama bagi yang berusia di atas 35 tahun atau memiliki faktor risiko seperti tekanan darah tinggi dan kolesterol. Pemeriksaan bisa meliputi EKG, echocardiogram, atau CT scan koroner.Strategi nutrisi dan hidrasi juga menjadi salah satu faktor penentu performa saat marathon. Selama masa latihan, pelari disarankan untuk memprioritaskan konsumsi karbohidrat kompleks seperti nasi, pasta, kentang, dan buah, dengan porsi mencapai 60–70 persen dari total asupan harian. Jenis karbohidrat ini membantu membangun cadangan energi yang stabil dan tahan lama.
Sementara, hidrasi harus dilakukan secara konsisten sepanjang hari, bukan hanya saat berlari. Untuk sesi latihan berdurasi lebih dari 90 menit, cairan yang mengandung elektrolit sangat disarankan guna menggantikan mineral tubuh yang hilang lewat keringat.
Saat hari perlombaan makin dekat, pola makan juga perlu disesuaikan. Dalam tiga hari terakhir sebelum race, pelari dianjurkan meningkatkan porsi karbohidrat sampai sekitar 70 persen dari total energi harian.
Namun, ini bukan berarti menambah kalori secara keseluruhan, melainkan mengatur komposisi makanan dengan mengganti sebagian lemak dan protein menjadi karbohidrat, agar tubuh dapat menyimpan glikogen dalam jumlah maksimal.
Pada hari-H perlombaan, strategi makan dan minum juga harus diperhitungkan dengan cermat. Pelari sebaiknya mengonsumsi dua gelas air atau minuman olahraga sekitar dua jam sebelum start, dan makan ringan sekitar satu jam sebelumnya dengan total energi sekitar 300 kalori.
Selama lomba berlangsung, konsumsi karbohidrat sebanyak 15-22 gram setiap 15 menit, atau total 60-90 gram per jam, dianjurkan agar tubuh tidak mengalami kehabisan energi atau hitting the wall, yakni saat kondisi saat tubuh kehabisan glikogen dan pelari merasa lemas ekstrem.
Baca juga: Hypereport: Komitmen Penyelenggara Maraton Bangun Ekosistem Lari hingga Sport Tourism
Penting juga untuk melakukan pemanasan sebelum lari, menggunakan sepatu yang tepat, dan tidur cukup sekitar 7-8 jam setiap malam, dan menjalani taper alias pengurangan intensitas latihan menjelang lomba.
Meskipun risiko kesehatan tidak dapat dihilangkan sepenuhnya, dengan persiapan matang dan pemahaman yang baik terhadap tubuh, marathon tetap bisa dilakukan dengan aman.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.