Nindityo Adipurnomo & Imam Cahyo Duet dalam Pameran Staging Desire di Salihara
16 June 2025 |
01:27 WIB
Pertemuan perupa Nindityo Adipurnomo dengan pembuat wayang karton Imam Cahyo tiga tahun silam rupanya menjadi gerbang pembuka bagi keduanya untuk terus berkolaborasi dalam berkarya. Kini, mereka tengah menggelar pameran kolaboratif bertajuk Staging Desire, yang berlangsung pada 14 Juni-27 Juli 2025 di Galeri Salihara, Jakarta Selatan.
Karya-karya unik yang dihadirkan Nindityo Adipurnomo dan Imam Cahyo mengajak audiens mengeksplorasi identitas dan tradisi dengan cara yang segar dan berbeda. Dari wayang liyan hingga patung rotan dan lukisan yang penuh cerita pribadi, pameran ini membuka ruang bagi publik untuk menyelami budaya dan ekspresi seni yang penuh makna.
Baca juga: Bertiga Tapi Berempat, Lakon Meta Teater dengan Pendekatan Unik Siap Pentas di Salihara
Karya Nindityo yang terstruktur dan terampil kontras dengan ekspresi mentah Imam. Meskipun menggunakan material dan mengusung bentuk yang berbeda, karya mereka bersinggungan dalam kepedulian lingkungan, budaya, dan simbolik yang sama.
Metodologi kreatif mereka juga beririsan, di mana Nindityo memandang inspirasi sebagai dialog antara pembongkaran dan penciptaan ulang, sementara Imam memproses impresi mentah dari realitas sehari-hari, manusia, alam, dan ritmenya untuk diolah melalui memori dan penemuan yang intuitif.
Pameran Staging Desire diproduksi oleh studio kreatif Baseline Studio dan dikurasi oleh Zarani Risjad, serta diwujudkan bersama mitra produksi kreatif Skenografia, Klaasen Lighting Design, dan Signify. Pameran dibuka lewat lorong menyerupai area panggung belakang yang menegaskan identitas sebagai sebuah pertunjukan.
Di pusat ruang pameran, berdiri sebuah rumah kayu bobrok yang ditemukan Imam di Tuban. Atapnya yang miring menggemakan bentuk Salib Selatan, menyematkan resonansi personal dan kultural pada bangunan lapuk ini.
Rumah tersebut tampil bukan sekadar sebagai latar, melainkan tokoh, titik temu antara ingatan dan metafora Imam, serta wadah bagi proyeksi Nindityo atas fragmen narasi tentang kohesi, identitas, dan kepemilikan.
Dibayangi oleh layar berbentuk bulan yang menggantung di atasnya, rumah ini menjadi ruang pertemuan antara wayang karton Imam dan figur baja dan kulit Nindityo yang masing-masing dengan “suara material” yang berbeda, namun saling memantulkan retakan sosial, kerinduan bersama, dan daya hidup kolektif.
Ide pameran ini bermula ketika Nindityo bertemu dengan Imam Cahyo pada awal 2023 di Tuban, Jawa Timur. Nindityo terkesima oleh bentuk dan ekspresi yang lahir dari benda-benda sederhana seperti kardus bekas. Pertemuan tak terduga itu memicu percakapan selama setahun tentang identitas dan bagaimana kehendak membentuk praktik kreatif, yang menjadi landasan pameran ini.
Selama lebih dari tiga dekade, Nindityo Adipurnomo telah menjadi suara penting dalam seni rupa kontemporer Indonesia. Ia dikenal atas eksplorasinya terhadap identitas budaya Jawa, dengan fokus pada simbol-simbol tradisional dan posisinya dalam masyarakat modern.
Karyanya telah dipamerkan baik di Indonesia maupun mancanegara, termasuk Singapore Biennale, Asia Pacific Triennial, serta berbagai galeri dan museum di Eropa, Asia, dan Amerika Serikat.
Melalui praktik keseniannya, pria yang akrab disapa Nindit itu mengajak pengunjung untuk meninjau ulang cara manusia memandang simbol budaya dan mempertanyakan relevansinya dalam lanskap sosial masa kini.
Sebagai Co-Founder Cemeti Institute for Art and Society dan Indonesian Visual Art Archive (IVAA), kontribusinya tidak hanya melalui karya, tetapi juga lewat pengembangan ekosistem seni yang terbuka terhadap eksperimen dan regenerasi. Baginya, kegelisahan adalah hal yang membuat karyanya menjadi aktif dan dinamis.
"Secara umum kegelisahan itu tidak selalu negatif seperti yang dipahami orang umum. Bagi saya, gelisah berarti keinginan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat, untuk diri sendiri dan orang lain. Dalam konteks seni, kegelisahan itu adalah energi yang membuat saya tidak berhenti pada satu definisi," kata perupa berusia 63 tahun itu.
Menerima rasa ketidakpastian inilah yang memicu pertanyaan terus-menerus, menghubungkan karyanya dengan keterlibatan sosial, serta menolak identitas tunggal dan tetap. Hal ini menjadikan praktik seninya sebagai sebuah pencarian seumur hidup.
Sementara itu, Imam Sucahyo adalah seniman autodidak yang berkarya di Tuban, Jawa Timur. Sejak awal 2000-an, karyanya telah dipamerkan dalam berbagai pameran kelompok di Prancis dan sejumlah daerah di Indonesia seperti Surabaya, Lampung, dan Bali.
Staging Desire menandai debut pameran solonya di Jakarta. Praktiknya bermula dari pengamatan intens terhadap manusia, lanskap, dan ritme kehidupan sehari-hari di Tuban hingga ancaman abrasi dan sampah di pelabuhan pada era Majapahit.
Dengan bahan temuan di sekitar Tuban seperti pensil, pulpen, krayon, kayu apung, plastik bekas, dan kerang, Imam menciptakan karya figur-figur visual yang mengaburkan memori kenyataan dan imajinasi.
Praktik seninya menunjukkan bagaimana pengamatan sehari-hari terhadap manusia, lanskap, dan rutinitas, dapat menghasilkan karya yang memadukan memori dan imajinasi, menjadikan makna bersifat cair dan terbuka untuk bisa ditafsirkan bersama.
"Karya saya gabungan dari kehidupan sehari-hari, juga masalah alam. Lintasan-lintasan itu jadi seperti kenyataan dan khayalan yang saya coba gabungkan, mungkin dari masa lalu sampai masa sekarang, saya gabungkan, untuk melihat ke depan," ujarnya.
Adapun, pameran Staging Desire dibuka untuk publik pada 14 Juni-27 Juli 2025 di Galeri Salihara, Jakarta Selatan. Pengunjung bisa menikmati pamerannya dengan membeli tiket masuk Rp30.000 (umum) dan Rp25.000 (pelajar) pada Selasa-Jumat, sementara untuk Sabtu-Minggu seharga Rp50.000 (umum) dan Rp25.000 (pelajar).
Selain pameran, akan hadir juga beberapa program pendukung seperti workshop pembuatan Wayang Liyan yakni program membuat wayang dengan bahan sederhana, dan The Mindful Gaze, sesi sensorik intim bersama Nindityo Adipurnomo untuk mengalami seni melewati indera.
Baca juga: https://hypeabis.id/read/48852/bawa-lakon-ghost-of-hell-creek-stone-garuda-prehistoric-body-theater-siap-tampil-di-salihara
Karya-karya unik yang dihadirkan Nindityo Adipurnomo dan Imam Cahyo mengajak audiens mengeksplorasi identitas dan tradisi dengan cara yang segar dan berbeda. Dari wayang liyan hingga patung rotan dan lukisan yang penuh cerita pribadi, pameran ini membuka ruang bagi publik untuk menyelami budaya dan ekspresi seni yang penuh makna.
Baca juga: Bertiga Tapi Berempat, Lakon Meta Teater dengan Pendekatan Unik Siap Pentas di Salihara
Karya Nindityo yang terstruktur dan terampil kontras dengan ekspresi mentah Imam. Meskipun menggunakan material dan mengusung bentuk yang berbeda, karya mereka bersinggungan dalam kepedulian lingkungan, budaya, dan simbolik yang sama.
Metodologi kreatif mereka juga beririsan, di mana Nindityo memandang inspirasi sebagai dialog antara pembongkaran dan penciptaan ulang, sementara Imam memproses impresi mentah dari realitas sehari-hari, manusia, alam, dan ritmenya untuk diolah melalui memori dan penemuan yang intuitif.
Salah satu karya di pameran Staging Desire. (Sumber gambar: Komunitas Salihara)
Di pusat ruang pameran, berdiri sebuah rumah kayu bobrok yang ditemukan Imam di Tuban. Atapnya yang miring menggemakan bentuk Salib Selatan, menyematkan resonansi personal dan kultural pada bangunan lapuk ini.
Rumah tersebut tampil bukan sekadar sebagai latar, melainkan tokoh, titik temu antara ingatan dan metafora Imam, serta wadah bagi proyeksi Nindityo atas fragmen narasi tentang kohesi, identitas, dan kepemilikan.
Dibayangi oleh layar berbentuk bulan yang menggantung di atasnya, rumah ini menjadi ruang pertemuan antara wayang karton Imam dan figur baja dan kulit Nindityo yang masing-masing dengan “suara material” yang berbeda, namun saling memantulkan retakan sosial, kerinduan bersama, dan daya hidup kolektif.
Imam Sucahyo (kiri) & Nindityo Adipurnomo. (Sumber gambar: Komunitas Salihara)
Selama lebih dari tiga dekade, Nindityo Adipurnomo telah menjadi suara penting dalam seni rupa kontemporer Indonesia. Ia dikenal atas eksplorasinya terhadap identitas budaya Jawa, dengan fokus pada simbol-simbol tradisional dan posisinya dalam masyarakat modern.
Karyanya telah dipamerkan baik di Indonesia maupun mancanegara, termasuk Singapore Biennale, Asia Pacific Triennial, serta berbagai galeri dan museum di Eropa, Asia, dan Amerika Serikat.
Melalui praktik keseniannya, pria yang akrab disapa Nindit itu mengajak pengunjung untuk meninjau ulang cara manusia memandang simbol budaya dan mempertanyakan relevansinya dalam lanskap sosial masa kini.
Sebagai Co-Founder Cemeti Institute for Art and Society dan Indonesian Visual Art Archive (IVAA), kontribusinya tidak hanya melalui karya, tetapi juga lewat pengembangan ekosistem seni yang terbuka terhadap eksperimen dan regenerasi. Baginya, kegelisahan adalah hal yang membuat karyanya menjadi aktif dan dinamis.
"Secara umum kegelisahan itu tidak selalu negatif seperti yang dipahami orang umum. Bagi saya, gelisah berarti keinginan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat, untuk diri sendiri dan orang lain. Dalam konteks seni, kegelisahan itu adalah energi yang membuat saya tidak berhenti pada satu definisi," kata perupa berusia 63 tahun itu.
Menerima rasa ketidakpastian inilah yang memicu pertanyaan terus-menerus, menghubungkan karyanya dengan keterlibatan sosial, serta menolak identitas tunggal dan tetap. Hal ini menjadikan praktik seninya sebagai sebuah pencarian seumur hidup.
Salah satu karya di pameran Staging Desire. (Sumber gambar: Komunitas Salihara)
Staging Desire menandai debut pameran solonya di Jakarta. Praktiknya bermula dari pengamatan intens terhadap manusia, lanskap, dan ritme kehidupan sehari-hari di Tuban hingga ancaman abrasi dan sampah di pelabuhan pada era Majapahit.
Dengan bahan temuan di sekitar Tuban seperti pensil, pulpen, krayon, kayu apung, plastik bekas, dan kerang, Imam menciptakan karya figur-figur visual yang mengaburkan memori kenyataan dan imajinasi.
Praktik seninya menunjukkan bagaimana pengamatan sehari-hari terhadap manusia, lanskap, dan rutinitas, dapat menghasilkan karya yang memadukan memori dan imajinasi, menjadikan makna bersifat cair dan terbuka untuk bisa ditafsirkan bersama.
"Karya saya gabungan dari kehidupan sehari-hari, juga masalah alam. Lintasan-lintasan itu jadi seperti kenyataan dan khayalan yang saya coba gabungkan, mungkin dari masa lalu sampai masa sekarang, saya gabungkan, untuk melihat ke depan," ujarnya.
Adapun, pameran Staging Desire dibuka untuk publik pada 14 Juni-27 Juli 2025 di Galeri Salihara, Jakarta Selatan. Pengunjung bisa menikmati pamerannya dengan membeli tiket masuk Rp30.000 (umum) dan Rp25.000 (pelajar) pada Selasa-Jumat, sementara untuk Sabtu-Minggu seharga Rp50.000 (umum) dan Rp25.000 (pelajar).
Selain pameran, akan hadir juga beberapa program pendukung seperti workshop pembuatan Wayang Liyan yakni program membuat wayang dengan bahan sederhana, dan The Mindful Gaze, sesi sensorik intim bersama Nindityo Adipurnomo untuk mengalami seni melewati indera.
Baca juga: https://hypeabis.id/read/48852/bawa-lakon-ghost-of-hell-creek-stone-garuda-prehistoric-body-theater-siap-tampil-di-salihara
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.