Hypereport: Kualitas Konser Musik Indonesia Belum Merata, Perbaikan Sistematis Jadi Urgensi
27 May 2025 |
10:00 WIB
Dunia konser di Indonesia terus bergema. Sederet konser dan festival musik di berbagai tingkatan, mulai dari regional, nasional maupun internasional, hingga kini cukup masif digelar. Gayung bersambut, animo publik untuk menonton konser dan festival musik pun masih terbilang besar.
Baca juga: YLKI Dorong Pemerintah Bentuk Satgas Konser, Respons Atas Meningkatnya Keluhan Konsumen
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Menurut hasil survei online platform Tunaiku yang dirilis pada 27 Februari 2025, sekitar 7 dari 10 masyarakat Indonesia sudah membeli 1 tiket konser pada 2025. Lebih dari setengah atau 55,1 persen responden mengaku pasti akan membeli tiket konser pada 2025.
Sementara itu, 18,9 persen responden mengaku siap membeli 2 tiket konser pada tahun ini, dan 13,4 persen lainnya menyatakan bakal menonton 3 konser atau lebih sepanjang 2025.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Solidaritas dari Kekecewaan dan Tuntutan Kolektif di Balik Kekacauan Konser
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Solidaritas dari Kekecewaan dan Tuntutan Kolektif di Balik Kekacauan Konser
Survei yang melibatkan 254 responden berumur 21-50 tahun di Jabodetabek itu juga menemukan rata-rata harga tiket konser musik yang dibeli masyarakat mulai dari di bawah Rp1,5 juta hingga Rp4,5 juta. Hampir separuh atau 42,9 persen responden mengaku membeli tiket konser dengan harga di bawah Rp1,5 juta.
Sementara 28 persen responden membeli tiket di kisaran Rp1,5 juta hingga Rp3,5 juta, dan 14,6 persen lainnya mengaku membeli tiket dengan harga mulai dari Rp3,5 juta hingga Rp4,5 juta.
Akademisi Manajemen Pertunjukan Musik Universitas Pelita Harapan (UPH) Yosia Revie Pongoh menilai secara umum, industri konser di Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dari segi kuantitas. Namun, dari segi kualitas, perkembangannya belum merata.
Secara garis besar, penyelanggaraan konser di kota-kota besar seperti di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan sebagainya berjalan baik dengan promotor-promotor yang profesional, begitupun infrastruktur yang memadai.
Sebaliknya, di daerah-daerah lainnya secara lebih luas, konser dan festival musik dipandang masih diselenggarakan secara informal, lantaran masih belum adanya standar keselamatan yang menjamin kenyamanan penonton.
"Jadi masih ada gap antara konser yang dikelola secara profesional atau secara oportunistik, jadi promotornya ini masih mencoba-coba, belum punya kompetensi, masih lemah dalam mengelolanya. Kualitas industri konser di Indonesia saat ini bisa kita bilang masih fase pertumbuhan, belum mencapai kematangan secara sistematis. Kalau animo publiknya sangat maju," katanya kepada Hypeabis.id.
Ilustrasi konser musik. (Sumber gambar: Synchronize Fest)
Ya, di balik kemeriahannya, dunia konser di Tanah Air masih dibayangi sejumlah permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian banyak pihak. Besarnya animo publik untuk menonton konser tidak dibarengi dengan performa layanan yang baik dan profesional dari sejumlah promotor.
Banyak konser yang digelar menyisakan permasalahan besar dan tidak terselesaikan, yang sangat merugikan penonton selaku konsumen dari bisnis konser dan festival musik, baik dari segi materiil maupun non-materiil.
Awal Mei 2025, konser band Korea Selatan DAY6 mendapat sorotan publik lantaran Mecimapro, selaku promotor, tidak memberikan layanan dan sajian konser yang sebagaimana dijanjikan. Mulai dari pindahnya venue secara sepihak, sajian konser yang ala kadarnya, hingga isu refund yang sampai saat ini belum terselesaikan.
Sebelumnya, sejumlah konser dan acara fan meeting K-Pop juga bermasalah. Mulai dari konser BTOB, Stray Kids, hingga SEVENTEEN. Persoalannya pun beragam mulai dari fasilitas penukaran tiket yang tidak kondusif, uang refund yang belum dibayarkan oleh promotor, pemotongan dana refund, hingga kerugian akibat ketidaksesuaian benefit membership.
Permasalahan lainnya termasuk beberapa konser musik yang batal digelar karena sejumlah alasan mulai dari konser Dua Lipa, NEVAEVA! Festival, hingga Waterbomb Jakarta. Pembatalan ini tentunya sangat merugikan penonton selaku konsumen. Di sisi lain, proses refund juga biasanya memakan waktu cukup lama, bahkan beberapa kasus diantaranya penonton tidak bisa mendapatkan kembali uang mereka sepenuhnya.
Revie melihat ada beberapa hal yang menjadi akar masalah dari sejumlah persoalan di industri konser. Pertama, tata kelola konser yang masih lemah. Promotor atau event organizer (EO) belum sanggup membuat perencanaan konser yang matang, mulai dari manajemen risiko, permasalahan logistik, hingga pengolahan penonton. Hal ini, katanya, acapkali diabaikan dan lebih berfokus untuk mengejar profit.
Kedua, masih rendahnya kapasitas promotor/EO. Menurut Revie, di Indonesia, tak sedikit promotor atau EO yang belum memiliki pengalaman atau kompetensi yang memadai dalam membuat konser khususnya yang berskala besar. Meski, di Jakarta atau di kota-kota besar lainnya sudah ada sejumlah promotor dengan kapasitas mumpuni.
Ketiga, masih minimnya venue konser berskala internasional di dalam negeri, yang acapkali tidak bisa mengakomodasi kebutuhan konser berskala besar atau mancanegara. Keempat, yakni belum adanya sistem regulasi yang akuntabel dan jelas, yang bisa membuat promotor bertanggung jawab saat acaranya bermasalah atau gagal.
Adapun, faktor-faktor lainnya termasuk belum berjalannya sistem sertifikasi kompetensi untuk promotor dan pekerja di industri konser secara keseluruhan, serta belum adanya integrasi atau keterpaduan antarregulasi di industri ini. "Ini butuh keseragaman [regulasi] di berbagai daerah untuk membuat persiapan-persiapan konser ini lebih baik lagi," ucapnya.
Di sisi lain, Pengamat Musik Idhar Resmadi melihat industri konser musik Indonesia saat ini cukup banyak diramaikan oleh promotor-promotor baru yang sebenarnya belum memiliki kapasitas mumpuni dalam menyelenggarakan event musik atau bahkan "promotor bodong".
Animo masyarakat yang besar terhadap acara musik pasca pandemi menandai adanya demand yang besar pula terhadap konser-konser musik. Kondisi ini lah yang dilihat sebagai peluang bisnis oleh sejumlah pihak hingga akhirnya banyak promotor/EO baru bermunculan, dengan menawarkan beragam konsep acara musik.
Sayang, hal itu tidak dibarengi dengan standar dan regulasi penyelenggaraan konser yang jelas. Dengan kata lain, semua orang berhak melabeli dirinya sebagai promotor/EO, sehingga banyak gelaran konser dan festival musik yang tidak terkontrol.
"Barries to entry penyelenggaraan konser musik di Indonesia itu cukup rendah, yang membuat pertunjukan musik dari berbagai skala bisa dibikin oleh siapapun gitu tanpa standarisasi. Kalau udah kaya gini yang dirugikan itu konsumen," ujarnya.
Ilustrasi konser musik. (Sumber gambar: Pestapora)
Tantangan & Strategi Promotor
Program Director Boss Creators Rizky Aulia atau Kiki Ucup mengatakan salah satu tantangan terbesar yang kerap dihadapi promotor saat membuat konser musik ialah terkait permodalan utamanya cash flow. Konser-konser yang bermasalah biasanya terjadi karena tidak adanya rencana lain ketika modal acara terhambat, atau investor yang mengundurkan diri.
Oleh karena itu, kata Ucup, penting bagi promotor untuk melakukan perencanaan secara detail sebelum menyelenggarakan konser atau festival musik, mulai dari permodalan, teknis acara, hingga cara promosi event tersebut.
"Sebenernya lebih detail di depan aja. Detail dalam artian ya kebutuhan untuk membuat sebuah event tuh bukan sebatas ngundang artis bikin poster terus sewa vendor sound system, tapi [proses] detailing-nya sangat banyak," tuturnya.
Hampir senada, Christa Belinda selaku COO & Co-Founder Katarsis mengungkap dari segi bisnis, membuat konser musik terbilang sangat tricky lantaran promotor baru dapat “menjual” event mereka ketika sudah menginformasikan tanggal acara. Namun, di sisi lain, tanggal acara tersebut menjadi “deadline” untuk para promotor dalam mengumpulkan dana untuk acara. Sebab, ketika acara selesai, tidak akan ada lagi pemasukan dari penjualan tiket maupun sponsor.
"Di tengah keadaan ekonomi saat ini dan mungkin adanya perencanaan yang kurang matang, seringkali ini menjadi tantangan terbesar bagi promotor. Saat tinggal menghitung hari menuju konser namun penjualan tiket di bawah ekspektasi, dengan biaya yang harus dikeluarkan sangat tinggi," ungkapnya.
Selain dari sisi penjualan tiket, tantangan yang seringkali ditemui termasuk proses perizinan untuk sebuah acara. Christa mengungkap tidak jarang terdapat acara yang terpaksa harus berpindah lokasi atau tanggal acara karena proses perizinan yang belum selesai.
"Tidak hanya itu, proses perizinan pun menjadi salah satu tantangan tersendiri karena menjadi variable cost yang bisa berubah-ubah karena belum ada prosedur yang jelas untuk pembayaran perizinan sebuah acara," ucapnya.
Reyhana Zahra, CEO & Co-Founder Katarsis, untuk memastikan sebuah konser bisa berjalan dengan baik dan minim masalah, pihaknya memiliki sejumlah strategi. Pertama, perencanaan proyeksi anggaran acara yang matang. Pendanaan tidak hanya bergantung pada penjualan tiket, melainkan dari sponsor sebagai 'tulang punggung' pendanaan.
"Namun sebagai promotor tetap harus memiliki cashflow atau dana yang lancar karena harus menalangi biaya terlebih dahulu, dikarenakan dana sponsor baru akan cair di akhir. Proyeksi anggaran menjadi pondasi utama dalam pembuatan acara," urainya.
Kedua, koordinasi dan training yang detail. Reyhana menjelaskan pada sebuah konser akan banyak sekali vendor, pekerja, hingga volunteer yang terlibat, dan salah satu tugas utama promotor ialah memberi informasi dan arahan yang jelas dan detail kepada setiap pihak. Oleh sebab itu, lanjutnya, penting untuk mengadakan rapat koordinasi rutin dan informasi SOP terkait mitigasi untuk kondisi darurat seperti hujan deras, kepadatan penonton, dsb.
Adapun, strategi yang ketiga yakni aliansi pemangku kepentingan dengan penyelenggara acara. Hal ini berkaitan dengan prosedur dalam proses perizinan untuk penyelenggaraan acara, yakni terdapat perizinan satu atap yang berfungsi untuk mengontrol biaya dan timeline perizinan serta kru pengamanan yang bertugas.
Ilustrasi konser musik. (Sumber gambar: Katarsis Live)
Urgensi Perbaikan Sistematis
Di tengah besarnya potensi industri konser, diperlukan sejumlah perbaikan yang sistematis pada ekosistem ini untuk meningkatkan kualitas acara serta meminimalisir masalah yang dapat merugikan penonton.
Revie menuturkan hal pertama yang harus dilakukan ialah sertifikasi untuk promotor/EO serta para pekerja di industri konser musik. Sertifikasi ini penting untuk menjamin kapabilitas serta profesionalisme para penyelenggara konser, dalam membuat event musik.
Lalu, perlu adanya penyempurnaan dari proses digitalisasi perizinan konser. Seperti diketahui, pemerintah telah menyediakan layanan pengurusan izin konser melalui situs one single submission (OSS). "Tapi itu mungkin perlu disempurnakan lagi, perlu perizinan ini dibuat lebih cepat, lebih transparan, lebih terintegrasi, dan perlu disempurnakan lagi," katanya.
"Pemerintah itu seharusnya tidak hanya sebagai pemberi izin, tapi juga harusnya menjadi fasilitator, dan juga yang penting adalah menjadi regulator. Membuat regulasi yang tentunya berpihak pada profesionalisme dan perlindungan terhadap konsumen," terangnya.
Selain itu, pemerintah juga diharapkan dapat menyediakan venue konser berstandar internasional lebih banyak secara merata di sejumlah daerah lain, bukan hanya berpusat di kota-kota besar. Termasuk, memberdayakan promotor-promotor kecil di sejumlah daerah dengan skema insentif atau pendampingan, guna meningkatkan kapabilitas mereka dalam menyelenggarakan konser.
"Lalu mungkin penontonnya juga perlu kita edukasi, untuk punya kesadaran terhadap hak-hak mereka sebagai penonton. Terutama persoalannya kan masalah tiket, mengenai pembelian tiket resmi. Beberapa waktu lalu kita juga kita temukan masalah calo, jadi perlu juga publik diedukasi," tambah dia.
Sementara itu, dari sisi promotor, Christa mengatakan riset awal menjadi pondasi penting dalam menentukan arah acara. Penyelenggara, paparnya, perlu mengidentifikasi jenis musisi atau konsep acara yang tidak hanya memiliki daya tarik pasar, tetapi juga relevan dengan nilai dan target pasar dari brand atau sponsor potensial.
"Dengan hal ini, maka penyelenggara dapat merancang acara yang memiliki modal dari brand yang tepat, market fit kuat, sekaligus memberikan ROI/nilai tambah yang jelas dari nilai investasi bagi para brand yang terlibat," tuturnya.
Hal lainnya yakni kolaborasi antar pelaku industri. Menurutnya, penting bagi promotor untuk saling berbagi praktik terbaik guna membangun ekosistem sehat alih-alih saling bersaing secara tidak sehat. Bukan hanya antar promotor, tapi juga kolaborasi dengan para musisi baik nasional dan internasional juga para pelaku industri lainnya seperti tenaga ahli produksi hingga tenaga ahli manajemen panggung.
Dia pun berharap pemerintah bisa melakukan beberapa langkah guna membuat industri konser bisa berjalan lebih baik, yakni standarisasi nasional penyelenggaraan event baik teknis maupun administratif, agar kualitas sebuah konser telah terstandarisasi secara nasional.
Selain itu, membuat prosedur perizinan satu atap yang membuat penyelenggara memiliki fix cost yang jelas untuk biaya perizinan dan pengamanan. Termasuk, pengembangan infrastruktur venue. "Kita butuh lebih banyak venue dengan standar dan fasilitas yang sesuai industri musik, serta sesuai standar internasional untuk konser musisi internasional," terangnya.
Baca juga: YLKI Dorong Pemerintah Bentuk Satgas Konser, Respons Atas Meningkatnya Keluhan Konsumen
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.