Fotografer Mikael Aldo berpose dalam pameran tunggalnya bertajuk Prophecy, di Artsphere Gallery, Jakarta (sumber gambar: Artsphere Gallery, Jakarta)

Pameran Prophecy: Visualisasi Emosi Mikael Aldo Lewat Fotografi

20 May 2025   |   13:00 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Ada nuansa lain di Artsphere Gallery, Jakarta. Tak seperti biasanya, galeri di kawasan Jakarta Selatan itu tampak temaram. Di pintu kacanya, mata Genhype juga akan tertumbuk pada tirai bergambar pepohonan sedang berbunga di sabana luas Gunung Lawu.

Saat melangkah masuk ke galeri suasana murung juga semakin terasa. Terlebih saat melihat foto sepasang manusia yang duduk saling memunggungi. Bilah-bilah pisau menancap di punggung keduanya, tapi yang lebih menyakitkan adalah ketidakmampuan mereka untuk berbicara.  

Baca juga: Sambut Satu Dekade Berkarya, Fotografer Mikael Aldo Gelar Pameran Tunggal di Artsphere Gallery 

Coercive, itulah salah satu judul foto karya Mikael Aldo dalam pameran tunggalnya yang bertajuk Prophecy. Seteleng ini merupakan bagian dari debut peluncuran buku foto dengan judul yang sama. Pameran ini terbuka untuk publik dari 14 sampai 20 Mei 2025.

"Tiap kali merasa senang, sedih, dan semangat aku selalu membuat foto sampai akhirnya terkumpul foto dalam pameran ini. Seteleng ini juga jadi semacam janji yang aku penuhi saat aku berumur 19 tahun dan mulai belajar fotografi," katanya.

Menurut Aldo, senarai karya yang dipacak dalam pameran ini merupakan refleksi yang merangkum keseluruhan dari karya dalam buku fotonya. Belasan foto yang dihadirkan, juga dapat menjadi pintu masuk untuk menyelami lebih dalam rangkaian emosi yang dihadirkan di buku foto tersebut.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Mikael Aldo (@mikaelaldo)



Secara umum, senarai karya yang ditampilkan dalam pameran ini merupakan potongan, momen, atau pertanyaan yang ditarik dari lanskap emosional pribadi Aldo. Ibarat fragmen, narasi yang hadir dalam pameran ini juga tidak membentuk membentuk satu jalinan cerita yang utuh.

Misal, pada karya Prodigy (fuji metalic paper, laminated, 35 x 52,5 cm, 2024) yang mengabadikan sosok bersayap buatan yang berdiri di ujung atap sebuah rumah. Figur tersebut tampak memandang ke bawah, dengan latar belakang langit biru muda yang bersih, sementara sisa ruang diselimuti gelap. 

Lewat visualnya, Prodigy seolah ingin menggambarkan suasana takut. Sosok yang melongok ke bawah juga tampak gamang, antara menyalurkan hasrat untuk terbang atau tetap diam. Keadaan kontras antara sosok bersayap dan selimut gelap justru saling menonjolkan kehadiran satu sama lain.

Lain lagi dengan Bad Luck (fuji metalic paper, laminated, 135 x 90 cm, 2024). Pada karya ini kita justru dihadapkan saat Aldo menggambarkan bagaimana rasa takut terekspresi secara penuh. Emosi yang terlihat membuncah, dari raut seorang perempuan yang lari di sebuah sabana saat dikejar insektisida.     


Ruang Bersama

Aldo memaparkan, pemilihan metode tersebut dilakukan untuk menciptakan ruang bersama di mana emosi-emosi batin bisa diresapi secara berbeda. Setiap karyanya juga mengajak pengunjung melewati transisi, dari keterasingan menuju harapan, dari kerentanan menuju pemulihan, dan kecemasan menuju kedamaian.

"Tujuan dari kombinasi ini adalah untuk menyampaikan visi artistik saya secara efektif agar memaksimalkan pendekatan visual yang beragam dalam menyampaikan emosi yang berbeda-beda," imbuhnya

Setali tiga uang, kurator Sigit D Pratama mengatakan, dipilihnya belasan karya untuk ditampilkan dalam pameran ini juga membutuhkan waktu yang panjang. Sebab, selain melakukan kurasi foto yang mengedepankan pengalaman emosional, foto-foto yang dipilih diharap juga dapat memberi gambaran umum dari apa yang ada di dalam buku foto.

Dari segi tata letak, Sigit juga memilih foto yang dapat dinikmati pengunjung dengan pola yang berbeda. Saat memasuki pintu masuk galeri, misal, publik akan langsung disuguhi karya-karya yang sureal, untuk kemudian secara perlahan mereka akan diajak memasuki emosi-emosi lain, yang subtil dan retrospektif.

"Harapannya dari ke-17 karya yang dipamerkan ini sudah memberikan proporsi yang cukup lebar antara emosi satu dengan yang lain. Kita bisa saja memamerkan semua karya, tapi nanti jadinya akan linear, padahal emosi itu kan tidak linear," katanya.

Lain dari itu, demi membuat kandungan pameran lebih variatif, serta mengundang percakapan yang lebih lebar, Aldo menyajikan karyanya dengan ragam ukuran untuk menyorot sejumlah foto yang ingin ditonjolkan tanpa harus mengesampingkan keberadaan foto lain. 

Ada pula karya yang dipajang secara instalatif demi memberi pengalaman seolah dalam perjalanan membuka lapisan diri seseorang hingga ke inti. Misalnya dalam karya bertajuk Safe Inside (2023), dan A Fathers Love (2024), yang menggunakan instalasi tambahan seperti ranting dan puzzle.

Baca juga: AI Jadi Peluang Atau Ancaman? Begini Tanggapan Fotografer Muda Mikael Aldo

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News
 

SEBELUMNYA

Begini Dampak Gemblengan Barak Militer ala KDM dari Aspek Psikologi Anak

BERIKUTNYA

Cek Jadwal Seleksi & Cara Daftar Beasiswa DLI yang Baru Dibuka

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: