Ruang Kebebasan Berkesenian Dinilai Makin Sempit, Bagaimana Seniman Seharusnya Bersikap?
19 April 2025 |
05:28 WIB
Situasi kebebasan berekspresi di Indonesia kembali dipertanyakan oleh sejumlah aktivis, seniman, dan masyarakat sipil di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Disahkannya UU TNI dan rencana revisi Undang-Undang Polri disinyalir bakal makin membatasi kebebasan berekspresi di Tanah Air.
Berbagai elemen masyarakat seperti YLBHI, KontraS, Koalisi Seni Indonesia, hingga wartawan, berkumpul di Bioskop Kineforum, TIM pada Kamis, (17/4/25). Sarasehan ini digelar untuk membangun sinergi dalam rangka menjamin kebebasan berekspresi bagi masyarakat sipil.
Baca juga: Mengungkai Pembatalan Pameran Yos Suprapto di Galeri Nasional Indonesia
Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Bambang Prihadi mengatakan, cara seniman menyikapi represi memang berbeda dari masa ke masa. Pada dekade 80-an misalnya, ada seniman yang dengan verbal menyatakan sikap terkait situasi kebebasan, misalnya WS Rendra, dengan sajak-sajak pamfletnya.
Kendati begitu, pada masa yang lain, atau beriringan, ada pula yang menggunakan simbol-simbol untuk melawan represi penguasa, seperti Putu Wijaya, lewat naskah atau pementasan-pementasan teaternya yang bisa dibilang absurd, akan tetapi menyimpan bentuk kemarahan, dan protes.
"Belakangan para seniman justru menawar ulang capaian estetika, yang kemudian dianggap jadi salah satu capaian untuk melihat sebuah karya, tapi di satu sisi dipertanyakan relasinya dengan politik, kekuasaan, dan yang lain," katanya.
Setali tiga uang, jurnalis CNN, Iwan Hermawan, mengatakan bahwa dampak dari pengesahan UU TNI disinyalir juga bakal mempersempit ruang ekspresi di masyarakat. Sebab ada sejumlah pasal yang multitafsir, terutama terkait kewenangan TNI untuk menangani ancaman siber dalam operasi militer selain perang (OMSP).
Salah satunya dalam pasal 7 UU No 3/2025 tentang TNI, yang disahkan dan diundangkan 26 Maret 2025. Pasal ini mengatur tentang tugas operasi militer selain perang di mana tidak lagi membutuhkan keputusan politik negara, yakni keputusan presiden dengan pertimbangan DPR.
Dia mengungkap, secara regulasi UU TNI memang tidak memungkinkan tentara memasuki fungsi-fungsi sipil, atau hanya 14 kementerian lembaga, setelah itu harus pensiun dini. Akan tetapi, secara faktual masih ada TNI yang memasuki ranah tersebut, misalnya turun ke lapangan untuk membajak sawah atau bertani.
Iwan menjelaskan, masuknya TNI ke ranah sipil ini salah satunya dikarenakan tidak berfungsinya organisasi masyarakat sipil, baik pemerintah daerah dan yang lain. Oleh karena itu, dia berharap ada penguatan dari fungsi masyarakat sipil itu sendiri, terutama instansi pemerintahan.
"Saya juga menyayangkan ketika UU TNI ini disahkan, kenapa cyber ditempatkan di bawah OMSP. Sebab, TNI nantinya juga tidak bisa berperan aktif ketika bakal ada serangan siber betulan, dan ini juga bakal menghambat mereka juga," katanya.
Pada 2022, laman kebebasan berkesenian mencatat terjadi 42 kasus represi. Data ini disinyalir juga lebih besar karena korban tidak mengadukan. Sementara itu, pada 2023 dan 2024 jumlah kasus yang dicatat mencapai 40 dan 60 kasus represi atas kebebasan berkesenian di Indonesia.
Dari segi modus, Hafez menjelaskan juga terjadi perubahan bentuk represi. Pada momen sebelum pandemi Covid-19, misal, bentuk represifitas dilakukan oleh ormas, sayangnya negara diam. Akan tetapi, ketika pandemi datang, intimidasi justru dilakukan oleh aparatur negara dengan memasuki ranah privat, serta membubarkan kegiatan berkesenian.
"Pada akhir 2024 sampai 2025, kita juga dikejutkan dengan 3 kasus pembungkaman kesenian yang beruntun, diawali kasus Yos Suprapto, kasus di ISBI Bandung dari Teater Payung Hitam bertajuk Wawancara dengan Mulyono, dan di ranah musik dari grup band Sukatani," katanya.
Baca juga: Fakta-fakta & Daftar Lagu Sukatani, Duo Punk Kritis Asal Purbalingga
Ketiga kasus tersebut, menurut Hafez, juga terjadi di ranah publik, atau tempat di mana kesenian bebas. Kasus Yos Suprapto misalnya, terjadi di Galeri Nasional Indonesia. Sementara itu, Teater Payung Hitam terjadi di kampus institusi seni, yang bahkan lakonnya belum sempat dipentaskan.
Peristiwa pengekangan seni ini, papar Hafez telah menodai situasi kebebasan berkesenian di Indonesia. "Rencananya pada 8 Mei 2025 kami juga akan menerbitkan laporan terbaru, dan anglenya mungkin akan dilihat dari bagaimana potensi negara kembali menjadi aktor pelanggar kebebasan berkesenian," imbuhnya.
Sebagai seniman dia mengungkap, keterlibatan publik untuk mengapresiasi karya-karya mereka memang diperlukan. Terlebih dengan semakin meruyaknya berbagai platform pemutar musik yang semakin beragam, baik itu radio, televisi, hingga platform streaming mulai dari Spotify hingga SoundCloud.
Lagu di Udara, misal, dibuat oleh Pandai Besi dan Efek Rumah Kaca (ERK) untuk mengenang sosok Munir. Jadi, alih-alih memberinya judul 'Munir' mereka sengaja menggunakan frasa di Udara agar music director berpikir lagu tersebut tentang cinta, saat diluncurkan di sejumlah radio pada 2007.
"Untuk kalimat langsung kami gunakan dalam judul lagu Mosi Tidak Percaya, sebagai bentuk statement. Lewat pola ini kami berharap para penggemar juga bisa memahaminya terkait kehidupan sehari-hari," imbuh salah satu pengelola toko buku Kios Ojo Keos, itu.
Koordinator KontraS, Yati Andriani mengatakan, kesenian memang memiliki daya resiliensi lebih bila dibanding simpul masyarakat lain. Ini berbeda dengan pihaknya yang bergerak di bidang advokasi, karena bakal berbenturan dengan kelembagaan dan yang lain.
Walakin, bidang kesenian yang memiliki nature yang imajinatif dan kreatif, bakal selalu menemukan jalan di tengah situasi intimidatif dan represifitas. "Pengalaman-pengalaman panjang dan reflektif dari dunia kesenian inilah yang mungkin bisa menjadi jawaban untuk mengaktualisasikan kebudayaan secara integral dalam situasi hari ini," katanya.
Baca juga: Koalisi Seni Indonesia Bangun Sistem Pemantauan Kebebasan Berkesenian
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Berbagai elemen masyarakat seperti YLBHI, KontraS, Koalisi Seni Indonesia, hingga wartawan, berkumpul di Bioskop Kineforum, TIM pada Kamis, (17/4/25). Sarasehan ini digelar untuk membangun sinergi dalam rangka menjamin kebebasan berekspresi bagi masyarakat sipil.
Baca juga: Mengungkai Pembatalan Pameran Yos Suprapto di Galeri Nasional Indonesia
Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Bambang Prihadi mengatakan, cara seniman menyikapi represi memang berbeda dari masa ke masa. Pada dekade 80-an misalnya, ada seniman yang dengan verbal menyatakan sikap terkait situasi kebebasan, misalnya WS Rendra, dengan sajak-sajak pamfletnya.
Kendati begitu, pada masa yang lain, atau beriringan, ada pula yang menggunakan simbol-simbol untuk melawan represi penguasa, seperti Putu Wijaya, lewat naskah atau pementasan-pementasan teaternya yang bisa dibilang absurd, akan tetapi menyimpan bentuk kemarahan, dan protes.
"Belakangan para seniman justru menawar ulang capaian estetika, yang kemudian dianggap jadi salah satu capaian untuk melihat sebuah karya, tapi di satu sisi dipertanyakan relasinya dengan politik, kekuasaan, dan yang lain," katanya.
Suasana diskusi sarasehan gerakan kebudayaan dan demokrasi di Taman Ismail Marzuki, Kamis (17/4/25). (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung GInanjar)
Salah satunya dalam pasal 7 UU No 3/2025 tentang TNI, yang disahkan dan diundangkan 26 Maret 2025. Pasal ini mengatur tentang tugas operasi militer selain perang di mana tidak lagi membutuhkan keputusan politik negara, yakni keputusan presiden dengan pertimbangan DPR.
Dia mengungkap, secara regulasi UU TNI memang tidak memungkinkan tentara memasuki fungsi-fungsi sipil, atau hanya 14 kementerian lembaga, setelah itu harus pensiun dini. Akan tetapi, secara faktual masih ada TNI yang memasuki ranah tersebut, misalnya turun ke lapangan untuk membajak sawah atau bertani.
Iwan menjelaskan, masuknya TNI ke ranah sipil ini salah satunya dikarenakan tidak berfungsinya organisasi masyarakat sipil, baik pemerintah daerah dan yang lain. Oleh karena itu, dia berharap ada penguatan dari fungsi masyarakat sipil itu sendiri, terutama instansi pemerintahan.
"Saya juga menyayangkan ketika UU TNI ini disahkan, kenapa cyber ditempatkan di bawah OMSP. Sebab, TNI nantinya juga tidak bisa berperan aktif ketika bakal ada serangan siber betulan, dan ini juga bakal menghambat mereka juga," katanya.
Peningkatan Tren
Manajer Advokasi Koalisi Seni Hafez Gumay mengatakan, dalam beberapa waktu terakhir tren kebebasan berkesenian di Indonesia memang cukup mengkhawatirkan. Dalam tiga tahun terakhir misal, dia mencatat terjadi kenaikan kasus represi atas kebebasan berkesenian di Indonesia dengan grafik yang cenderung naik.Pada 2022, laman kebebasan berkesenian mencatat terjadi 42 kasus represi. Data ini disinyalir juga lebih besar karena korban tidak mengadukan. Sementara itu, pada 2023 dan 2024 jumlah kasus yang dicatat mencapai 40 dan 60 kasus represi atas kebebasan berkesenian di Indonesia.
Dari segi modus, Hafez menjelaskan juga terjadi perubahan bentuk represi. Pada momen sebelum pandemi Covid-19, misal, bentuk represifitas dilakukan oleh ormas, sayangnya negara diam. Akan tetapi, ketika pandemi datang, intimidasi justru dilakukan oleh aparatur negara dengan memasuki ranah privat, serta membubarkan kegiatan berkesenian.
"Pada akhir 2024 sampai 2025, kita juga dikejutkan dengan 3 kasus pembungkaman kesenian yang beruntun, diawali kasus Yos Suprapto, kasus di ISBI Bandung dari Teater Payung Hitam bertajuk Wawancara dengan Mulyono, dan di ranah musik dari grup band Sukatani," katanya.
Baca juga: Fakta-fakta & Daftar Lagu Sukatani, Duo Punk Kritis Asal Purbalingga
Seniman Yos Suprapto menemui awak media setelah pamerannya di Galeri Nasional bertajuk Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan dibredel pada Kamis (19/12/24) malam. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Arief Hermawan)
Peristiwa pengekangan seni ini, papar Hafez telah menodai situasi kebebasan berkesenian di Indonesia. "Rencananya pada 8 Mei 2025 kami juga akan menerbitkan laporan terbaru, dan anglenya mungkin akan dilihat dari bagaimana potensi negara kembali menjadi aktor pelanggar kebebasan berkesenian," imbuhnya.
Penggunaan Metafora
Muhammad Asranur, personil dari grup band Pandai Besi mengatakan, salah satu cara yang pihaknya lakukan agar tetap mampu mengkritisi persoalan sosial adalah dengan menggunakan metafora. Siasat tersebut misalnya dilakukan saat menulis syair lagu, dengan menggunakan kalimat langsung atau tidak langsung.Sebagai seniman dia mengungkap, keterlibatan publik untuk mengapresiasi karya-karya mereka memang diperlukan. Terlebih dengan semakin meruyaknya berbagai platform pemutar musik yang semakin beragam, baik itu radio, televisi, hingga platform streaming mulai dari Spotify hingga SoundCloud.
Lagu di Udara, misal, dibuat oleh Pandai Besi dan Efek Rumah Kaca (ERK) untuk mengenang sosok Munir. Jadi, alih-alih memberinya judul 'Munir' mereka sengaja menggunakan frasa di Udara agar music director berpikir lagu tersebut tentang cinta, saat diluncurkan di sejumlah radio pada 2007.
"Untuk kalimat langsung kami gunakan dalam judul lagu Mosi Tidak Percaya, sebagai bentuk statement. Lewat pola ini kami berharap para penggemar juga bisa memahaminya terkait kehidupan sehari-hari," imbuh salah satu pengelola toko buku Kios Ojo Keos, itu.
Koordinator KontraS, Yati Andriani mengatakan, kesenian memang memiliki daya resiliensi lebih bila dibanding simpul masyarakat lain. Ini berbeda dengan pihaknya yang bergerak di bidang advokasi, karena bakal berbenturan dengan kelembagaan dan yang lain.
Walakin, bidang kesenian yang memiliki nature yang imajinatif dan kreatif, bakal selalu menemukan jalan di tengah situasi intimidatif dan represifitas. "Pengalaman-pengalaman panjang dan reflektif dari dunia kesenian inilah yang mungkin bisa menjadi jawaban untuk mengaktualisasikan kebudayaan secara integral dalam situasi hari ini," katanya.
Baca juga: Koalisi Seni Indonesia Bangun Sistem Pemantauan Kebebasan Berkesenian
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.