Koalisi Seni Indonesia Bangun Sistem Pemantauan Kebebasan Berkesenian
10 May 2023 |
21:57 WIB
Kebebasan berkesenian masih menjadi pekerjaan rumah di dalam negeri lantaran masih terdapat sejumlah pelanggaran oleh beberapa pihak atas karya para seniman. Guna mencatat dan mengumpulkan data kasus pelanggaran kebebasan dalam berkesenian, Dewan Kesenian Jakarta meluncurkan sistem kebebasan berkesenian.
Manajer Advokasi Kolaisi Seni Dewan Kesenian Jakarta, Hafez Gumay berharap kasus terkait pelanggaran kebebasan dalam berkesenian yang dialami oleh seniman atau masyarakat penikmat seni dapat terdokumentasi dan terdata dengan baik.
“Jadi, kalau tidak selesai sekarang, kita memiliki tabungan data dan kami pastikan tidak hilang karena kita tahu memori kolektif masyarakat Indonesia cukup pendek,” katanya di Jakarta pada Rabu, 10 Mei 2023.
Baca juga: Menengok Profil & Kiprah Seniman Grafis Setiawan Sabana
Dia menuturkan, pihak berkepentingan dapat memiliki modal ketika suatu saat berhadapan dengan kasus yang menimpanya dan membutuhkan dokumentasi penting atas kasus yang ingin diselesaikannya tersebut.
Pada saat ini, koalisi seni tidak memiliki kemampuan untuk mendampingi individu atau pihak yang mengalami pelanggaran kebebasan dalam berkesenian yang dilaporkan oleh korban. Namun, organisasi melibatkan sejumlah lembaga yang memiliki pengalaman terkait hal itu, seperti Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.
Selain itu, tidak menutup kemungkinan, organisasi juga melibatkan lembaga lainnya seperti Hak Asasi Manusia (HAM) dan sebagainya. Menurutnya, koalisi akan menawarkan kerja sama yang mungkin bisa dikerjakan bersama dalam kerangka hak asasi manusia yang juga dilakukan oleh lembaga.
Dia menambahkan, organisasi juga akan membuat sebuah sistem rujukan ketika terdapat kasus pelanggaran kebebasan dalam berkesenian. Dengan begitu, dia berharap terdapat penurunan kasus pelanggaran. “Kalau saya pribadi mengganggap makin situs tidak terpakai makin bagus,” katanya.
Dia menuturkan, sistem ini merupakan bentuk kerja sama dengan UNESCO. Menurutnya, lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu menghubungi Koalisi Seni untuk mengetahui bagaimana kondisi kebebasan berkesenian di dalam negeri.
Mereka ingin mengetahui kondisi tersebut lantaran Indonesia tidak mencantumkan kondisi kebebasan berkesenian dalam dua kali laporan periodik 4 tahunan yang telah dibuat pada 2016 dan 2020. Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi UNESCO 2005 Convention on the Protection and Promotion Diversity of Cultural Expressions.
Dia menuturkan, Koalisi Seni mencatat terdapat 45 kasus pelanggaran kebebasan berkesenian dari 2010 sampai dengan 2020. Jumlah ini berdasarkan monitoring media yang dilakukan. Jadi, jumlah kasus yang sebenarnya diduga lebih banyak dari yang tercatat.
Selain itu, koalisi juga menemukan film adalah disiplin seni yang paling sering menjadi korban pelanggaran kebebasan berkesenian dengan 24 kasus. Kemudian, pihak yang paling banyak menjadi pelaku pelanggaran adalah polisi, militer, dan organisasi kemasyarakatan berbasis agama.
Tidak hanya itu, pelaku juga paling sering menggunakan alasan komunisme, penistaan agama, dan LGBT ketika melakukan pelanggaran kebebasan berkesenian. Adapun pelanggaran kebebasan berkesenian paling banyak terjadi pada rentang 2014 sampai 2016. Rentang tersebut bertepatan dengan pemilihan presiden dan gubernur DKI Jakarta.
Dia menambahkan, dengan sistem yang dapat diakses lewat kebebasanberkesenian.id ini dapat menjamin nama pelapor tidak akan muncul ketika mereka mengisi kasus pelanggaran kebebasan yang dialaminya. Dengan algoritma yang dibentuk, nama pengisi laporan akan berupa kode-kode tertentu.
Tidak hanya itu, tampilan laman yang sederhana juga dapat membuat pelapor tidak mengalami kesulitan ketika mengaksesnya. Koalisi Seni akan melakukan sosialiasi kepada masyarakat dan seniman cara mengisi laporan di laman ini.
Dia mengingatkan, bentuk pelanggaran kebebasan berkesenian tidak hanya milik seniman saja. Masyarakat penikmat kesenian juga bisa menjadi korban pelanggaran.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendibudristek, Hilmar Farid mengatakan inisiatif kebebasanberkesenian.id yang menghimpun data-data atas kasus pembatasan terhadap kegiatan berkesenian dapat digunakan juga oleh pemerintah.
Menurutnya, data yang komprehensif akan membantu dalam merumuskan kebijakan dan mengambil tindakan yang jauh lebih efektif pada masa yang akan datang.
Dia menuturkan, negara sebenarnya sudah memiliki peraturan yang mengatur tentang perlindungan dalam berekspresi. Namun, di lapangan terjadi dinamika sehingga kerap terjadi pembatasan terhadap kegiatan berkesenian.
“Tentu kondisi yang dihadapi di lapangan memiliki proses yang cepat. Misal, tidak ada proses diskusi dalam membangun pemahaman bersama,” kataya.
Dia menekankan, langkah preventif dengan membuka ruang diskusi menjadi penting. Tidak hanya itu, literasi mengenai kesenian dan kegiatan kebudayaan secara umum juga perlu dilakukan, sehingga dinamika yang ada bisa diminimalkan.
Menurutnya, individu atau kelompok yang tidak suka dengan kegiatan ekspresi dalam berkesenian bisa menyampaikanya melalui kritik. Sepanjang sejarah, ruang kritik kerap digunakan oleh berbagai pihak untuk menyatakan ketidaksukaan dan ketidaksetujuannya dan merupakan sesuatu yang biasa di tengah masyarakat.
Baca juga: Kala Seniman Muda Guncang Pasar Seni Dunia
Dia mengingatkan, ketidaksukaan terhadap kegiatan berkesenian yang ditingkatkan menjadi pembatasan merupakan sebuah masalah. Dia berharap, dapat jauh lebih efektif dalam melindungi kebebasan artistik pada masa yang akan datang dengan belajar dari kasus pelanggaran yang terjadi.
Editor: Fajar Sidik
Manajer Advokasi Kolaisi Seni Dewan Kesenian Jakarta, Hafez Gumay berharap kasus terkait pelanggaran kebebasan dalam berkesenian yang dialami oleh seniman atau masyarakat penikmat seni dapat terdokumentasi dan terdata dengan baik.
“Jadi, kalau tidak selesai sekarang, kita memiliki tabungan data dan kami pastikan tidak hilang karena kita tahu memori kolektif masyarakat Indonesia cukup pendek,” katanya di Jakarta pada Rabu, 10 Mei 2023.
Baca juga: Menengok Profil & Kiprah Seniman Grafis Setiawan Sabana
Dia menuturkan, pihak berkepentingan dapat memiliki modal ketika suatu saat berhadapan dengan kasus yang menimpanya dan membutuhkan dokumentasi penting atas kasus yang ingin diselesaikannya tersebut.
Pada saat ini, koalisi seni tidak memiliki kemampuan untuk mendampingi individu atau pihak yang mengalami pelanggaran kebebasan dalam berkesenian yang dilaporkan oleh korban. Namun, organisasi melibatkan sejumlah lembaga yang memiliki pengalaman terkait hal itu, seperti Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.
Selain itu, tidak menutup kemungkinan, organisasi juga melibatkan lembaga lainnya seperti Hak Asasi Manusia (HAM) dan sebagainya. Menurutnya, koalisi akan menawarkan kerja sama yang mungkin bisa dikerjakan bersama dalam kerangka hak asasi manusia yang juga dilakukan oleh lembaga.
Dia menambahkan, organisasi juga akan membuat sebuah sistem rujukan ketika terdapat kasus pelanggaran kebebasan dalam berkesenian. Dengan begitu, dia berharap terdapat penurunan kasus pelanggaran. “Kalau saya pribadi mengganggap makin situs tidak terpakai makin bagus,” katanya.
Dia menuturkan, sistem ini merupakan bentuk kerja sama dengan UNESCO. Menurutnya, lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu menghubungi Koalisi Seni untuk mengetahui bagaimana kondisi kebebasan berkesenian di dalam negeri.
Mereka ingin mengetahui kondisi tersebut lantaran Indonesia tidak mencantumkan kondisi kebebasan berkesenian dalam dua kali laporan periodik 4 tahunan yang telah dibuat pada 2016 dan 2020. Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi UNESCO 2005 Convention on the Protection and Promotion Diversity of Cultural Expressions.
Dia menuturkan, Koalisi Seni mencatat terdapat 45 kasus pelanggaran kebebasan berkesenian dari 2010 sampai dengan 2020. Jumlah ini berdasarkan monitoring media yang dilakukan. Jadi, jumlah kasus yang sebenarnya diduga lebih banyak dari yang tercatat.
Selain itu, koalisi juga menemukan film adalah disiplin seni yang paling sering menjadi korban pelanggaran kebebasan berkesenian dengan 24 kasus. Kemudian, pihak yang paling banyak menjadi pelaku pelanggaran adalah polisi, militer, dan organisasi kemasyarakatan berbasis agama.
Tidak hanya itu, pelaku juga paling sering menggunakan alasan komunisme, penistaan agama, dan LGBT ketika melakukan pelanggaran kebebasan berkesenian. Adapun pelanggaran kebebasan berkesenian paling banyak terjadi pada rentang 2014 sampai 2016. Rentang tersebut bertepatan dengan pemilihan presiden dan gubernur DKI Jakarta.
Dia menambahkan, dengan sistem yang dapat diakses lewat kebebasanberkesenian.id ini dapat menjamin nama pelapor tidak akan muncul ketika mereka mengisi kasus pelanggaran kebebasan yang dialaminya. Dengan algoritma yang dibentuk, nama pengisi laporan akan berupa kode-kode tertentu.
Tidak hanya itu, tampilan laman yang sederhana juga dapat membuat pelapor tidak mengalami kesulitan ketika mengaksesnya. Koalisi Seni akan melakukan sosialiasi kepada masyarakat dan seniman cara mengisi laporan di laman ini.
Dia mengingatkan, bentuk pelanggaran kebebasan berkesenian tidak hanya milik seniman saja. Masyarakat penikmat kesenian juga bisa menjadi korban pelanggaran.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendibudristek, Hilmar Farid mengatakan inisiatif kebebasanberkesenian.id yang menghimpun data-data atas kasus pembatasan terhadap kegiatan berkesenian dapat digunakan juga oleh pemerintah.
Menurutnya, data yang komprehensif akan membantu dalam merumuskan kebijakan dan mengambil tindakan yang jauh lebih efektif pada masa yang akan datang.
Dia menuturkan, negara sebenarnya sudah memiliki peraturan yang mengatur tentang perlindungan dalam berekspresi. Namun, di lapangan terjadi dinamika sehingga kerap terjadi pembatasan terhadap kegiatan berkesenian.
“Tentu kondisi yang dihadapi di lapangan memiliki proses yang cepat. Misal, tidak ada proses diskusi dalam membangun pemahaman bersama,” kataya.
Dia menekankan, langkah preventif dengan membuka ruang diskusi menjadi penting. Tidak hanya itu, literasi mengenai kesenian dan kegiatan kebudayaan secara umum juga perlu dilakukan, sehingga dinamika yang ada bisa diminimalkan.
Menurutnya, individu atau kelompok yang tidak suka dengan kegiatan ekspresi dalam berkesenian bisa menyampaikanya melalui kritik. Sepanjang sejarah, ruang kritik kerap digunakan oleh berbagai pihak untuk menyatakan ketidaksukaan dan ketidaksetujuannya dan merupakan sesuatu yang biasa di tengah masyarakat.
Baca juga: Kala Seniman Muda Guncang Pasar Seni Dunia
Dia mengingatkan, ketidaksukaan terhadap kegiatan berkesenian yang ditingkatkan menjadi pembatasan merupakan sebuah masalah. Dia berharap, dapat jauh lebih efektif dalam melindungi kebebasan artistik pada masa yang akan datang dengan belajar dari kasus pelanggaran yang terjadi.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.