Tetap Tenang di Tengah Gejolak, Ini Strategi Investasi dari DBS
11 April 2025 |
22:10 WIB
Awal tahun ini, dunia masih penuh tanda tanya besar. Kenaikan tarif perdagangan, aturan imigrasi yang makin ketat, dan rencana pemangkasan pegawai federal dari Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE) memuat banyak orang ragu soal arah ekonomi ke depan.
Efeknya? Kepercayaan konsumen menurun dan kekhawatiran soal masa depan ekonomi makin terasa.
Pasca euforia atas kemenangan Donald Trump, pasar finansial justru mengalami tekanan. Aset-aset berisiko melemah cukup signifikan, dan ketegangan geopolitik kembali menguat, ikut memperkeruh situasi yang sudah tidak pasti. Koreksi ini menjadi alarm bagi banyak investor untuk mulai memikirkan ulang strategi portofolionya.
Baca juga: Rupiah Melemah, Ini 4 Instrumen Investasi yang Bisa Jadi Pilihan
Menanggapi dinamika tersebut, Chief Investment Officer Bank DBS, Hou Wey Fook, menyarankan agar investor melakukan rotasi portofolio secara selektif. Ia menekankan pentingnya menurunkan eksposur jangka pendek pada saham-saham AS dan mengalihkan sebagian alokasi ke Eropa, terutama sektor-sektor yang dianggap strategis.
“Penerapan tarif pun diprediksi akan memicu arus ke aset safe haven,” kata Hou.
Di tengah kondisi pasar yang cenderung volatil, obligasi kini dinilai sebagai instrumen investasi yang lebih stabil. Hou menjelaskan bahwa perlambatan ekonomi AS mulai terasa nyata, dengan indikator seperti penurunan penjualan ritel dan turunnya kepercayaan konsumen. Imbal hasil obligasi pemerintah AS pun tercatat menurun sejak awal tahun akibat meningkatnya kekhawatiran terhadap dampak perang dagang global.
“Obligasi investment grade dengan rating A atau BBB bisa menjadi pelindung portofolio di tengah risiko perlambatan ekonomi dan potensi pemangkasan suku bunga,” jelas Hou.
Selain mengurangi eksposur di pasar AS, Hou juga mendorong investor untuk melihat potensi di kawasan lain seperti Eropa dan Asia, khususnya China. Kawasan ini dinilai tengah mengalami pertumbuhan di sektor-sektor yang menjanjikan, seperti belanja infrastruktur, pertahanan, dan teknologi berbasis AI.
"Diversifikasi sangat penting saat ini. Eropa dan China memberikan peluang baru yang belum banyak dimanfaatkan,” ujarnya.
Sementara itu, ketidakpastian global yang belum reda turut mendorong investor untuk kembali melirik aset lindung nilai seperti emas. Hou melihat bahwa dalam situasi seperti ini, peran emas tetap relevan, apalagi di tengah tekanan fiskal AS dan meningkatnya risiko de-dolarisasi. Di sisi lain, aset privat seperti saham perusahaan menengah dengan valuasi yang menarik juga dianggap punya keunggulan tersendiri.
“Ketidakpastian adalah katalis utama emas. Sementara aset privat memberi peluang imbal hasil yang tidak tergantung pada volatilitas pasar,” kata Hou.
Untuk menghadapi kuartal kedua ini, strategi investasi yang seimbang dinilai sebagai pendekatan paling bijak. Hou menyarankan komposisi portofolio yang terdiri dari 40% saham, 30% obligasi, dan 30% aset alternatif seperti emas atau hedge fund. Strategi ini dinilai lebih tangguh dalam menghadapi tekanan ekonomi ketimbang portofolio tradisional yang berbasis 60/40.
"Dalam kondisi seperti sekarang, kekuatan portofolio justru terletak pada keseimbangannya,” tegas Hou.
Melihat kondisi saat ini, tarif yang terus meningkat, pelemahan ekonomi AS, dan ketegangan geopolitik global menjadi tantangan nyata bagi investor.
Namun dengan strategi yang tidak hanya reaktif, tapi juga terukur dan cermat, peluang tetap terbuka lebar. Seperti yang ditunjukkan oleh Hou, langkah bijak dalam menyusun portofolio bukan hanya soal bertahan—tapi juga soal menemukan celah pertumbuhan di tengah badai ketidakpastian.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Efeknya? Kepercayaan konsumen menurun dan kekhawatiran soal masa depan ekonomi makin terasa.
Pasca euforia atas kemenangan Donald Trump, pasar finansial justru mengalami tekanan. Aset-aset berisiko melemah cukup signifikan, dan ketegangan geopolitik kembali menguat, ikut memperkeruh situasi yang sudah tidak pasti. Koreksi ini menjadi alarm bagi banyak investor untuk mulai memikirkan ulang strategi portofolionya.
Baca juga: Rupiah Melemah, Ini 4 Instrumen Investasi yang Bisa Jadi Pilihan
Menanggapi dinamika tersebut, Chief Investment Officer Bank DBS, Hou Wey Fook, menyarankan agar investor melakukan rotasi portofolio secara selektif. Ia menekankan pentingnya menurunkan eksposur jangka pendek pada saham-saham AS dan mengalihkan sebagian alokasi ke Eropa, terutama sektor-sektor yang dianggap strategis.
“Penerapan tarif pun diprediksi akan memicu arus ke aset safe haven,” kata Hou.
Di tengah kondisi pasar yang cenderung volatil, obligasi kini dinilai sebagai instrumen investasi yang lebih stabil. Hou menjelaskan bahwa perlambatan ekonomi AS mulai terasa nyata, dengan indikator seperti penurunan penjualan ritel dan turunnya kepercayaan konsumen. Imbal hasil obligasi pemerintah AS pun tercatat menurun sejak awal tahun akibat meningkatnya kekhawatiran terhadap dampak perang dagang global.
“Obligasi investment grade dengan rating A atau BBB bisa menjadi pelindung portofolio di tengah risiko perlambatan ekonomi dan potensi pemangkasan suku bunga,” jelas Hou.
Selain mengurangi eksposur di pasar AS, Hou juga mendorong investor untuk melihat potensi di kawasan lain seperti Eropa dan Asia, khususnya China. Kawasan ini dinilai tengah mengalami pertumbuhan di sektor-sektor yang menjanjikan, seperti belanja infrastruktur, pertahanan, dan teknologi berbasis AI.
"Diversifikasi sangat penting saat ini. Eropa dan China memberikan peluang baru yang belum banyak dimanfaatkan,” ujarnya.
Sementara itu, ketidakpastian global yang belum reda turut mendorong investor untuk kembali melirik aset lindung nilai seperti emas. Hou melihat bahwa dalam situasi seperti ini, peran emas tetap relevan, apalagi di tengah tekanan fiskal AS dan meningkatnya risiko de-dolarisasi. Di sisi lain, aset privat seperti saham perusahaan menengah dengan valuasi yang menarik juga dianggap punya keunggulan tersendiri.
“Ketidakpastian adalah katalis utama emas. Sementara aset privat memberi peluang imbal hasil yang tidak tergantung pada volatilitas pasar,” kata Hou.
Untuk menghadapi kuartal kedua ini, strategi investasi yang seimbang dinilai sebagai pendekatan paling bijak. Hou menyarankan komposisi portofolio yang terdiri dari 40% saham, 30% obligasi, dan 30% aset alternatif seperti emas atau hedge fund. Strategi ini dinilai lebih tangguh dalam menghadapi tekanan ekonomi ketimbang portofolio tradisional yang berbasis 60/40.
"Dalam kondisi seperti sekarang, kekuatan portofolio justru terletak pada keseimbangannya,” tegas Hou.
Melihat kondisi saat ini, tarif yang terus meningkat, pelemahan ekonomi AS, dan ketegangan geopolitik global menjadi tantangan nyata bagi investor.
Namun dengan strategi yang tidak hanya reaktif, tapi juga terukur dan cermat, peluang tetap terbuka lebar. Seperti yang ditunjukkan oleh Hou, langkah bijak dalam menyusun portofolio bukan hanya soal bertahan—tapi juga soal menemukan celah pertumbuhan di tengah badai ketidakpastian.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.