Grebeg Syawal. (Sumber gambar: Indonesia Kaya)

10 Tradisi Unik Malam Takbiran di Indonesia, Meugang hingga Grebeg Syawal

30 March 2025   |   10:28 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) menetapkan 1 Syawal 1446 Hijriah atau Lebaran Hari Raya Idulfitri jatuh pada Senin, 31 Maret 2025. Sehari menjelang Lebaran biasanya disebut oleh masyarakat sebagai malam takbiran. Sejumlah daerah pun punya tradisi unik dalam menyambut malam takbiran yang meriah dan penuh makna.

Malam takbiran menjelang Lebaran biasanya diisi dengan mengumandangkan takbir secara serentak semalam suntuk hingga Hari Raya Idulfitri tiba. Takbiran menjadi simbol dari kebahagiaan yang datang setelah perjuangan yang panjang dan penuh kesabaran. 

Baca juga: Lebaran 2025 Jatuh pada 31 Maret 2025, Sidang Isbat Tetapkan Ramadan Genap 30 Hari

Takbiran menggambarkan rasa syukur atas segala kemudahan yang diberikan Allah untuk menjalankan puasa dengan baik, serta sebagai pengingat bahwa Hari Raya Idulfitri adalah hari yang penuh dengan berkah dan keampunan. Takbir juga menjadi tanda bahwa umat Islam telah berhasil mencapai tujuan Ramadan, yaitu bertakwa kepada Allah, meningkatkan amal ibadah, dan meraih kemenangan spiritual.

Tak hanya mengumandangkan takbir, malam takbiran juga dirayakan dengan berbagai tradisi unik di sejumlah daerah di Indonesia. Sejumlah tradisi yang ada tidak lepas dari nilai budaya yang diwariskan secara turun temurun, serta sarat akan nilai religi dan kebersamaan.

Merangkum dari berbagai sumber, berikut adalah sejumlah tradisi unik malam takbiran di berbagai daerah di Indonesia. 
 

1. Takbir Keliling (Jakarta)

Pada malam sehari sebelum Lebaran, takbir tidak hanya berkumandang di masjid atau musala. Sejumlah masyarakat di berbagai daerah kerap menggelar takbir keliling, yakni dengan berjalan kaki sambil mengumandangkan takbir. Dengan membawa bedug dan obor sebagai alat penerangan, kumandang takbir menggema di jalan-jalan. Tradisi takbiran keliling juga kerap dijumpai di Jakarta dan beberapa kota besar lain di Indonesia. 
 

2. Meugang (Aceh)

Di Aceh, dikenal dengan tradisi Meugang pada malam takbiran, yakni berupa penyembelihan hewan seperti sapi atau kambing dan membagikan dagingnya kepada masyarakat terutama mereka yang membutuhkan. Tradisi ini melambangkan rasa syukur serta solidaritas antarwarga, dengan berbagi kebahagiaan dan keberkahan menjelang Hari Raya Idulfitri. 
 

3. Nganteuran (Jawa Barat)

Nganteuran berasal dari bahasa Sunda yang artinya mengantar. Tradisi Nganteuran dilakukan secara turun temurun dan sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Nganteuran biasanya dilakukan pada satu atau dua hari sebelum datangnya Idulftri. Masyarakat akan saling mengantarkan makanan yang wadahnya berupa rantang susun tradisional.

Biasanya Nganteuran dilakukan oleh anak yang sudah berkeluarga kemudian mengantar makanan ke orang tuanya, kepada keluarga yang lebih tua dan para tetangga. Dalam tradisi ini, makanan yang diantarkan berupa lauk pauk yang beragam. Makna dari tradisi ini adalah silaturahmi dan saling berbagi. 
 

4. Grebek Syawal (Yogyakarta)

Grebek Syawal biasanya digelar oleh Keraton Yogyakarta untuk menyambut 1 Syawal atau Hari Raya Idulfitri. Tradisi yang sudah ada sejak abad ke-16 ini diisi dengan mengarak gunungan berupa hasil pertanian seperti sayuran dan buah-buahan. Gunungan diarak dari Keraton Yogyakarta menuju halaman Masjid Agung Kauman. Hasil pertanian tersebut kemudian dibagikan kepada masyarakat sebagai simbol rasa syukur. 
 

5. Rampak Bedug (Banten)

Rampak Bedug adalah seni menabuh banyak bedug secara serempak sehingga menghasilkan irama khas yang enak didengar. Rampak Bedug menjadi ciri khas seni budaya Banten dan kerap dilakukan pada malam takbiran menyambut Hari Raya Idulfitri.

Pada masa lalu, pemain rampak bedug sepenuhnya diisi oleh laki-laki, tetapi belakangan juga dilakukan perempuan dimana jumlah pemainnya sekitar 10 orang. Tak hanya menjadi bagian dari budaya Banten, kesenian ini juga menjadi simbol keharmonisan. 

Baca juga: Lebaran Tanpa Stres, 5 Cara Kelola Emosi dan Ekspektasi Saat Idulfitri
 

6. Ronjok Sayak (Bengkulu) 

Di Bengkulu, ada tradisi malam takbiran yang cukup unik, khususnya dilakukan oleh masyarakat dari suku Serawai. Mereka menyusun batok kelapa hingga menjulang tinggi seperti menara berukuran sekitar satu meter di halaman rumah, lalu membakarnya. 

Sayak atau batok kelapa melambangkan ucapan rasa syukur kepada sang pencipta dan juga sebagai doa untuk para leluhur yang telah meninggal. Selain itu, batok kelapa yang dibakar menghadirkan penerangan sebagai bentuk kegembiraan menyambut Idulfitri. 
 

7. Meriam Karbit (Pontianak)

Di Pontianak, Kalimantan Barat, ada tradisi Meriam Karbit saat malam takbiran yakni menembakkan meriam yang menghasilkan suara ledakan menggelegar. Meriam ini biasanya dinyalakan di pinggiran Sungai Kapuas, mulai dari azan Magrib, hingga menjelang waktu pagi Hari Raya Idulfitri. Tradisi warisan Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie ini dipercaya untuk mengusir roh jahat agar tidak mengganggu masyarakat yang ingin merayakan Lebaran. 
 

8. Pawai Kendaraan Hias (Sumatera Utara)

Di Sumatera Utara, khususnya di Kabupaten Asahan dan Kota Medan, warga setempat menyelenggarakan pawai kendaraan hias. Kendaraan-kendaraan ini dihiasi ornamen Islam berwarna-warni dan dikendarai keliling kota sambil para peserta melantunkan takbir, sehingga menciptakan suasana yang meriah menyambut Lebaran. 
 

9. Pawai Obor (Sulawesi)

Di berbagai wilayah di Sulawesi, warga merayakan malam takbiran dengan pawai obor. Sambil membawa obor yang menyala, mereka berbaris di jalan sambil melafalkan takbir dan mengucapkan shalawat.

Tradisi ini dilakukan untuk menumbuhkan rasa kebersamaan dan ketaatan yang kuat, serta menjadi simbol toleransi. Pawai ini juga sebagai sarana edukasi bagi anak-anak untuk mengetahui pentingnya mengumandangkan takbir di malam Lebaran. 
 

10. Tumbilatohe (Gorontalo)

Masyarakat muslim Gorontalo tak mau kalah seru. Kota di pulau Sulawesi ini punya tradisi Tumbilatohe untuk menyambut Hari Raya Idulfitri. Untuk menjalankan tradisi ini dibutuhkan lampu tradisional berbahan damar pohon. Dahulu, lampu ini dijadikan alat penerangan bagi warga yang hendak menyalurkan zakat fitrah di malam hari. 

Dalam tradisi Tumbilatohe, sejumlah lampu minyak disusun dengan rapi sehingga membentuk simbol-simbol yang berkaitan dengan Islam atau perayaan Lebaran seperti kaligrafi, AlQuran, masjid, hingga ketupat. Adanya tradisi ini menjadikan kota Gorontalo pun seketika terang benderang. Selain menjadi tradisi turun temurun, kegiatan ini juga memiliki makna untuk menjalin silaturahmi.

Baca juga: Survei: Nastar Jadi Kue Kering Lebaran Favorit Gen Z dan Milenial

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

SEBELUMNYA

9 Kali Revisi, Perjalanan Ryan Adriandhy Menyempurnakan Naskah Jumbo

BERIKUTNYA

6 Alasan Drakor The Divorce Insurance Menarik untuk Ditonton

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: