Ilustrasi Lebaran Idulfitri (Sumber gambar: Wikimedia Commons/Dian Murdiana)

Lebaran Tanpa Stres, 5 Cara Kelola Emosi dan Ekspektasi Saat Idulfitri

28 March 2025   |   22:41 WIB
Image
Dewi Andriani Jurnalis Hypeabis.id

Idulfitri seharusnya menjadi momen penuh kehangatan dan kebersamaan bersama orang-orang terkasih. Akan tetapi, kenyataannya tidak semua orang bisa merayakan dengan damai. Tekanan sosial, pertanyaan pribadi, dan ekspektasi dari lingkungan sering kali menimbulkan stres, bahkan kecemasan.
 
Data dari Halodoc Health & Wellness Insight 2025 mencatat, terjadi peningkatan sebesar 16 persen dalam konsultasi kesehatan mental pada minggu pertama setelah Idulfitri. Hal ini menjadi tanda bahwa banyak orang masih berjuang secara emosional bahkan setelah perayaan usai. 

Baca juga: Jadi Tradisi Tahunan, Begini Sejarah & Pergeseran Mudik Lebaran di Indonesia

Chief Medical Officer Halodoc, dr. Irwan Heriyanto, MARS menyatakan bahwa momen Idulfitri bisa menjadi tantangan bagi sebagian orang karena tekanan sosial yang memicu stres dan kecemasan. "Data Halodoc menunjukkan gangguan kecemasan dan depresi merupakan dua masalah utama," ujarnya.

Untuk menjadikan momen lebaran tidak sekadar rutinitas, tetapi bisa lebih tenang dan bermakna Mitra Psikolog Halodoc, Miki Amrilya Wardati S.Psi, M.Psi. menyebutkan lima tip praktis yang dapat dilakukan: 
 

1. Menjaga suasana hati tetap positif 

Idulfitri identik dengan kebahagiaan, tapi tidak semua orang mengalaminya dengan cara yang sama. Interaksi sosial yang kurang sehat, seperti membahas hal pribadi, rasa ingin tahu berlebihan, atau komentar menyinggung dapat menimbulkan stres. 

Secara otomatis, individu akan melakukan appraisal untuk menilai emosinya, apakah cenderung timbul emosi negatif seperti terganggu, sakit hati, marah, atau tetap tenang. Kemudian, mereka kembali melakukan secondary appraisal untuk merespon pertanyaan yang menimbulkan emosi negatif dan bagaimana mengelola emosi yang timbul atas situasi tersebut.

Situasi ini berpeluang memunculkan kondisi stres pada individu apabila menjawab pertanyaan dan mengelola emosi itu sulit/gagal dilakukan. Untuk itu, disarankan guna mengelola ekspektasi dan fokus pada hal-hal yang membuat hati senang, seperti menjalankan ibadah dengan khusyuk, berbincang santai dengan keluarga dekat, atau menikmati momen kecil tanpa tekanan. 


2. Atur batas dalam interaksi sosial

Social Comparison Theory yang dikemukakan oleh Leon Festinger menjelaskan bahwa manusia cenderung membandingkan diri dengan orang lain, yang dapat memicu perasaan tidak nyaman.
 
Dalam interaksi sosial, hal ini bisa muncul melalui pertanyaan atau komentar yang tanpa disadari menyinggung perasaan lawan bicara. Oleh karena itu, menetapkan batasan dalam percakapan menjadi penting untuk menjaga hubungan tetap harmonis. 
 
Untuk mengatasi situasi yang demikian, hindari pertanyaan sensitif dan personal yang berpotensi menyinggung
perasaan. Misal, alih-alih bertanya soal kapan punya anak atau kapan lulus kuliah, kita bisa membahas hal yang lebih umum, seperti menanyakan hobi atau kesibukan saat ini. 


3. Kendalikan situasi, kelola emosi

Seseorang dapat mengubah cara pandang agar tidak merasa tertekan, dengan menerapkan cognitive reframing. Misalnya, alih-alih terganggu oleh pertanyaan pribadi, seseorang bisa melihatnya sebagai bentuk kepedulian, dapat membantu merespons dengan lebih tenang dan terkontrol. 
 
Gunakan assertive communication agar tetap sopan tapi tegas dalam menyampaikan batasan. Bila ditanya “Kapan menikah?”, jawablah dengan santai tapi tegas: “Terima kasih sudah peduli. Saya masih menikmati masa sekarang dulu.” Ini menjaga kesopanan sekaligus memberi batas. 


4. Jangan ragu mencari bantuan profesional

Jika sudah melakukan rekomendasi di atas tapi belum bisa mengatasi kecemasan yang dirasakan karena tekanan sosial saat momen Idulfitri, penting untuk mencari pertolongan ke profesional dan tidak melakukan self-diagnose, karena kecemasan berlebihan yang dibiarkan dapat berkembang menjadi gangguan kecemasan yang memengaruhi kualitas hidup. 
 
Jika sudah mengganggu kenyamanan, coba untuk berkonsultasi dengan profesional. Mendapatkan dukungan dari ahli adalah langkah penting untuk menjaga kesehatan mental.
 

5. Beri waktu jeda sebelum kembali ke rutinitas

Menyesuaikan diri dari libur panjang ke rutinitas dapat memicu transition stress, yaitu tekanan psikologis akibat perubahan aktivitas yang signifikan.

Setelah menikmati waktu santai, kembali ke kesibukan sehari-hari bisa terasa berat dan memicu post-holiday blues, kondisi di mana seseorang merasa kurang bersemangat, lelah, atau bahkan cemas menghadapi rutinitas. Untuk mengatasi hal itu, beri waktu jeda atau buffer time sebelum kembali beraktivitas agar transisi terasa. 

Dengan memahami tantangan psikologis yang dapat muncul selama dan setelah Idulfitri, kita bisa lebih siap dalam mengelola tekanan sosial serta menjaga kesejahteraan emosional. Idulfitri seharusnya menjadi momen yang membawa kedamaian, bukan beban. Dengan menerapkan rekomendasi dari psikolog di atas, setiap individu dapat menjalani perayaan ini dengan lebih tenang dan bermakna. 

Baca juga: Fenomena Unik dari Tradisi Mudik Lebaran Menurut Sosiolog

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

SEBELUMNYA

Menbud Dorong Perlindungan & Kesejahteraan Sineas Lewat Keagenan Jamsostek

BERIKUTNYA

Tips Aman Meninggalkan Rumah saat Mudik Lebaran

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: