Diagnosis Tongue Tie pada Bayi Meningkat, Benarkah Semua Perlu Diinsisi?
24 March 2025 |
13:02 WIB
Belakangan ini, banyak bayi baru lahir didiagnosis mengalami tongue tie, lip tie, atau buccal tie oleh beberapa konselor laktasi. Meski tak ada angka kejadian khusus, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengonfirmasi bahwa fenomena ini sempat banyak dibahas karena terjadi di berbagai wilayah Indonesia.
Tongue tie atau ankyloglossia adalah kondisi di mana frenulum lingual atau jaringan penghubung di bawah lidah lebih pendek dan tebal, sehingga membatasi pergerakan lidah.
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir, muncul tren di mana banyak bayi yang baru lahir langsung didiagnosis mengalami masalah ini.
Baca juga: Kendala Mengisap & Menelan ASI Bayi Prematur, Simak Cara Mengatasinya
“Di lapangan itu sekarang ini banyak sekali tren semua bayi lahir, itu ketika periksa terutama pada konselor laktasi tertentu. Ini langsung dikatakan ini ada tongue tie, ada lip tie, kemudian ada satu lagi buccal tie. Dan itu semuanya harus dipotong, harus diinsisi,” katanya.
Menurut Piprim, tongue tie merupakan masalah bayi yang sangat teknis. Fenomena ini menjadi perhatian karena banyak bayi yang dianggap memiliki tongue tie dan langsung disarankan untuk diinsisi tanpa indikasi yang jelas. Piprim menegaskan bahwa tidak semua kasus tongue tie membutuhkan tindakan insisi.
Salah satu kekhawatiran terbesar adalah dampak buruk dari insisi yang tidak perlu. Piprim menyoroti bahwa pemahaman yang keliru mengenai tongue tie dapat menyebabkan bayi menjadi korban prosedur yang tidak diperlukan.
“Jangan sampai memakan korban bayi-bayi yang sebetulnya tidak harus diinsisi kemudian diinsisi, terjadi infeksi dan sebagainya. Atau juga memang tanpa indikasi yang betul misalnya bayi berat badannya tidak naik karena ada jantung bocor misalkan, lalu tetap dianggap karena masalah tongue tie-nya tetap diinsisi,” imbuhnya.
Sebab, jika dilakukan prosedur insisi pada tongue tie dalam kasus tersebut, jika anaknya tidak mengalami naik berat badan, maka Piprim menilai masalah utamanya bukan terletak pada keperluan melakukan insisi. Hanya tipe tertentu yang benar-benar membutuhkan tindakan dan keputusan tersebut harus didasarkan pada indikasi medis yang jelas.
Umumnya, tongue tie dapat menyebabkan keterbatasan gerakan lidah dan berpotensi mengganggu proses menyusui pada bayi. Dokter Anak sekaligus Ketua Satgas ASI IDAI Naomi Esthernita F. Dewanto mengatakan, hingga saat ini belum ada keseragaman dalam diagnosa maupun tata laksana tongue tie secara global.
"Kalau kita lihat, sebenarnya latar belakangnya adalah tidak ada keseragaman diagnostik mengenai tongue tie ini. Secara konsensus atau tata laksananya, belum ada suatu konsensus yang jelas, sehingga variasi praktik klinis di seluruh dunia itu banyak sekali," ujarnya.
Naomi menjelaskan, dalam beberapa tahun terakhir, jumlah diagnosis tongue tie meningkat secara global, termasuk di Amerika, Kanada, Australia, dan Indonesia. Seiring dengan meningkatnya diagnosis ini, tindakan frenotomi atau pemotongan frenulum lidah juga makin meningkat.
Dari berbagai kepustakaan, Naomi melihat bahwa dengan meningkatnya jumlah diagnosis ini, tindakan frenotomi pun meningkat secara signifikan dalam satu dekade terakhir.
Tongue tie dapat dikategorikan berdasarkan letak frenulum lidah yaitu anterior dan posterior. Menurut Naomi, tongue tie posterior umumnya tidak mengganggu proses menyusui dan tidak memiliki indikasi medis untuk dilakukan tindakan operasi.
"Dari perhimpunan Otolaryngology Head and Neck Surgery juga mengatakan bahwa tidak ada indikasinya kalau yang posterior ini dilakukan operasi atau insisi," katanya.
Selain itu, tongue tie juga diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahannya yaitu ringan (Grade A & B) dengan frenulum yang tipis dan fleksibel, sedang (Grade C) dengan frenulum lebih tebal dan kaku, serta parah (Grade D) yang memiliki frenulum sangat tebal sehingga menghambat pergerakan lidah secara signifikan.
Pada bayi dengan tongue tie yang simptomatik, keterbatasan gerakan lidah dapat menghambat proses latch-on atau pelekatan saat menyusu. Hal ini dapat menyebabkan berbagai kendala. Ibu dapat mengalami nyeri pada puting akibat gesekan lidah bayi yang tidak optimal, sementara bayi sendiri mengalami kesulitan menyusu dan membutuhkan waktu lebih lama untuk mendapatkan asupan yang cukup.
Jika kondisi ini tidak ditangani, pertumbuhan bayi dapat terganggu akibat kurangnya nutrisi yang memadai. Selain itu, ibu juga berisiko mengalami masalah pada payudaranya seperti payudara bengkak, ductus tersumbat, hingga mastitis.
"Ankyloglossia yang signifikan menghambat gerakan lidah dapat mengganggu pelekatan, sehingga bayi kurang mendapat ASI dan pertumbuhannya kurang adekuat," ungkap Naomi.
Dalam hal penanganan tongue tie, Naomi menjelaskan bahwa ada dua metode utama yaitu pendekatan konservatif dan pendekatan bedah. Pendekatan konservatif dilakukan dengan memberikan dukungan laktasi untuk memperbaiki teknik menyusui, menggunakan alat bantu seperti nipple shield, serta memastikan bahwa kendala menyusui bukan disebabkan oleh faktor lain seperti masalah posisi dan pelekatan.
Jika pendekatan ini tidak berhasil, barulah frenotomi menjadi pertimbangan. "Kalau kita menemukan (kasus) tongue tie, tentu kita harus mendukung laktasi dulu untuk mengatasi kesulitan menyusui. Kalau tidak bisa juga, baru mungkin kita lakukan pembedahan," katanya.
Banyak orang tua khawatir bahwa tongue tie dapat menyebabkan gangguan bicara atau speech delay. Namun, Naomi menegaskan bahwa tongue tie tidak menyebabkan keterlambatan bicara. Namun bisa saja, tongue tie bisa mempengaruhi pelafalan beberapa huruf tertentu seperti T, D, S, L, dan R. Akan tetapi, kondisi ini akan membaik dengan bertambahnya usia.
Berdasarkan rekomendasi dari IDAI, tidak semua kasus tongue tie harus dioperasi. Kesulitan menyusui pada bayi baru lahir adalah kondisi yang umum, tetapi tidak selalu disebabkan oleh tongue tie. Oleh karena itu, penilaian harus dilakukan secara komprehensif oleh tenaga medis yang kompeten.
"Kesulitan menyusu itu sering sekali ditemukan pada periode postpartum. Tapi tidak semua kesulitan menyusu itu disebabkan oleh tongue tie. Dan tidak semua tongue tie harus diinsisi," kata Naomi kembali menegaskan.
Tindakan frenotomi harus dilakukan dengan indikasi yang tepat dan tidak boleh dilakukan sembarangan. Pemotongan lip tie atau buccal tie juga tidak terbukti meningkatkan keberhasilan menyusui dan tidak direkomendasikan.
Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk mendapatkan informasi yang benar sebelum memutuskan tindakan medis. Naomi juga menekankan pentingnya berkonsultasi dengan dokter spesialis anak dan konsultan laktasi untuk menentukan apakah intervensi diperlukan atau tidak.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Tongue tie atau ankyloglossia adalah kondisi di mana frenulum lingual atau jaringan penghubung di bawah lidah lebih pendek dan tebal, sehingga membatasi pergerakan lidah.
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir, muncul tren di mana banyak bayi yang baru lahir langsung didiagnosis mengalami masalah ini.
Baca juga: Kendala Mengisap & Menelan ASI Bayi Prematur, Simak Cara Mengatasinya
“Di lapangan itu sekarang ini banyak sekali tren semua bayi lahir, itu ketika periksa terutama pada konselor laktasi tertentu. Ini langsung dikatakan ini ada tongue tie, ada lip tie, kemudian ada satu lagi buccal tie. Dan itu semuanya harus dipotong, harus diinsisi,” katanya.
Menurut Piprim, tongue tie merupakan masalah bayi yang sangat teknis. Fenomena ini menjadi perhatian karena banyak bayi yang dianggap memiliki tongue tie dan langsung disarankan untuk diinsisi tanpa indikasi yang jelas. Piprim menegaskan bahwa tidak semua kasus tongue tie membutuhkan tindakan insisi.
Salah satu kekhawatiran terbesar adalah dampak buruk dari insisi yang tidak perlu. Piprim menyoroti bahwa pemahaman yang keliru mengenai tongue tie dapat menyebabkan bayi menjadi korban prosedur yang tidak diperlukan.
“Jangan sampai memakan korban bayi-bayi yang sebetulnya tidak harus diinsisi kemudian diinsisi, terjadi infeksi dan sebagainya. Atau juga memang tanpa indikasi yang betul misalnya bayi berat badannya tidak naik karena ada jantung bocor misalkan, lalu tetap dianggap karena masalah tongue tie-nya tetap diinsisi,” imbuhnya.
Sebab, jika dilakukan prosedur insisi pada tongue tie dalam kasus tersebut, jika anaknya tidak mengalami naik berat badan, maka Piprim menilai masalah utamanya bukan terletak pada keperluan melakukan insisi. Hanya tipe tertentu yang benar-benar membutuhkan tindakan dan keputusan tersebut harus didasarkan pada indikasi medis yang jelas.
Umumnya, tongue tie dapat menyebabkan keterbatasan gerakan lidah dan berpotensi mengganggu proses menyusui pada bayi. Dokter Anak sekaligus Ketua Satgas ASI IDAI Naomi Esthernita F. Dewanto mengatakan, hingga saat ini belum ada keseragaman dalam diagnosa maupun tata laksana tongue tie secara global.
"Kalau kita lihat, sebenarnya latar belakangnya adalah tidak ada keseragaman diagnostik mengenai tongue tie ini. Secara konsensus atau tata laksananya, belum ada suatu konsensus yang jelas, sehingga variasi praktik klinis di seluruh dunia itu banyak sekali," ujarnya.
Naomi menjelaskan, dalam beberapa tahun terakhir, jumlah diagnosis tongue tie meningkat secara global, termasuk di Amerika, Kanada, Australia, dan Indonesia. Seiring dengan meningkatnya diagnosis ini, tindakan frenotomi atau pemotongan frenulum lidah juga makin meningkat.
Dari berbagai kepustakaan, Naomi melihat bahwa dengan meningkatnya jumlah diagnosis ini, tindakan frenotomi pun meningkat secara signifikan dalam satu dekade terakhir.
Tongue tie dapat dikategorikan berdasarkan letak frenulum lidah yaitu anterior dan posterior. Menurut Naomi, tongue tie posterior umumnya tidak mengganggu proses menyusui dan tidak memiliki indikasi medis untuk dilakukan tindakan operasi.
"Dari perhimpunan Otolaryngology Head and Neck Surgery juga mengatakan bahwa tidak ada indikasinya kalau yang posterior ini dilakukan operasi atau insisi," katanya.
Selain itu, tongue tie juga diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahannya yaitu ringan (Grade A & B) dengan frenulum yang tipis dan fleksibel, sedang (Grade C) dengan frenulum lebih tebal dan kaku, serta parah (Grade D) yang memiliki frenulum sangat tebal sehingga menghambat pergerakan lidah secara signifikan.
Pada bayi dengan tongue tie yang simptomatik, keterbatasan gerakan lidah dapat menghambat proses latch-on atau pelekatan saat menyusu. Hal ini dapat menyebabkan berbagai kendala. Ibu dapat mengalami nyeri pada puting akibat gesekan lidah bayi yang tidak optimal, sementara bayi sendiri mengalami kesulitan menyusu dan membutuhkan waktu lebih lama untuk mendapatkan asupan yang cukup.
Jika kondisi ini tidak ditangani, pertumbuhan bayi dapat terganggu akibat kurangnya nutrisi yang memadai. Selain itu, ibu juga berisiko mengalami masalah pada payudaranya seperti payudara bengkak, ductus tersumbat, hingga mastitis.
"Ankyloglossia yang signifikan menghambat gerakan lidah dapat mengganggu pelekatan, sehingga bayi kurang mendapat ASI dan pertumbuhannya kurang adekuat," ungkap Naomi.
Penanganan Tongue Tie
Dalam hal penanganan tongue tie, Naomi menjelaskan bahwa ada dua metode utama yaitu pendekatan konservatif dan pendekatan bedah. Pendekatan konservatif dilakukan dengan memberikan dukungan laktasi untuk memperbaiki teknik menyusui, menggunakan alat bantu seperti nipple shield, serta memastikan bahwa kendala menyusui bukan disebabkan oleh faktor lain seperti masalah posisi dan pelekatan.Jika pendekatan ini tidak berhasil, barulah frenotomi menjadi pertimbangan. "Kalau kita menemukan (kasus) tongue tie, tentu kita harus mendukung laktasi dulu untuk mengatasi kesulitan menyusui. Kalau tidak bisa juga, baru mungkin kita lakukan pembedahan," katanya.
Banyak orang tua khawatir bahwa tongue tie dapat menyebabkan gangguan bicara atau speech delay. Namun, Naomi menegaskan bahwa tongue tie tidak menyebabkan keterlambatan bicara. Namun bisa saja, tongue tie bisa mempengaruhi pelafalan beberapa huruf tertentu seperti T, D, S, L, dan R. Akan tetapi, kondisi ini akan membaik dengan bertambahnya usia.
Berdasarkan rekomendasi dari IDAI, tidak semua kasus tongue tie harus dioperasi. Kesulitan menyusui pada bayi baru lahir adalah kondisi yang umum, tetapi tidak selalu disebabkan oleh tongue tie. Oleh karena itu, penilaian harus dilakukan secara komprehensif oleh tenaga medis yang kompeten.
"Kesulitan menyusu itu sering sekali ditemukan pada periode postpartum. Tapi tidak semua kesulitan menyusu itu disebabkan oleh tongue tie. Dan tidak semua tongue tie harus diinsisi," kata Naomi kembali menegaskan.
Tindakan frenotomi harus dilakukan dengan indikasi yang tepat dan tidak boleh dilakukan sembarangan. Pemotongan lip tie atau buccal tie juga tidak terbukti meningkatkan keberhasilan menyusui dan tidak direkomendasikan.
Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk mendapatkan informasi yang benar sebelum memutuskan tindakan medis. Naomi juga menekankan pentingnya berkonsultasi dengan dokter spesialis anak dan konsultan laktasi untuk menentukan apakah intervensi diperlukan atau tidak.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.